TANDHUR
“Kang Gareng, coba apa yang kamu lihat didepan?, Petruk membuka dialog dalam perjalannya menuju Wukir Retawu, tempat pertapaan Begawan Abiyasa.
“Wong tandur?, Gareng menegaskan
“Iya ya Truk, wong tandur”, Bagong interupsi. “Pantes nek Indonesia tansah impor beras, lha wong tani ora tau gelem maju!”, sambung Bagong menyinggung kenaikan harga akhir-akhir ini.
”Gong, kalau orang yang menanam padi maju malah merusak yang sudah ditanam”, kata Gareng mengingatkan.
“Soal impor beras kita maklum, meskipun kita pernah berswasembada. Kalau dinalar jumlah orang yang mengkonsumsi semakin bertambah sedangkan area persawahan makin sempit”, kata Petruk menanggapi keluhan Bagong.
“Truk, banyak petani yang mengeluh semakin tingginya harga pupuk dan lain-lainnya (saprodi), hasilnya untuk bayar saprodi hanya tersisa untuk makan”, Gareng tampil sebagai wakil rakyat petani.
“Eee thole, Gareng, Petruk apadene kowe Bagong!. Semar datang mendengar pembicaraan mereka. “Tidak usah berdebat apalagi saling menyalahkan tapi, cobalah untuk melakukan yang terbaik apa saja yang bisa dilakukan. Sebagai petani tanam dengan sebaik-baiknya, pilih bibit yang baik, maka nantinya akan menunai hasil sesuai dengan apa yang telah ditanamkan.”
“Coba Mo, petani menggunakan sarana produksi padi (saprodi), istilah ini menyesatkan beberapa orang yang terkaitan dengan kegiatan kaum tani. Produksi padi itu bukan olahan mesin kok ada pemikiran petani harus memiliki ijin usaha memproduksi padi?, Petruk protes keras.
“Sudahlah kita harus legowo, maafkan dia karena belum ‘ngerti’ apa yang dia katakan”. Semar mereda emosi Petruk. “Coba thole, perhatikan saudara-saudaramu di Gunung Kidul yang dulu terkenal tandus. Daerah itu hampir kosong generasi muda, terlalu banyak yang tinggal di kota-kota besar, penduduknya rata-rata manula. Pekarangan yang luas tidak ada yang mengelola, karena itu para manula ini menanam pohon jati emas yang dianjurkan. Berbeda dengan padi yang dulu setahun hanya bisa dua kali tanam sekarang ini bisa 3 atau 4 kali tanam, usianya pendek. Pohon jati membutuhkan paling sedikit 10 tahun untuk dipetik hasilnya. Mereka tidak mengharapkan hasil itu tetapi menyediakan untuk generasi penerus 20, 30 atau 40 tahun berikutnya. Apakah ini bukan suatu yang mulia?” Semar diam sejenak.
“Iya Mo, usia mereka sudah sama dengan saya tinggal nunggu “sak gongan”, sela Gareng.
“Ko disik Mo!”, Petruk menerobos, “Kuwi mau bab pertanian, ada tidak hubungannya dengan manusianya?
“Becik ketitik ala ketara, sruti ngati-ati tembe mburi”, Semar menarik nafas dalam-dalam, air matanya mulai mbrebes. “Eh thole, segala perbuatan baik masa lalu baru bisa disadari (dititik) masa kini, demikian juga perbuatan ala (tidak baik) nampak nyata di 30 – 40 tahun kemudian. Kalau hari ini kita gelisah dengan sikap anak muda, tidak cukup menyesali apa yang kita tanam di masa lampau.”
“Kalau itu berupa bangunan dengan mudah dirombak dan di bangun kembali. Sedangkan sikap manusia yang multi dimensi membutuhkan waktu lebih panjang. Sruti (wiweka, prayitna) ngati-ati tembe buri, waspada dan berhati-hati untuk masa depan artinya segala sesuatu yang dilakukan masa kini berdampak di masa depan. Kalau hari ini kita salah memilih langkah artinya salah menanam maka buah yang salah akan kita tuai di masa depan.” Semar memberi makna pitutur luhur yang sempat dilupakan.
“Ora Mo, apakah yang sekarang tidak baik ini lalu dihabisi, dilibas istilahnya dulu? Petruk mencoba menggali pemahaman Semar yang katanya tan samar hal-hal mendatang.
“Petruk, tadi sudah Romo katakan, ini bukan bangunan tetapi manusia. Tata, titi, teteg, tatag, tutug dalam menanamkan hal-hal “baik” (kebaikan sejati = becik sejatine becik), tidak harus mengabaikan yang tidak baik. Karena mereka yang diliputi ketidakbaikan ini diumpamakan “kebo gupak ajak-ajak” (kerbau berkubang lumpur mengajak lainnya), artinya untuk mengurangi resiko dihukum karena korupsi mengajak teman dekat melakukan hal yang sama.”
“mBok ya ben wae to Mo, kabeh mau rak kersane Allah”, Bagong membela diri.
“Bagong jangan salah menafsirkan kehendak Allah, hanya hal baik yang dikersake Gusti, selain ini adalah pemaksaan (bonek) oleh manusia itu sendiri.” Semar mengoreksi Bagong.
“Wah sudah dekat Wukir Retawu”, kata Gareng, “becike kepriye Mo, bab-bab sing gegandengan karo omongan iki mau”.
“Thole, Gareng, Petruk lan Bagong, sing tetandur (menanam) itu bukan hanya petani, tetapi kita semua ini “tandur”. Tanpa Mundur (tan-dur) menanam hal-hal “BAIK”, baik menurut hati nuranimu, baik menurut bangsamu dan baik menurut ugeranmu (Pangeran, Gusti) tidak peduli hal itu dibenarkan atau disalahkan orang lain. Becik sejatine Becik, kebaikan sejati maka itu berarti menjalankan printahing Gusti. Ayo ngger pada marak ngarsa ndalem Gusti!.