This is your new blog post. Click here and start typing, or drag in elements from the top bar.
Picture
Sejarah Marga Catatan sejarah marga (dipadankan menjadi clan / klan) dapat ditarik kembali jauh sampai ke masa penyebaran awal manusia di bumi. Biologi melalui genetika mencatat bukti tersebut melalui alur perpindahan gen manusia-manusia sekarang yang memenuhi seluruh pelosok dunia. Dari catatan tersebut dapat diketahui pola perpindahan tersebut melalui pola-pola gen dan DNA (Deoxyribonucleic acid) manusia hingga kepada pembentukan ras manusia.        Marga atau klan merupakan kelompok orang yang memiliki kesamaan dalam silsilah/leluhur atau memiliki hubungan darah antara anggota yang satu dengan lainnya, meski saat ini hubungan tersebut hanya terwakili oleh nama depan atau nama belakang yang disandang. Hal ini bisa ditemukan dalam sistem kemargaan Batak dan Minahasa—atau yang lebih jauh Jepang dan Cina. Klan, sejauh ini, didominasi oleh garis keturunan dari bapak/ayah; sementara hanya sebagian kecil yang ditarik dari garis ibu (misalnya pada suku Indian Amerika), sementara sebagian kecil lainnya mengambil garis dari perpaduan ibu dan ayah, seperti pada suku asli Armenia dan sebagian suku Arab.        Mengapa klan terbentuk? Sampai saat ini jawaban untuk pertanyaan tersebut hanya didasari oleh identifikasi dan persepsi manusia sekarang terhadap kemungkinan dan manfaat yang dapat dihasilkan dari sebuah klan atau marga terkait kebutuhan dasar manusia untuk bertahan hidup dan berketurunan. Manfaat tersebut antara lain: superioritas, keutuhan darah—yang kemudian membentuk hierarki atas dan bawah, keamanan, dan identitas—baik itu wilayah maupun kekuasaan. Dari fase inilah sebetulnya sejarah manusia mulai dicatat, antara lain, melalui penulisan silsilah keluarga marga dan sejarah masing-masing orang yang ada di dalam silsilah tersebut. Penulisan silsilah tersebut, di samping untuk mempertahankan “kesucian” garis marga, juga untuk menghindari perkawinan antarsesama marga yang sangat bertolak belakang dengan tujuan pembentukan marga dalam usaha memperluas jaringan kefamiliannya.           Penulisan silsilah marga sebagai pertahanan nilai dan kekuatan sebuah marga, di samping dilihat dari sisi kekayaan dan kekuasaan yang memengaruhi teritori, juga memengaruhi nilai hitung kekuatan dari jumlah anggota marga yang dapat dimobilisasi untuk tujuan perburuan dan perang.   Sejarah Marga (Klan) di Nusantara dan Hubungannya dengan Budaya di Nusantara      Sejauh ini, pengertian dari marga di Nusantara tidak berbeda jauh dengan pengertian klan di luar negeri—karena bukankah saat ini ilmu pengetahuan modern dirumus dan dikembangkan oleh filsuf dan ilmuwan Barat.        Yang menarik di Nusantara adalah keragaman pola marga itu sendiri, sebagai salah satu sisi budaya yang terbentuk. Perkawinan antarmarga menimbulkan berbagai ritual budaya yang berkaitan erat dengan pola pembagian kekuasaan dan kekuatan, sehingga di banyak budaya klan di Nusantara terdapat istilah “jual-beli” perkawinan. Pihak perempuan atau sebaliknya akan ditukar dengan sejumlah nilai kekuatan dan kekuasaan lain sebagai ganti hak penurunan nama marga yang dihilangkan dari calon-calon keturunannya kelak. Yang menarik selanjutnya adalah pola teritorial, di mana klan-klan di Nusantara biasanya memiliki kawasan dan teritori masing-masing dengan hukum dan aturan masing-masing, meski masih dalam area yang sama.   Para Prajurit Nias berkumpul di depan “omo Sebua” (kediaman pemimpin Desa)        Berbicara mengenai sejarah marga di Nusantara masih merupakan misteri—selain yang dapat diperoleh dari catatan-catatan asli penduduk lokal yang masih ada, dan beberapa di antaranya merupakan tradisi tutur, yang oleh sebagian besar ilmuwan tidak dapat dianggap sebagai sebuah data atau fakta yang dapat dijadikan rujukan utama sebuah penelitian, karena dianggap memiliki banyak bias yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tradisi tutur tersebut biasanya menceritakan asal-usul marga sebagai sebuah cerita dan melegenda di kalangan masyarakat yang bersangkutan. Legenda tersebut, dengan tujuan mengangkat derajat leluhur, seringkali dikait-kaitkan dengan sang prima causa itu sendiri, sehingga kedudukannya sejajar dalam aturan dan hukum yang berlaku dalam klan tersebut. Dari sinilah sebetulnya budaya Nusantara dibentuk secara utuh; aturan, nilai, dan norma yang dibentuk atas jalinan manusia-lingkungan-alam menemukan bentuknya-kendati bentuk tersebut tidak tercatat dalam media baca-tulis namun nilai dan norma tersebut diterapkan dalam kehidupan keseharian masyarakat Nusantara hingga ke dalam bentuk gestur atau gerak tubuh-sebuah pencapaian puncak ideologi.   Pandita sebagai strata tertinggi di Bali        Dari nilai dan norma yang kemudian membentuk aturan dan hukum tersebutlah, sesungguhnya garis dan batas imajiner masyarakat Nusantara dapat dikenali, di mana kesamaan keunikan tersebut hanya dapat ditemui pada wilayah-wilayah sebagian besar Asia Tenggara, di mana aturan dan hukum telah mencapai titik puncak sebuah peradaban; dengan kata lain, nilai-nilai tersebut telah mendarah daging.   Potensi Marga/Klan sebagai Penjaga Budaya      Dari uraian sebelumnya dapat kita simpulkan bahwa marga merupakan pembentuk awal dari budaya-budaya yang berkembang selanjutnya—entah melalui percampuran maupun perkembangan zaman. Seyogyanya, marga merupakan penghasil sekaligus penjaga kelangsungan dari budaya, karena tanpa nilai dan norma, sebuah marga akan kehilangan hakikat dari marga yang sesungguhnya, pun pada saat ini banyak marga yang sudah kehilangan tujuannya dan hanya berfungsi sebagai pengenal saja tanpa ikatan lainnya.   Anggota suku Sakuddei (Mentawai) mengadakan upacara.        Kini, di Indonesia – Negara yang meng-klaim sebagai pewaris Nusantara, orientasi dari ikatan kemargaan telah bergeser ke titik yang makin melenceng dari tujuan semua dari pembentukan marga. Sebuah marga, dari yang semula bersifat suci bergeser menjadi kegengsian yang eksklusif nan kabur. Nama marga lantas dijadikan benteng keakuan untuk menafikan realitas marga lain. Kemargaan, oleh sebagian orang, dilembagakan dalam sebuah wadah organisasi massa yang terdiri atas etnis tertentu dan atau agama (keyakinan) tertentu, di mana teritorial marga yang satu dibenturkan dengan wilayah marga lain. Terjadi pertentangan antara marga satu dengan marga yang lain, dan ini dipicu oleh struktur sosial yang berubah.        Yang terjadi kemudian adalah perbauran nilai kemargaan dengan kepentingan yang sungguh berada di luar lingkaran nilai  kemargaan. Sistem kemargaan, pada gilirannya, menjadi tunggangan kaum-kaum tertentu yang memiliki kepentingan politis atau bahkan agama, dan bukan lagi perwujudan kerukunan dan kebersamaan yang etis. Ia telah dibatasi oleh determinasi sempit di mana etnis satu dibenturkan dengan etnis lain, yang pada hakikatnya mengabaikan potensi marga sebagai penjaga dan pelestari budaya – yang nampak justru adalah kelompok-kelompok yang tidak memiliki budaya sama sekali. Hal ini jelas akan memperkeruh kejernihan nurani dan akal yang sejatinya merupakan landasan terciptanya sebuah kemasyarakatan yang adil dan beradab serta penuh dengan keakuran dan keselarasan.   Salam Nusantara!

Picture
 
Mengenal kemajemukan (pluralitas) tidak sama dengan menghargai, mengakui, memahami, dan menyakininya sebagai suatu kenyataan bahwa bangsa yang secara geografis terbentang dari Sabang sampai Merauke ini kaya akan beragam suku, budaya, agama, bahasa, warna kulit sampai dengan karakter manusianya. Kemajemukan merupakan realitas obyektif yang tidak dapat dipungkiri oleh bangsa Indonesia, itu fakta yang sama sekali tak bisa terbantahkan, sebuah kenyataan sejarah dari bangsa Indonesia. Dengan demikian, konsepsi Bhinneka Tunggal Ika adalah reprensentasi normatif yang menjadi acuan dalam mengelola kemajemukan sehingga kemajemukan tersebut akan menjadi kekuatan bangsa.
     Kini mulai terjadi kemunduran atas rasa dan semangat kebersamaan yang sudah dibangun selama ini. Intoleransi semakin menebal ditandai dengan meningkatnya rasa benci dan saling curiga diantara sesama anak bangsa. Hegemoni mayoritas atas minoritas semakin kukuh, mengganti kasih sayang, tenggang rasa, dan semangat untuk berbagi.        Krisis multidimensi yang berkepanjangan juga memberikan kontribusi terhadap semakin melemahnya rasa kepercayaan diri dan kebanggaan sebagai suatu bangsa, dan menguatnya sikap ketergantungan, bahkan lebih jauh telah menyuburkan sikap inferioritas. Menipisnya semangat nasionalisme tersebut juga sebagai akibat dari lemahnya kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman (pluralitas) yang menjadi ciri khas obyektif bangsa Indonesia.        Bagaimana konsep pluralisme dengan segala prakondisinya diterapkan dalam wilayah yang plural?. Pluralisme haruslah tidak diartikan sebagai membuat semua orang sama, juga tidak berkaitan dengan pertanyaan mana yang benar dan baik. Namun, pluralisme yang dimengerti sebagai keterlibatan aktif terhadap kemajemukan adalah sebuah keharusan jika berhadapan dengan kenyataan di negara kita. Dengan demikian, tidak hanya dihadapi dengan menutup diri dan nyaman dengan kelompoknya masing-masing. Sebaliknya membuka diri menjalin relasi dialogis yang egaliter dan partisipatif dengan lainnya. Hanya dengan demikian keberagamaan dapat dipandang sebagai kekayaan bangsa. Dan hanya dengan demikian kemajemukan menjadi relevan dan bermanfaat bagi semua manusia Indonesia.        Membuka diri merupakan manisfestasi dari kerendahan hati untuk tidak selalu merasa benar, bersedia untuk mendengarkan pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Itu sebabnya pada dasarnya kelapangan dalam menghargai akan memberi makna hidup, karena kita tidak lagi terbelenggu oleh kepentingan-kepentingan yang biasa termuat dalam keberagamaan kita yang menjadikan kita “tertutup”.          Permasalahannya adalah bagaiman konsep pluralisme tersebut dapat diterjemahkan dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara yang nyata, terutama dalam pengejawantahan pengertian “ketunggal-ikaan” yang tidak mematikan “kebhinekaan” serta mencegah terjadinya satu unsur kebhinekaan yang mendominasi ?.         Kesediaan menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara hidup, berbudaya, dan berkeyakinan yang berbeda, bersedia untuk hidup, bergaul, dan bekerja sama membangunan negara harus dikedepankan sebagai syarat mutlak agar bangsa Indonesia yang begitu plural dapat bersatu, dan bangsa yang tidak menghargai, mengakui, memahami, dan menyakini kemajemukan adalah bangsa yang akan membunuh dirinya sendiri.     Salam Nusantara!
 

Picture
Dalam kehidupan ini,Manusia sangat erat hubungannya dengan Alam Semesta yang Meretas aneka ragam Tradisi dan Budaya sebagai hasil dari hubungan manusia (Jagad Alit) dengan lingkungan alamnya (Jagad Ageng).Tentu saja Falsafah Hidup masing-masing masyarakat diselaraskan dengan alam lingkungan tempat tinggalnya.

Lalu nilai-nilai keselarasan,keharmonisan,dan sinergisme antara Makrokosmos tersebut dapat dikatakan sebagai Kearifan Lokal (Lokal Wisdom).

Lokal Wisdom tidak dapat dipandang sebelah mata,sebab Ia merupakan Hasil dari Proses Pencarian Jati Diri.Lokal Wisdom lebih tahu apa yang mesti dilakukannya.

Maka dari hal tersebut,jika dikatakan Umat yang Tunduk dan Patuh terhadap "Kodrat Tuhan" dan Hukum Alam,merekalah orangnya.Dikatakan demikian jika benar-benar menggunakan konsep Tuhan Yang Maha Luas Tiada Berbatas,Wujud Tuhan nampak pada setiap apa yang dikaryakanNYA.Dengan demikian tidak mengherankan jika setiap masyarakat dan bangsa selalu memiliki Identitas dan Ajaran yang berbeda-beda sesuai wilayah masing-masing yang menjadi tanda Kebesaran Tuhan sendiri.

Namun begitu,dibutuhkan suatu kejujuran untuk mengakui dan menjalani itu semua.Karena tiada yang lebih mulia selain kejujuran,sebagaimana alam ini senantiasa mengajarkan kejujuran dan tak sedikitpun menyisakan ketidakadilan dan kebohongan.Sebagai contoh,para Leluhur dan Karuhun kita terdahulu tentunya juga mengalami suatu kebingungan,namun setidaknya para Leluhur kita dahulu lebih Cerdas Jiwanya sehingga hanya percaya terhadap Hukum Alam.Sebab Alam mampu memberikan suatu ajaran yang Jujur dan Alampun tiada pernah berbohong terhadap apapun yang disampaikannya.Itulah sebabnya mengapa pada jaman dahulu Para Leluhur mengakui suatu Kitab Suci Asli yang dinamakan Sastra Jendra/Sastra Cetha (Sastra tanpa tulis,tulis tanpa papan) yang menjadi Nilai-nilai Kearifan Lokal.

Tujuannya sungguh sangat sederhana yakni untuk Hamemayu Hayuningrat (ning Ing Rat) Hening Tunduk dan Patuh terhadap Hukum Rat (Kodrat Tuhan) atau Hukum Jagad Raya seisinya.

Dari Kearifan Lokal itu pula ada suatu Pusaka yang disebut sebagai Hasta Brata yakni Perilaku manusia yang senantiasa "Mulat Laku Jantraning Banthala/Bhumi" atau Menauladani Sifat-sifat dari 8 unsur alam.Hasta Brata ini merupakan salah satu Serat Kehidupan yang semestinya kita selamatkan dari berbagai macam upaya Diskriminasi dan Dominasi ajaran asing.Sebab,Serat tersebut tidak berupa wujud buku yang tersimpan di Museum,Perpustakaa n Nasional maupun dilembaga pendidikan Agama apapun akan tetapi tersimpan rapat didalam Sanubari setiap Insan Manusia sebagai "Kitab Kang Manjing Sajroning Dhadha".

Semoga Para Generasi Segera Sadar dan Bangkit Untuk Merdeka dengan Landasan Jiwa Nusantara...

Mohon maaf atas segala kekurangan,dan semoga bermanfaat....

Salam Jiwa Nusantara....MERDEKA MERDEKA MERDEKA !!!!!