Picture
Sebagai koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta, naskah ini dikenal sebagai Kropak 632. Naskah yang dulu koleksi Masyarakat Batavia ini memuat ketatanegaraan Sunda zaman dahulu. Judul Amanat Galunggung diberikan oleh Saleh Danasasmita dkk (1987). Padahal kata amanat tak ditulis dalam teks (amanat merupakan kata Arab). Sebelumnya para ahli menyebutnya Naskah Kabuyutan Ciburuy di Bayongbong, Garut, Jawa Barat. Galunggung sendiri merupakan gunung berapi di wilayah Garut.   Naskah Kabuyutan Ciburuy atau Amanat Galunggung        Naskah ini diperkirakan disusun pada abad ke-15, ditulis pada daun lontar dan nipah, menggunakan bahasa Sunda kuno dan aksara Sunda. Sayang, naskah ini tak bertarikh dan juga tak lengkap. Yang tersedia hanya enam helai daun. Dilihat dari penulisan kata-katanya, dapat ditafsir bahwa naskah ini lebih tua dari Sanghyang Siksakanda ng Karesian (1518 M) dan Carita Parahyangan (1580 M) yang ditulis pada abad ke-16. Dalam Amanat Galungggung ejaannya ditulis: kwalwat, gwareng, anwam, dan hamwa; yang di dalam Carita Parahyangan dieja: kolot, goreng, anom, dan hamo.        Naskah ini menarik perhatian Holle, Brandes, Pleyte, dan Poerbatjaraka. Pleyte menyebut naskah ini sebagai “pseudo-Padjadjaransche Kroniek”. Kemudian para sarjana Indonesia mengatakan bahwa data sejarah yang terkandung dalam bagian awal naskah sesungguhnya hanya merupakan pengantar ke arah fungsi teks sesungguhnya, yakni sebagai pelajaran keagamaan yang disampaikan Rakryan atau Rakeyan Darmasiksa. Pada 1981 tesk ini diterbitkan sebagai stensilan oleh Atja dan Danasasmita. Tahun 1987, Danasasmita dkk mempublikasikannya dalam bentuk buku.   Karel Frederik Holle, seorang pemerhati sastra dan budaya Sunda asal Belanda, yang juga tertarik akan Naskah Kabuyutan Ciburuy.        Teksnya berisi tentang usaha Darmasiska dan orang-orang yang “membuka” wilayah Galungggung (nya nyusuk na Galungggung). Selebihnya teks ini berisi nasihat perihal budi pekerti yang disampaikan Rakyan Darmasiksa, Raja Kerajaan Sunda, yang duduk di Galunggung, kepada putranya, yakni Ragasuci atau Sang Lumahing Taman. Karena itu, sering pula naskah ini disebut Amanat Prabuguru Darmasiksa. Dari naskah ini diketahui peran kabuyutan, bukan hanya sebagai tempat pemujaan, melainkan dijadikan sebagai salah satu cara penopang integritas terhadap negara, sehingga tempat itu dilindungi dan disakralkan oleh raja.   Prabuguru Darmasiksa      Dalam Carita Parahyangan diceritakan, Darmasiksa (ada juga yang menyebutnya Prabu Sanghyang Wisnu) memerintah selama 150 tahun. Ada pun Naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun, yakni tahun 1097 – 1219 Saka (1175 – 1297 M). Darmasiksa naik tahta setelah 16 tahun Prabu Jayabaya (1135 – 1159 M), penguasa Kediri-Jenggala tiada. Darmasiksa memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya Kerajaan Majapahit (1293 M).        Menurut Pustaka Nusantara II/2, Prabuguru Darmasiksa pernah memberikan peupeujeuh (nasihat) kepada cucunya, yakni Wijaya, pendiri Majapahit, sebagai berikut: Haywa ta sira kedo athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlaha yan ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wu agheng jaya santosa wruh ngawang kottman ri puyut kalisayan mwang jayacatrumu, ngke pinaka mahaprabhu. Ika hana ta daksina sakeng Hyang Tunggal mwang dumadi seratanya. Ikang sayogyanya rajyaa Jawa rajya Sunda parasparopasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padulur. Yatanyan tan pratibandeng nyakrawartti rajya sowangsong. Yatanyan siddha hitasukha. Yan rajya Sunda duhkantara. Wilwatika sakopayanya maweh caranya: mangkana juga rajya Sunda ring Wilwatika.        Inti dari nasihatnya adalah menjelaskan tentang larangan untuk tidak menyerang Sunda karena mereka bersaudara. Jika masing-masing memerintah sesuai dengan haknya maka akan mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna.        Perihal Prabu Darmasiksa memberikan wejangan kepada Sanjaya, Carita Parahyangan (CP) pun membeberkan hal tersebut. Dalam CP—yang sebagian besar isinya menceritakan kepahlawanan Sanjaya, raja Sunda di Pakuan dan Galuh di Jawa Barat dan pendiri Mataram Kuno di Jawa Tengah (sama dengan Pararaton yang menceritakan sepak terjang Ken Angrok)—disebutkan bahwa Patih Galuh menasihati agar Rahiyang Sanjaya mematuhi Sanghyang Darmasiksa.          Naskah ini memulai ceritanya dari alur Kerajaan Saunggalah I (Kuningan) yang diperkirakan telah ada pada awal abad 8 M. Secara politis, Saunggalah merupakan alternatif untuk menyelesaikan pembagian kekuasaan antara keturunan Wretikandayun, yaitu anak-anak Mandi Minyak dengan anak-anak Sempak Waja, Naskah ini menjelaskan sisi dan perkembangan keturunan Wretikandayun di luar Galuh.        Dari naskah Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa, kita tahu bahwa nama Raja Saunggalah I bernama Resiguru Demunawan. Kedudukan sebagai penguasa di wilayah tersebut diberikan oleh ayahnya, yakni Sempak Waja, putra Wretikandayun pendiri Galuh. Resiguru Demunawan merupakan kakak kandung dari kakak kandung Purbasora, yang pernah menjadi raja di Galuh pada 716-732.        Demunawan memiliki keistimewaan dari saudara-saudara lainnya, baik sekandung maupun dari seluruh keturunan Kendan. Sekali pun tidak pernah menguasai Galuh secara fisik, namun ia mampu memperoleh gelar resi guru, sebuah gelar yang tidak sembarangan bisa didapat, sekali pun oleh raja-raja terkenal, tanpa memilik sifat ksatria minandita. Bahkan pasca Tarumanagara, gelar ini hanya diperoleh Resiguru Manikmaya, pendiri Kendan, Resiguru Darmasiksa, dan Resiguru Niskala Wastu Kancana raja di Kawali. Seorang raja bergelar resiguru diyakini telah mampu membuat sebuah ajaran (pandangan hidup) yang dijadikan acuan kehidupan masyarakatnya.        Prabuguru Darmasiksa pertama kali memerintah di Saunggalah I (persisnya di desa Ciherang, Kadugede, Kab. Kuningan), kemudian memindahkan ke Saunggalah 2, (Mangunreja, Tasikmalaya), selanjutnya menjadi raja Di Pakuan Pajajaran. Menurut teks Bujangga Manik (akhir abad ke- 15 atau awal abad ke-16), lokasi lahan tersebut terletak di daerah Tasik Selatan sebelah barat, bahkan kerajaan ini mampu mempertahankan kehadirannya setelah Pajajaran dan Galuh runtuh. Pada abad ke-18 nama kerajaan tersebut masih ada, namun setingkat kabupaten, dengan nama Kabupaten Galunggung, berpusat di Singaparna. Mungkin sebab inilah penduduk Kampung Naga Salawu di Tasik enggan menyebut Singaparna, tetap menyebut Galunggung untuk wilayah Singaparna.        Kemudian Darmasiksa diangkat menjadi Raja Sunda di Pakuan), sedangkan Saunggalah diserahkan kepada putranya, yakni Ragasuci alias Sang Lumahing Taman.   “Kesadaran Sejarah”       Berbeda dengan Carita Parahyangan yang jelas menceritakan perjalanan pemerintahan raja-raja kuno di Jawa Barat, Amanat Galunggung ini membeberkan ajaran moral dan aturan sosial yang harus dipatuhi oleh urang Sunda. Namun, dalam naskah Amanat Galunggung ini terdapat baris-baris kalimat yang menyatakan pentingnya masa lalu sebagai “tunggak” (tonggak) atau “tunggul” untuk masa berikutnya, maka dari itu seyogyanya generasi kini harus tetap menghormati nilai-nilai yang diwarisi generasi sebelumnya. Berikut petikan dan terjemaahannya:   Hana nguni hana mangke
tan hana nguni tan hana mangke
aya ma beuheula aya tu ayeuna
hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna
hana tunggak hana watang
tan hana tunggak tan hana watang
hana ma tunggulna aya tu catangna
(Ada dahulu ada sekarang
bila tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang
karena ada masa silam maka ada masa kini
bila tidak ada masa silam tidak akan ada masa kini
ada tonggak tentu ada batang
bila tidak ada tonggak tidak akan ada batang
bila ada tunggulnya tentu ada catangnya)        Bagi masyarakat Sunda Kuno—juga Jawa dan etnis-etnis lain di Indonesia, terutama pada masa klasik (Hindu-Buddha)—“kesadaran sejarah” bukanlah kesadaran seseorang atau pun sekelompok orang terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu di mana peristiwa-peristiwa tersebut harus ditentukan kebenarannya (secara ilmiah), melainkan kesadaran generasi mendatang terhadap nilai-nilai yang pernah ditanamkan oleh generasi sebelumnya. Hampir tak pernah ditemukan sebuah kronik sejarah—kecuali Nagarakretagama karya Prapanca—dalam bentuk pustaka di Indonesia yang memang bertujuan untuk mencatat peristiwa-persitiwa penting pada masanya beserta pencantuman tarikh-tarikhnya. Di Jawa Barat sendrir, kecuali Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan, naskah-naskah Sunda Kuno yang dihasilkan pada abad-abad ke-15 dan ke-16 hampir semua merupakan teks religius, pedoman moral, atau sejenis “sastra-jurnal” seperti Bujangga Manik. Memang dalam naskah-naskah pedoman moral itu dapat diketahui sejumlah aspek kehidupan sosial-ekonomi-budaya yang dapat dijadikan acuan sebagai “informasi sejarah”, namun hampir tak ada catatan-catatan mengenani peristiwa politik yang akan memuaskan para peniliti sejarah, kecuali peneliti filologi dan arkeologi.   Intisari Teks      Halaman 1      Prabu Darmasiksa menjelaskan tentang nama-nama raja leluhurnya. Ia memberikan amanat atau nasihat kepada: anak, cucu, umpi (turunan ke-3), cicip (ke-4), muning (ke-5), anggasantana (ke-6), kulasantana (ke-7), pretisantana (ke-8), wit wekas (ke-9, hilang jejak), sanak saudara, dan semuanya.        Halaman 2      Dijelaskan perlu mempunyai kewaspadaan akan kemungkinan dapat direbutnya kemuliaan (kewibawaan dan kekuasaan) serta kejayaan bangsa sendiri oleh orang asing. Perilaku negatif yang dilarang: Jangan merasa diri yang paling benar, jaling jujur, paling lurus, Jangan menikah dengan saudara, jangan membunuh yang tidak berdosa, jangan merampas hak orang lain, jangan menyakiti orang yang tidak bersalah, jangan saling mencurigai.        Halaman 3
  1. Harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut kabuyutan (tanah yang disakralkan).
  2. Siapa saja yang dapat menduduki tanah yang disakralkan (Galunggung), akan beroleh kesaktian, unggul perang, berjaya, bisa mewariskan kekayaan sampai turun temurun.
  3. Bila terjadi perang, pertahankanlah kabuyutan yang disucikan itu.
  4. Cegahlah kabuyutan (tanah yang disucikan) jangan sampai dikuasai orang asing.
  5. Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah dari pada raja putra yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan/tanah airnya.
  6. Jangan memarahi orang yang tidak bersalah, jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu mempertahankan tanahnya (kabuyutannya) pada zamannya.
       Halaman 4
  1. Hindarilah sikap tidak mengindahkan aturan, termasuk melanggar pantangan diri sendiri.
  2. Orang yang melanggar aturan, tidak tahu batas, tidak menyadari akan nasihat para leluhurnya, sulit untuk diobati sebab diserang musuh yang “halus”.
  3. Orang yang keras kepala, yaitu orang yang ingin menang sendiri, tidak mau mendengar nasihat ayah-bunda, tidak mengindahkan ajaran moral (patikrama) digambarkan sebagai pucuk alang-alang yang memenuhi tegal.
       Halaman 5
  1. Orang yang mendengarkan nasihat leluhurnya akan tenteram hidupnya, berjaya.
  2. Orang yang tetap hati ibaratnya telah sampai di puncak gunung.
  3. Bila kita tidak saling bertengkar dan tidak merasa diri paling lurus dan paling benar, maka manusia di seluruh dunia akan tenteram, ibarat gunung yang tegak abadi, seperti telaga yang bening airnya; seperti kita kembali ke kampung halaman tempat berteduh.
  4. Peliharalah kesempurnaan agama, pegangan hidup kita semua.
  5. Jangan kosong (tidak mengetahui) dan jangan merasa bingung dengan ajaran keutamaan dari leluhur.
  6. Semua yang dinasihatkan ini adalah amanat dari Rakeyan Darmasiksa.
       Halaman 6      Sang Raja Purana merasa bangga dengan ayahandanya (Rakeyan Darmasiksa), yang telah membuat ajaran/pegangan hidup yang lengkap dan sempurna. Bila ajaran Darmasiksa ini tetap dipelihara dan dilaksanakan maka akan terjadi:
  1. Raja pun akan tenteram dalam menjalankan tugasnya.
  2. Keluarga/tokoh masyarakat akan lancar mengumpulkan bahan makanan.
  3. Ahli strategi akan unggul perangnya.
  4. Pertanian akan subur.
  5. Panjang umur.
  6. Sang Rama (tokoh masyarakat) bertanggung jawab atas kemakmuran hidup; Sang Resi (cerdik pandai, berilmu), bertanggung jawab atas kesejahteraan; Sang Prabu (birokrat) bertanggung jawab atas kelancaran pemerintahan.
     Perilaku yang dilarang, yakni: berebut kedudukan, berebut penghasilan, berebut hadiah. Perilaku yang dianjurkan: bersama-sama mengerjakan kemuliaan, melalui perbuatan, ucapan, dan itikad yang bijaksana.        Halaman 7      Akan menjadi orang terhormat dan merasa senang bila mampu menegakkan ajaran/agama; akan menjadi orang terhormat bila dapat menghubungkan kasih sayang dengan sesama manusia. Itulah manusia yang mulia.         Dalam ajaran patikrama (etika), yang disebut bertapa itu adalah beramal melalui apa yang kita kerjakan. Buruk amalnya, buruk pula tapanya; amalnya sedang, sedang pula tapanya; sempurna amalnya/kerjanya, sempurna tapanya. Kita menjadi kaya karena kita bekerja, berhasil tapanya. Orang lainlah yang akan menilai pekerjaan/tapa kita.         Perilaku yang dianjurkan: perbuatan, ucapan, dan tekad harus bijaksana. Harus bersifat hakiki, bersungguh-sungguh, memikat hati, suka mengalah, murah senyum, berseri hati dan mantap bicara.         Perilaku yang dilarang: jangan berkata berteriak, menyindir-nyindir, menjelekkan sesama orang dan berbicara mengada-ada.         Halaman 8.
  1. Bila orang lain menyebut kerja kita jelek (bukan jelek fisik), yang harus disesali adalah diri kita sendiri.
  2. Tidak benar, karena takut dicela orang, lalu kita tidak bekerja/bertapa.
  3. Tidak benar pula bila kita berkeja hanya karena ingin dipuji orang.
  4. Orang yang mulia itu adalah yang sempurna amalnya, dia akan kaya karena hasil tapanya itu.
  5. Camkan ujaran para orangtua agar masuk surga di kahiyangan.
  6. Kejujuran dan kebenaran itu ada pada diri sendiri.
  7. Itulah yang disebut dengan “kita menyengaja berbuat baik”.
      Perilaku yang dianjurkan: harus cekatan, terampil, tulus hati, rajin dan tekun, tangkas, bersemangat, perwira, teliti, penuh keutamaan, dan berani tampil. Yang dikatakan semua ini itulah yang disebut orang yang berhasil tapanya.         Halaman 9      Perlu diketahui bahwa yang mengisi neraka itu adalah manusia yang suka mengeluh karena malas beramal; banyak yang diinginkannya tetapi tidak tersedia di rumahnya, akhirnya meminta-minta kepada orang lain.            Arwah yang masuk ke neraka itu dalam tiga gelombang, berupa manusia yang pemalas, keras kepala, pander/bodoh, pemenung, pemalu, mudah tersinggung, selalu berdusta, bersungut-sungut, menggerutu, mudah bosan, segan mengalah, ambisius, mudah terpengaruh, mudah percaya padangan omongan orang lain, tidak teguh memegang amanat, sulit hati.        Halaman 10
  1. Orang pemalas tetapi banyak yang diinginkannya selalu akan meminta dikasihani orang lain. Itu sangat tercela.
  2. Orang pemalas seperti air di daun talas, plin-plan namanya. Jadilah dia manusia pengiri melihat keutamaan orang lain.
  3. Amal yang baik seperti ilmu padi makin lama makin merunduk karena penuh bernas.Bila setiap orang berilmu padi maka kehidupan masyarakat pun akan seperti itu.Janganlah meniru padi yang hampa, tengadah tapi tanpa isi.
  4. Jangan pula meniru padi rebah muda, hasilnya nihil, karena tidak dapat dipetik hasilnya.
       Halaman 11
  1. Orang yang berwatak rendah, pasti tidak akan hidup lama.
  2. Sayangilah orang tua, oleh karena itu hati-hatilah dalam memilih istri, memilih hamba, agar hati orangtua tidak tersakiti.
  3. Bertanyalah kepada orang-orang tua tentang agama hukum para leluhur, agar hirup tidak tersesat.
  4. Ada dahulu (masa lampau) maka ada sekarang (masa kini), tidak akan ada masa sekarang kalau tidak ada masa yang terdahulu.
  5. Ada pokok (pohon) ada pula batangnya, tidak akan ada batang kalau tidak ada pokoknya.
  6. Bila ada tunggulnya maka tentu akan ada batang (catang)-nya.
  7. Ada jasa tentu ada anugerahnya. Tidak ada jasa tidak akan ada anugerahnya.Perbuatan yang berlebihan akan menjadi sia-sia.
       Halaman 12
  1. Perbuatan yang berlebihan akan menjadi sia- sia, dan akhirnya sama saja dengan tidak beramal yang baik.
  2. Orang yang terlalu banyak keinginannya, ingin kaya sekaya-kayanya, tetapi tidak berkarya yang baik, maka keinginannya itu tidak akan tercapai.
  3. Ketidakpastian dan kesemerawutan keadaan dunia ini disebabkan karena salah perilaku dan salah tindak dari para orang terkemuka, penguasa, para cerdik pandai, para orang kaya; semuanya salah bertindak, termasuk para raja di seluruh dunia.
  4. Bila tidak mempunyai rumah/kekayaan yang banyak ya jangan beristri banyak.
  5. Bila tidak mampu berproses menjadi orang suci, ya jangan bertapa.
       Halaman 13
  1. Keinginan tidak akan tercapai tanpa berkarya, tidak punya keterampilan, tidak rajin, rendah diri, merasa berbakat buruk. Itulah yang disebut hidup percuma saja.
  2. Tirulah wujudnya air di sungai, terus mengalir dalam alur yang dilaluinya. Itulah yang tidak sia-sia. Pusatkan perhatian kepa cita-cita yang diinginkan. Itulah yang disebut dengan kesempurnaan dan keindahan.
  3. Teguh semangat tidak mempedulikan hal-hal yang akan memengaruhi tujuan kita.
  4. Perhatian harus selalu tertuju/terfokus pada alur yang dituju.
  5. Senang akan keelokan/keindahan.
  6. Kuat pendirian tidak mudah terpengaruh.
  7. Jangan mendengarkan ucapan-ucapan yang buruk.
  8. Konsentrasikan perhatian pada cita-cita yang ingin dicapai.

 
Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke,
aya ma baheula aya tu ayeuna,
hanteu ma baheula hanteu tu ayeuna,
hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang,
hana ma tunggulna aya tu catangna
 

‘Ada dahulu ada sekarang, tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang;
ada masa lalu ada masa kini,
bila tidak ada masa lalu tidak ada masa kini,
ada pokok kayu ada batang, tidak ada pokok kayu tidak akan ada batang,
ada tunggulnya tentu ada catangnya’
           Amanat dari Galunggung.        


Tukilan kalimat Karuhun yang tertuang dalam Naskah Amanat Dari Galunggung, yang mengingatkan kita akan akar budaya yang harus tetap dipelihara untuk kesinambungan antara generasi ke generasi dan kesadaran sejarah. Kesadaran tersebut terus dituntut agar kita tidak tercerabut dari akar budaya yang telah lebih dahulu mapan pada jamannya.

      Akhir-akhir ini Bangsa Indonesia dilanda krisis yang sangat memprihatinkan. Keadaan ini diperparah lagi dengan situasi dan krisis perekonomian yang menghimpit seluruh rakyat Indonesia, situasi politik dan pertarungan elite politik di pusat pemerintahan, terus melanda ke daerah-daerah. Krisis disintegrasi malah mengedepan di daerah-daerah, sehingga muncul berbagai polemik, meminta referendum, otonomi bebas atau merdeka ? Kesalahan fatal yang terjadi kini cukup signifikan, yaitu dengan diberlakukannya otonomi di TK II, padahal yang paling penting dan cukup mendesak untuk persatuan RI ini adalah sistem federasi bagi setiap daerah TK I di seluruh Nusantara.         Sistem federasi cukup untuk mengakomodasi gejolak yang sedang marak di mana-mana, karena hal itu dapat memberikan keleluasaan bergerak dan mengangkat potensi daerahnya masing-masing untuk mengembangkan diri sesuai dengan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alamnya. Pembagian 75 dan 25 untuk pusat cukup untuk memberikan solusi, bahwa setiap daerah tidak merasa diperas pusat dalam hal eksploitasi SDA-nya. Sedangkan kini, bagi setiap daerah dirasakan ketidakadilan dan bahkan mereka merasa bahwa daerah hanya merupakan sapi perah yang terus menerus dieksploitasi. Sementara di daerahnya sendiri pembangunan tidak dirasakan.
        Bagaimana dengan Jawa Barat ? Imbas terhadap Jawa Barat sebagai daerah yang saampar samak dengan Ibukota RI - sungguh merupakan imbas yang tak dapat dilepaskan begitu saja. Jawa Barat sebagai hinterland dari ibukota, sangat berat dirasakan. berbagai upaya pemerintah mencari solusi, namun yang nampak hanya kamulflase yang pada akhirnya tetap tidak dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Jawa Barat. Akibatnya, Banten meminta referendum untuk menjadi propinsi tersendiri. Benarkah demikian ? Apabila itu terjadi, maka rangkaian benang sutra kini mulai menipis dan poada suatu saat pasti terputus apabila hal itu tiudak cepat-cepat diatasi dengan baik.
        Tetapi kita ingat bahwa di balik krisis itu terdapat dua makna yang tak dapat dipisahkan, yaitu ancaman dan peluang. Maka keduanya perlu kita siasati agar dapat menuju ke arah keadaan yang lebih baik. Perjalanan Bangsa Indonesia, kni sedang menuju ke Indonesia Baru. Berbicara mengenai Indonesia Baru, maka tak lepas dari Jawa Baru, Sunda Baru, kini masyarakat Jawa Barat harus mampu menghidupkan spirit Jawa Barat Baru dengan latar belakang budaya dan sejarah yang dimilikinya. Perlu pengadopsian nilai-nilai karuhun yang telah disosialisasikan dahulu dan dijadikan pegangan hidup untuk survive.
        Salah satu elemen penting dalam menghadapi masalah besar tersebut, dengan memanfaatkan sikap kepemimpinan yang berbasis Back to Karuhun diharapkan dapat menciptakan kesatuan wawasan yang berorientasi pada upaya pemecahan masalah disintegrasi sosial yang semakin meruncing. Juga dalam hubungan ini, sikap dari individu diharapkan dapat menciptakan situasi yang kondusif dalam membentuk opini masyarakat terhadap sence of belonging ‘rasa saling memiliki’ dan sence of a proud ‘rasa kebanggaan’ terhadap budaya daerahnya. Sehingga Bangsa Indonesia dengan motto Bhineka Tunggal Ika ‘Kesatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan’ . Motto ini sudah harus diubah dengan persatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam persatuan. Dan gejala disintegrasi sosial mudah-mudahan hanya merupakan fenomena reformasi yang tidak perlu meruncing dan menjadikan kita terpecah. Biarlah fenomena itu merupakan bayang-bayang sebagai ungkapan rasa keterbukaan dari sikap yang primordial dan feodalistik. Saling bagi rasa dalam penghayatan dan pengembangan budaya daerah itu perlu terus ditumbuhkembangkan sehingga terwujud dalam bentuk kebudayaan nasional yang mampu hidup dalam kancah yang mensejagat.
         Mari kita sepakati bahwa dengan mengerti dan membanggakan budaya lokal, bukan berarti agul ku payung butut ‘membanggakan hal yang sudah usang’, melainkan kita harus menemukan benang merahnya agar dapat menjawab apa makna di balik kearifan Karuhun yang mampu mengatasi ancaman dan tantangan yang sedang kita hadapi sekarang ini.
        Kecemburuan sosial dan perpecahan masyarakat yang berlatar ekonomi, atau karena meluasnya jurang pemisah antara pusat dan daerah disebabkan era reformasi yang digulirkan, menimbulkan disintegrasi nasional. Ketegangan dan pertentangan sosial yang kini terjadi itu, biasanya bersifat sementara menjelang tercapainya proses penyesuaian kembali ‘readjusment process’ tata kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Hal itu memerlukan perhatian dan pembinaan yang memadai untuk mencapai hasil sesuai dengan tujuan pembangunan bangsa.
        Perhatian terhadap pengembangan perangkat nilai dan elan vital budaya bangsa yang dapat mengikat dan memperkuat persatuan dan kesatuan seringkali tertunda kalau tidak dilupakan sama sekali. Dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, proses pembangunan bangsa atau integrasi nasional justru menuntut perubahan, pergeseran, penyesuaian, dan juga pengembangan nilai-nilai budaya baru.         Sesungguhnya perkembangan kebudayaan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia yang majemuk sejak proklamasi kemerdekaan itu berlangsung amat cepat dan menimbulkan dampak sosial budaya yang amat luas. Sehingga C. Greetz (1963) menyebutnya sebagai ‘integrative revolution’. Proses itu memperluas kesadaran akan kesamaan dan perbedaan primordial dalam kelompok-kelompok sosial yang terbatas ke arah persatuan yang lebih luas dalam kerangka keterpaduan masyarakat bangsa. Bagi bangsa Indonesia, revolution integrative itu mengandung arti bahwa ikatan kelompok primordial yang dilandasi oleh hubungan kerabat, keagamaan, dan kebahasaan setempat meluas ke dalam kelompok yang lebih besar yang melihat keseluruhan masyarakat bangsa. Sehingga keberhasilan pembangunan bangsa atau integrasi nasional dalam masyarakrat majemuk dapat diartikan sebagai pergeseran ikatan primordial yang tradisional dan bersifat lokal ke arah identitas nasional yang baru.
        Jawa Barat yang kaya akan nilai-nilai budaya dan falsafah hidup, sangat diharapkan mampu mengisi dan menjadi anutan bangsa Indonesia pada tatanan dan tataran Indonesia Baru; di mana di dalamnya pasti ada Jawa Barat Baru dan Sunda Baru -- yang kita songsong di depan. Salah satu nilai budaya dan falsafah Sunda itu adalah: Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh ‘Tri Silas’. Merupakan motto yang sangat melekat pada hati setiap individu masyarakat Jawa Barat. Tri Silas ini merupakan sebuah sistem yang harus menjadi pedoman setiap individu dalam menghadapi segala bentuk fenomena kehidupan ini, baik di lingkungan terkecil (keluarga) maupun dalam kancah yang lebih luas lagi (negara); apalagi dalam menghadapi situasi dan kondisi seperti sekarang ini.      Segala upaya harus diusahakan dengan tata cara yang benar titih rintih nete taraje nincak hambalan, nyusun jeung ngentep seureuh. Dapat disimpulkan dalam kata yang lebih populer yaitu PROPORSIONAL dan PROFESIONAL.
        Dalam kitab kuno orang Sunda -- yang dahulu menjadi sebuah pegangan dalam hidup dan berkehidupan,-- yaitu nasihat dari Rakeyan Darmasiksa kepada putranya SangLumahing Taman dan bahkan kepada kita semuanya yang menyatakan bahwa, bila tanah air ini dikuasi oleh orang lain maka lebih berharga nilai kulit lasun di tempat sampah daripada tanah air yang pada akhirnya jatuh ke tangan orang lain. Lebih jelasnya :Lamun miprangkeuna kabuyutan na Galunggung, antuk na kabuyutan, awak urang na kabuyutan, nu leuwih dipraspade, pahi deung na Galunggung, jaga beunangna kabuyutan ku Jawa, ku Baluk, ku Cina, ku Lampung, ku sakalih, muliyana kulit lasun dijaryan, madan rajaputra, antukna beunang ku sakalih.../ ( Koropak 632, Amanat Glunggung)
        Bila terjadi perang (memperebutkan) kabuyutan di Galunggung, pergilah ke kabuyutan, bertahanlah kita di kabuyutan. Apa-apa yang lebih sulit dipertahankan dirapihkan semua dengan yang di Galunggung. Cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh Jawa, oleh Baluk, oleh Cina, oleh Lampung, oleh yang lainnya. Lebih berharga nilai kulit lasun di tempat sampah daripada bila kabuyutan akhirnya jatuh ke tangan orang lain.
      Kehidupan yang mensejagat sangat memungkinan nilai-nilai manusiawi yang terkandung dalam budaya Sunda yang selama ini menjadi pedoman masyarakat Sunda, akan terkikis bahkan lenyap ditelan nilai-nilai baru yang belum tentu sesuai dengan fitrah Ki Sunda. Untuk itu diperlukan usaha menggali dan mentransformasikan nilai-luhur Ki Sunda yang selaras ke dalam kehidupan modern. Ini memerlukan kaberanian serta kemampuan yang terus menerus dari para pemangku budaya dan pemangku kebijakan.      Gejala disintegrasi yang muncul pada akhir-akhir ini, mungkin juga karena wawasan akan budaya di antara kita belum mantap. Sebagai upaya pembinaan dan pengembangan nilai-nilai budaya perlu dilakukan penyebarluasan informasi tantang latar dan kehidupan sosial budaya masyarakat dari berbagai budaya dengan segala dinamikanya.
        Sehingga proses otonomi daerah yang seluas-luasnya, menuntut kepada para pemangku kebijakan di masa yang akan datang untuk merujuk ke akar budaya dalam setiap gerak dan dinamikanya. Hal itu disebabkan budaya daerah akan lebih dominan dan lebih berperan dalam mengatasi proses globalisasi.

      Sebagai panutup dari tulisan ini, mari kita cermati lebih dalam lagi peringatan Karuhun kita yang baru-baru ini ditemukan pada sebuah prasasti di Kawali - Panjalu Ciamis (Prasasti Kawali VI) yang berbunyi : Ini peureu tigal nu atisti rasa aya ma nu ngeusi dayeuh iweu ulah batenga bisi kakereh ‘Ini tulisan peninggalan orang yang mendalami ilmu, semoga ada orang yang mengisi kota ‘generasi penerus’, jangan lengah atau banyak tingkah agar tidak celaka’.
 
Picture
Bebas dan atau berbudi luhur, itulah sebaris kata arti dari mahardika, seperti yang tercantum dalam kamus Sansakerta. Persamaan lain muncul pertama kali dalam sebaris prasasti sima di Kediri, kemudian diberi nama Prasasti Harinjing tertanggal 804 Masehi yang menyebutkan mengenai pembebasan sebuah lahan atau tanah atau daerah tertentu dari kewajiban membayar pajak kepada pemerintah atau kerajaan karena daerah yang bersangkutan memiliki jasa. Tanah/daerah yang kemudian dibebaskan tersebut kemudian biasa disebut sebagai daerah perdikan—daerah yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak.        Entah sejak kapan kemudian istilah “merdeka” yang memiliki makna sama dengan dua kata kuno di atas, sejak kapan tepatnya metamorfosa kata tersebut terjadi, belum ada penelitian yang terpublikasi. Satu hal yang pasti, keberadaan kata tersebut dalam perbendaharaan kata di Nusantara menunjukkan bahwa kawasan Nusantara telah sejak lama mengenal konsep tersebut, mengenal arti merdeka dan memahami makna merdeka.        Merdeka dalam konteks sejarah tidak hanya sebuah proses seremonial dalam mengenang dan menghapal sekumpulan nama orang yang kemudian melalui sebuah surat keputusan diangkat menjadi pahlawan, atau mengingat-ingat tanggal sebuah peristiwa. Merdeka dalam konteks sejarah berarti mengapresiasi,  berarti melakukan sebuah proses pemahaman terhadap laku seorang individu, serta pola sebuah peristiwa.        Kita diajarkan untuk mengenal banyak pahlawan bangsa serta peristiwa pembentukan bangsa, tapi kita tidak banyak mengetahui tokoh serta peristiwa pembentuk karakter bangsa.  Siapakah tokoh pembentuk karakter bangsa ini?, peristiwa apa yang membentuk karakter bangsa ini?, situasi seperti apa yang membentuk karakter bangsa ini?        Beberapa hari yang lalu tim Wacana Nusantara dan Nusantara Online berkesempatan berkunjung dan berdiskusi bersama rekan-rekan dari Yayasan Mitra Netra mengenai pengembangan sebuah aplikasi digital bagi para penyandang tuna netra, Yayasan Mitra Netra adalah lembaga yang memberikan konseling bagi para penyandang tuna netra. Adalah hal yang menarik ketika diskusi tersebut kemudian memasuki topik mengenai penyandang tuna netra sejak lahir, para penyandang tuna netra sejak lahir ternyata sangat kesulitan untuk menerima konsep mengenai warna dan sampai dengan saat ini belum ada metode yang secara gamblang mampu menjelaskan konsep mengenai warna tersebut kepada mereka.        Hal seperti di atas pula yang terjadi ketika kita berbicara mengenai karakter bangsa, terutama untuk kami dan rekan-rekan lain yang masih relatif muda. Akses yang terbatas terhadap sumber-sumber sejarah, terbatasnya sumber-sumber pembelajaran sejarah yang kemudian mumbuat kaburnya fakta dan data. “Harapan” yang kemudian menjadi pemicu, harapan yang muncul dari penggalan-penggalan sejarah yang nyaris menjadi dongeng, harapan yang masih tersimpan di dalam puing-puing candi dan menhir, di dalam cabikan-cabikan lontar yang sudah tidak utuh, serta pada prasasti-prasasti yang mulai aus, bahwa pada suatu masa, di waktu yang lalu, pernah muncul banyak kearifan dan keagungan yang dicapai oleh leluhur bangsa ini.          Mari berbagi, berbagi dalam dimensi pembelajaran, untuk bersama mencari titik terang dalam menggali kembali nilai-nilai luhur dan karakter bangsa ini yang tersimpan di balik sepenggal dongeng tentang kejayaan masa lalu negeri ini dan mengalir dalam tetes darah yang mengalir dalam nadi setiap insan bangsa ini.        Mahardika Bangsaku!!

This is your new blog post. Click here and start typing, or drag in elements from the top bar.
 
Kata Kunci: Kearifan lokal, budaya Nusantara, pengembangan        Eksplorasi terhadap kekayaan luhur budaya bangsa tersebut sangat perlu untuk dilakukan, sekaligus juga berupaya untuk mengkritisi eksistensinya terkait dengan keniscayaan adanya perubahan budaya. Ruang eksplorasi dan pengkajian kearifan lokal menjadi tuntutan tersendiri bagi pengembangan institusional filsafat dan bagi eksplorasi khazanah budaya bangsa pada umumnya. 

Pengertian Kearifan Lokal (Local Wisdom)      Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris-Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.   Local Genius sebagai Local Wisdom     
Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini (Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:  
1.       mampu bertahan terhadap budaya luar,
2.       memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,
3.       memunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli,
4.       memunyai kemampuan mengendalikan,
5.       mampu memberi arah pada perkembangan budaya. 

“Berpijak pada Kearifan Lokal”, bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meski pun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.         S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam Iun, mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.        Dalam penjelasan tentang ‘urf, Pikiran Rakyat terbitan 6 Maret 2003 menjelaskan bahwa tentang kearifan berarti ada yang memiliki kearifan , yang dilawankan dengan. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan.   Contoh dan Fungsi Kearifan Lokal     .Dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam , bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat, maka fungsinya menjadi bermacam-macam. Balipos terbitan 4 September 2003 memuat tulisan “Pola Perilaku Orang Bali Merujuk Unsur Tradisi”, antara lain memberikan informasi tentang beberapa fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu: 
  1. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.
  2. Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate.
  3. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji.
  4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
  5. Bermakna sosial, misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.
  6. Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.
  7. Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur.
  8. Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron client.
     Dari penjelasan fungsi-fungsi tersebut tampak betapa luas ranah keraifan lokal, mulai dari yang sifatnya sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan teknis. Elly Burhainy Faizal dalam SP Daily tanggal 31 Oktober 2003 dalam mencontohkan beberapa kekayaan budaya, kearifan lokal di Nusantara yang terkait dengan pemanfaatan alam yang pantas digali lebih lanjut makna dan fungsinya serta kondisinya sekarang dan yang akan datang. Kearifan lokal terdapat di beberapa daerah:
  1. Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku). Gunung Erstberg dan Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai bagian dari hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya alam secara hati-hati.
  2. Serawai, Bengkulu, terdapat keyakinan celako kumali. Kelestarian lingkungan terwujud dari kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam tanjak.
  3. Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana‘ ulen. Kawasan hutan dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi oleh aturan adat.
  4. Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat. Masyarakat ini mengembangkan kearifan lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan  memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa bera, dan mereka mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan.  
  5. Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat. Mereka mengenal upacara tradisional, mitos, tabu, sehingga pemanfaatan hutan hati-hati, tidak diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat.
  6. Bali dan Lombok, masyarakat memunyai awig-awig.
Kerifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan.
 
Menurut UU Nomor 4 Tahun 1982 yang disebut lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup yang termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang memengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. 1. Mencermati Undang-undang di atas, mengisyaratkan bahwa posisi manusia menjadi sangat penting dan strategis. Manusia menjadi kunci perubahan dalam lingkungannya karena manusia dan tingkah-lakunya mampu memengaruhi kelangsungan hidup seluruh makhluk yang ada. Akan tetapi, melalui lingkungannya ini pula tingkah-laku manusia ditentukan sehingga sebenarnya ada hubungan timbal-balik yang seimbang antara manusia dengan lingkungannya.
 
      Hubungan yang seimbang antara keduanya akan mampu menyajikan kehidupan harmonis yang mempersyaratkan semua yang menjadi bagian lingkungan untuk tidak saling merusak. Sesungguhnya manusia dan lingkungannya adalah gambaran hidup sistematis sempurna yang pada dasarnya untuk kepentingan manusia itu sendiri. 2. Manusia membutuhkan tumbuhan untuk kelangsungan pernafasan karena tumbuhan menjadi produsen oksigen tetap sepanjang masa. Dengan tumbuhan-tumbuhan manusia makan dan minum karena pada tumbuhan ini air tersimpan sempurna dalam tanah dan manusia dapat menggunakan tumbuhan itu secara langsung. Oleh karena itu, agar harmonisasi kehidupan ini tercipta dan tetap terjaga, kita harus bersikap dan berperilaku arif terhadap lingkungan.
 
      Kearifan terhadap lingkungan dapat dilihat dari bagaimana perlakuan kita terhadap benda-benda, tumbuhan, hewan, dan apapun yang ada di sekitar kita. Perlakuan ini melibatkan penggunaan akal budi kita sehingga dari perlakuan-perlakuan tersebut dapat tergambar hasil dari aktivitas budi kita. Akumulasi dari hasil aktivitas budi dalam menyikapi dan memperlakukan lingkungan disebut pengetahuan lokal atau biasa disebut kearifan lokal. Kearifan lokal ini menggambarkan cara bersikap dan bertindak kita untuk merespon perubahan-perubahan yang khas dalam lingkup lingkungan fisik maupun kultural.
 
      Pada masa kini kearifan lokal menjadi kecenderungan umum masyarakat Indonesia yang telah menerima otonomi daerah sebagai pilihan politik terbaik. Membangkitkan nilai-nilai daerah untuk kepentingan pembangunan menjadi sangat bermakna bagi perjuangan daerah untuk mencapai prestasi terbaik. Selama ini, kearifan lokal tiarap bersama kepentingan pembangunan yang bersifat sentralistik dan top down. 3. Oleh karena itu, sudah saatnya untuk menggali lebih banyak kearifan-kearifan lokal sebagai alat atau cara mendorong pembangunan daerah sesuai daya dukung daerah dalam menyelesaikan masalah-masalah daerahnya secara bermartabat.
 
      Namun demikian, tidak sedikit kalangan yang mempertanyakan relevansi kearifan lokal di tengah-tengah perjuangan umat manusia menatap globalisasi. Apakah kearifan lokal sebagai sistem pengetahuan manusia itu logis atau sekadar mitos? Apakah kearifan lokal itu benar-benar berpijak pada realitas empiris atau sekadar spekulasi orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu? Tulisan ini mencoba untuk menjawab keraguan di atas dengan pendekatan yang relevan.
 
Kearifan Lokal: Fungsi dan Wujudnya
      Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai "kearifan/kebijaksanaan".
 
      Local secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut setting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah-laku mereka.
 
Kearifan Lokal Tidak Sekadar sebagai Acuan Tingkah Laku
      Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. 4. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.
 
      Secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika Geertz mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. 5. Tato, hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.
 
Wujud Kearifan Lokal
      Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. 6. Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.
 
      Proses sedimentasi ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, dari satu generasi ke generasi berikut. Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun non-empiris atau yang estetik maupun intuitif. 7. Kearifan lokal lebih menggambarkan satu fenomena spesifik yang biasanya akan menjadi ciri khas komunitas kelompok tersebut, misalnya alon-alon asal klakon (masyarakat Jawa Tengah), rawe-rawe rantas malang-malang putung (masyarakat Jawa Timur), ikhlas kiai-ne manfaat ilmu-ne, patuh guru-ne barokah urip-e (masyarakat pesantren), dan sebagainya.
Kearifan Lokal sebagai Fenomena Keilmuan

Analisis Metodologis: Analogi dengan Indigenous Psychology
      Kearifan lokal merupakan usaha untuk menemukan kebenaran yang didasarkan pada fakta-fakta atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam sebuah budaya masyarakat tertentu. Definisi ini bisa jadi setara dengan definisi mengenai indigenous psychology yang didefinisikan sebagai usaha ilmiah mengenai tingkah-laku atau pikiran manusia yang asli (native) yang tidak ditransformasikan dari luar dan didesain untuk orang dalam budaya tersebut. Hasil akhir dari indigenous psychology adalah pengetahuan yang menggambarkan tentang kearifan lokal, yaitu gambaran mengenai sikap atau tingkah-laku yang mencerminkan budaya asli.
 
      Secara metodologis, pembentukan indigenous psychology masih meminjam metode-metode ilmiah yang lazim dipakai sampai saat ini dengan mengontekstualisasikan teori-teori yang ada dengan kecenderungan-kecenderungan lokal yang berkembang. Pada tahap ini, operasionalisasi teori-teori yang ada dikembangkan atau dimodifikasi menurut karakter-karakter masyarakat dan kepentingan lokal. Hal ini penting dipahami karena ketika berbicara tentang keilmuan kita tidak bisa lepas dari teori-teori Barat yang secara faktual telah mengembangkan tradisi ilmiah lebih awal. Dengan demikian, sebagai usaha awal masih perlu untuk menggunakan teori-teori Barat sebagai pendekatan.
 
      Selanjutnya, titik berat metodologis penelitian tidak lagi kuantitatif murni, tetapi lebih mengarah pada penelitian kualitatif atau kombinasi kuantitatif dan kualitatif. Oleh karena basis teori belum dimiliki dalam khazanah kearifan lokal, maka melalui teori-teori Barat kemudian dilakukan pendalaman-pendalaman. Pendalaman ini mengacu dan mengikuti gerak dan kepentingan masyarakat setempat. Ciri pendalaman ini menjadi karakteristik utama dalam penelitian kualitatif. Melalui pendalaman-pendalaman dapat diangkat khazanah keilmuan dari kearifan-kearifan lokal yang berkembang dan bersifat ilmiah.
 
Analisis Aras Individual: Sistem Kognisi Kita
      Untuk memahami bagaimana kearifan lokal berkembang dan tetap bertahan, maka perlu pemahaman dasar mengenai proses-proses kejiwaan yang membangun dan mempertahankannya. Proses-proses itu meliputi pemilihan perhatian (selective attention), penilaian (appraisal), pembentukan dan kategorisasi konsep (concept formation and categorization), atribusi-atribusi (attributions), emotion, dan memory. Ada pun penjelasan lebih lanjut mengenai proses-proses di atas sebagai berikut.
 
a. Selective Attention
      Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang pasti selalu berhadapan dengan banyak stimulus sehingga para ahli jiwa sepakat bahwa semua stimulus tidak mungkin untuk diproses. Oleh karena itu, individu dalam menghadapi banyaknya stimulus tersebut akan melakukan apa yang disebut sebagai selective attention. Selective attention merupakan proses tempat seseorang melakukan penyaringan terhadap stimulus yang dianggap sesuai atau yang mampu menyentuh perasaan.10. Oleh karena kapasitas sistem sensasi dan perseptual kita terbatas, maka harus belajar bagaimana caranya membatasi jumlah informasi yang kita terima dan diproses.
 
      Terkait dengan proses pembentukan kearifan lokal, maka proses pemilihan perhatian menyediakan mekanisme kejiwaan untuk membatasi informasi-informasi yang diterima dan diproses. Dalam kehidupan pesantren, terdapat banyak informasi-informasi ajaran-ajaran mengenai tata cara berperilaku santri yang berasal dari kitab-kitab kuning. Oleh karena kapasitas sistem sensasi dan perseptual kita terbatas, maka kita perlu membatasi informasi-informasi yang masuk dengan menetapkan beberapa informasi untuk kita terima, misalnya santri hanya memilih sikap tawadlu’, sederhana, ikhlas, patuh, dan sebagainya.
 
b. Appraisal
      Beberapa stimulasi yang telah dipilih secara konstan akan dinilai. Penilaian merupakan proses evaluasi terhadap stimulus yang dianggap memiliki arti bagi kehidupan seseorang dan yang mampu menimbulkan reaksi-reaksi emosional. Hasil penilaian ini adalah keputusan yang berupa respon-respon individu, yang oleh Lazarus disebut coping (penyesuaian). 11. Proses ini relevan dengan terbentuk nya pengetahuan atau kearifan lokal karena pemilihan terhadap informasi yang masuk lebih menekankan pada pertimbangan berguna bagi kehidupan mereka.
 
      Terkait dengan pembentukan dan berkembangnya kearifan lokal ini, maka proses appraisal ini menyediakan sebuah mekanisme kejiwaan di mana kita secara aktif menilai informasi yang masuk dan kita proses hanya yang bermakna bagi kita. Misalnya dalam kehidupan pesantren, seorang santri menilai dari sekian ajaran tentang tingkah-laku, maka yang dianggap bermakna hanya kepatuhan dan kebersamaan.
 
c. Concept Formation and Categorization
      Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang menghadapi stimulus yang banyak dan tidak mungkin diikuti semuanya. Semua orang, benda-benda, tempat-tempat, kejadian-kejadian, dan aktivitas yang kita alami tidak mungkin dapat diterima dan disajikan oleh pikiran kita dalam sebuah unit informasi yang bebas. 12. Oleh karena itu, melalui mekanisme kejiwaan dibuat gambaran mental yang digunakan untuk menjelaskan benda-benda, tempat-tempat, kejidian-kejadian, dan aktivitas yang kita alami yang kemudian disebut konsep. Melalui konsep-konsep seseorang dapat mengevaluasi informasi-informasi, membuat keputusan-keputusan, dan bertindak berdasarkan konsep tersebut.
 
      Kategorisasi adalah proses tempat konsep-konsep psikologis dikelompokkan. Studi mengenai pembentukan kategori melibatkan pengujian bagaimana seseorang mengklasifikasikan peristiwa-peristiwa, benda-benda, aktivitas-aktivitas ke dalam konsep-konsep. Pembentukan konsep dan kategorisasi memberikan cara untuk mengatur perbedaan dunia sekeliling kita menjadi sejumlah kategori-kategori tertentu. Kategori-kategori tersebut didasarkan pada sifat-sifat tertentu dan objek yang kita rasa atau serupa secara kejiwaan.
 
      Terkait dengan pembentukan dan berkembangan kearifan lokal, maka pada bagian pembentukan konsep dan kategorisasi ini menyediakan kepada kita cara-cara untuk mengorganisasikan perbedaan ajaran-ajaran tingkah-laku yang ada di sekitar kita ke dalam sejumlah kategori berdasarkan kepentingan tertentu. Misalnya kepatuhan adalah cara bertingkah-laku santri sebagai orang yang akan menuntut ilmu dengan seorang kiai dan kebersamaaan adalah cara bertingkah-laku santri sebagai orang yang hidup jauh dari orangtua dan merasa senasib seperjuangan.
 
d. Attributions
      Satu karakteristik umum dari manusia adalah perasaan butuh untuk menerangkan sebab-sebab peristiwa dan perilaku yang terjadi. Attributions yang menjadi satu karakter diri yang menggambarkan proses mental untuk menghubungkan (membuat pertalaian) antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya atau satu perilaku dengan perilaku atau peristiwa lainnya. 13. Attribution ini membantu kita untuk menyesuaikan informasi baru mengenai dunianya dan membantu mengatasi ketidaksesuaian antara cara baru dengan cara lama dalam memahami sesuatu.
 
      Terkait dengan pembentukan dan berkembangannya kearifan lokal, maka pada bagian attribution ini menyediakan fungsi-fungsi penting dalam kehidupan kita untuk mengorganisasikan informasi-informasi yang bermakna bagi kita secara kejiwaan dengan mengontrol antara intention (niat) dengan perilaku. Misalnya, pilihan perilaku patuh santri itu penting bagi seorang yang sedang menuntut ilmu karena kepatuhan santri terhadap kiai akan berimplikasi pada kepatuhan santri terhadap ajaran-ajaran yang disampaikan kiai sehingga muncul kecenderungan (niat) untuk melaksanakan apapun yang diajarkan kiai.
 
e. Emotion
      Emosi adalah motivator yang paling penting dari perilaku kita yang dapat mendorong seseorang untuk lari jika takut dan memukul jika sedang marah. Emosi adalah perangkat penting yang terbaca untuk memberitahu kepada kita cara untuk menginterpretasikan peristiwa dan situasi di sekeliling kita pada saat kita melihatnya.
 
      Terkait dengan pembentukan dan berkembangannya kearifan lokal, maka pada bagian emotion ini menyediakan kepada kita dorongan-dorongan untuk melakukan sesuatu sesuai kebutuhan kita. Misalnya, apa pun yang diajarkan kiai itu pasti baik dan membawa barokah (kebaikan) sehingga dapat mendorong santri selalu mengamalkan ajaran-ajaran kiai. Kebutuhan mendapatkan barokah dari kiai seolah menjadi motivator bagi santri untuk selalu patuh kepada kiai.
 
      Semua proses kejiwaan di atas, merupakan proses yang saling berinteraksi satu sama lain sehingga dapat digambarkan rangkaian kejiwaan pembentukan dan berkembanganya kepatuhan. Kepatuhan sebagai informasi umum menjadi informasi khusus, yaitu kepatuhan sebagai sistem motivator nilai dalam diri santri untuk melakukan aktivitas-aktivitas selama di pesantren. Kepatuhan sebagai bantuk kearifan lokal yang berlaku di pesantren dapat menjadi energi potensial untuk proses transfer dan internalisasi nilai-nilai keislaman melalui kiai sebagai model yang dipatuhi.
 
Analisis Aras Kelompok: Human Ecology Theory
      Sebagaimana telah dikemukan di atas bahwa kearifan lokal mewujud dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang memiliki pemahaman yang sama mengenai sesuatu. Pemahaman bersama mengenai sesuatu itu terbentuk dari proses yang sama pula di mana mereka berinteraksi dalam lingkungan yang sama. Pemahaman yang sama mengenai sesuatu ini dapat terjadi karena pada dasarnya setiap lingkungan pasti memiliki setting tertentu mengenai hubungan-hubungan ideal kelompok mereka. 15. Setting inilah sebenarnya yang menjadi roh dari tingkah-laku masyarakat.
 
      Menurut teori human ecology terdapat hubungan timbal-balik antara lingkungan dengan tingkah-laku. Lingkungan dapat memengaruhi tingkah-laku atau sebaliknya, tingkah-laku juga dapat memengaruhi lingkungan. Penekanan teori ini adalah adanya setting dalam lingkungan. Lingkungan tersusun atas struktur-struktur yang saling memengaruhi di mana dalam struktur-struktur tersebut terdapat setting-setting tertentu pula.
 
      Satu hal yang menarik dari teori ini adalah pengakuan adanya set tingkah-laku (behavioral setting) yang dipandang sebagai faktor tersendiri dalam sebuah interaksi sosial. Set tingkah-laku yang dimaksud di sini adalah set tingkah-laku kelompok (bukan tingkah-laku individu) yang terjadi sebagai akibat kondisi lingkungan tertentu (physical milleu). Set tingkah-laku ini muncul sebagai respon dari kondisi lingkungan yang ada, misalnya dalam lingkungan pesantren telah disusun pola interaksi kiai/guru dan santri, kiai adalah model bagi santrinya dan santri harus mengikuti modelnya.
 
      Susunan pola interaksi di atas mampu memunculkan set tingkah-laku santri yang menjadikan kiai sebagai suri teladannya sehingga segenap ucapannya harus dipatuhi. Jika ada salah seorang dalam kelompok itu tidak mengikuti set tingkah-laku yang ada, maka terganggulah lingkungan itu. Setiap orang akan membicarakan atau memarahi anak yang tidak mengikuti set tingkah-laku kelompok tersebut, bahkan anak itu bisa dikeluarkan dari pesantren. Dengan demikian, dengan menggunakan pendekatan teori human ecology dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal muncul sebagai reaksi kelompok terhadap lingkungannya sehingga terjadi keseimbangan hidup dalam kelompok tersebut.
 
Penutup
      Kearifan lokal merupakan hasil proses dialektika antara individu dengan lingkungannya. Kearifan lokal merupakan respon individu terhadap kondisi lingkungannya. Pada aras individual, kearifan lokal muncul sebagai hasil dari proses kerja kognitif individu sebagai upaya menetapkan pilihan nilai-nilai yang dianggap paling tepat bagi mereka. Pada aras kelompok, kearifan lokal merupakan upaya menemukan nilai-nilai bersama sebagai akibat dari pola-pola hubungan (setting) yang telah tersusun dalam sebuah lingkungan.
 
Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia merdeka berasaskan Ketuhanan yang Maha Esa! (Bung Karno,Pidato “Lahirnya Pancasila”, 1 Juni 1945).

     Sebelum masuknya agama-agama luar ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah ber-Tuhan dan menjunjung tinggi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya. Karena itu, tuduhan para penganjur “negara agama” pada sidang-sidang Konstituante, bahwa dari ideologi Islam ke Pancasila adalah “ibarat melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa, vacuum, tak berhawa”,1 justru sangat bertentangan dengan kenyataan sejarah.        Sebaliknya, sejarah membuktikan bahwa Dasar Negara Pancasila berakar pada kepribadian bangsa dalam rentangan perjalanan sejarahnya selama ribuan tahun. Di bawah ini adalah bukti-bukti bahwa prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” dijunjung tinggi, dan meskipun agama-agama dalam perjalanan selanjutnya diterima, tetapi direfleksikan kembali dalam prinsip Ketuhanan yang lebih universal, mengatasi “agama-agama terorganisasi” (organized religions) yang cenderung sektarian dengan sikap “imperialisme doktriner”-nya yang membahayakan keutuhan bangsa, bahkan peradaban manusia.   I. Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Lintasan Sejarah Nusantara      Bangsa Indonesia dalam lintasan sejarahnya selama beribu-ribu tahun adalah bangsa yang luwes, toleran dan terbuka. Sejak awal sejarahnya yang paling dini, pengaruh agama-agama luar diterima dengan ramah, tetapi direfleksikan kembali dalam konteks kebudayaannya sendiri. Beberapa bukti sejarah membuktikan kesimpulan di atas, antara lain dapat diikuti dari bukti-bukti di bawah ini:      Prasasti Kedukan Bukit (683 M). Prasasti yang berasal dari kerajaan nasional pertama, yaitu kedatuan Sriwijaya ini, menyebutkan bahwa Dapunta Hyang melakukan “ziarah raja” (siddhiyatra) demi kejayaan Sriwijaya: Dapunta Hyang  nayik di samwau manalap siddha-yatra. Artinya: “Dapunta Hyang naik naik ke kapal pergi menjemput berkah kebahagiaan tuah-kesaktian”. Menurut Mr. Muhammad Yamin, siddhayatra adalah perjalanan “ngalap berkah” kepada kekuatan adikodrati yang disebutnya Hyang (Tuhan Yang Maha Esa).2 Dan dibuktikan bahwa nama Dapunta Hyang secara jelas membuktikan pemujaan kepada Sang Hyang (Tuhan) sebelum masuknya pengaruh Hindu/Buddha. Dari kata hyang (Tuhan) inilah kita sekarang mengenal istilah “sembahyang”, artinya doa atau menyembah Hyang/ Tuhan Yang Maha Esa.       Sanghyang Siksakanda ng Karesian. Naskah ini berasal dari kerajaan Sunda kuno, ditulis kira-kira abad V M. Ketika pengaruh Hindu dan Buddha mulai masuk, keduanya disambut ramah: Hongkara namo Siwa (Selamatlah dengan nama Siwa), dan Sembah ing Hulun di Sang-hyang Pancatatagatha (Sembah hamba kepada Sang Panca Tatagata). Keduanya disambut baik, karena “ya eta pahayuon sareanana” (Itu demi kebaikan semuanya). Meskipun demikian, agamaagama yang datang – yang diwakili dengan kata “Bathara” – ditempatkan di bawah Hyang (prinsip Ketuhanan yang lebih universal, penghayatan asli bangsa Indonesia): “…mangkubhumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di  Hyang” (Mangkubumi berbakti kepada Raja, Raja berbakti kepada de-wa-dewa, dan dewa-dewa berbakti kepada Hyang/ Prinsip Ketuhanan universal).3        Perkembangan kedua agama selanjutnya menarik untuk disimak. Hindu, khususnya madzab Siwa dan Buddha, pada masa-masa sesudah itu sangat menonjol. Pada era kerajaan Mataram Hindu (Jawa Tengah), kedua agama itu masih terpisah, berjalan sendiri-sendiri tanpa saling menganggu (co-existence), tetapi pada masa ke-rajaan-kerajaan Jawa Timur secara bertahap, dari relasi co-exixtence meningkat menjadi relasi “pro-exis-tence” (saling ada dan saling berbagi).        Tahap-tahap itu misalnya dapat dibaca pada karya-karya sastera sebagai berikut: Dalam Kunjarakarna (abad XI) dari Kerajaan Singasari) ditekankan kerukunan antara kedua agama: Tunggal ika kabeh, kami Siwa kami Buddha  (Semua menjadi satu, kita yang Siwa, maupun kita yang beragama Buddha),4 tetapi rupanya masih dalam tahap co-existence sebagai satu kesatuan sosiologis.Sedangkan dalam Sang Hyang Kamahayanikan (abad X, Mpu Sindok) ungkapan: Buddha tunggal lawan Siwa (Buddha dan Siwa itu satu),5 mulai merenungkan relasi keduanya secara metafisik. Raja Kertanegara, pencetus politik persatuan Nusantara, menyebut “Sang Hyang Siwa-Buddha” dalam praxis Sangkan Paraning Dumadi (asal muasal dan tujuan Kehidupan). Ungkapan Sang Hyang Siwa-Buddha disini dipahami dalam makna prinsip tertinggi Ketuhanan yang Maha Esa, yang mengatasi baik Siwa maupun Buddha itu sendiri.        Puncak dari refleksi mengenai prinsip universal Ketuhahan Yang Maha Esa yang “beyond religions” (mengatasi agama-agama) ini terjadi pada era kejayaan Majapahit. Majapahit adalah negara nasional kedua, yang jelas-jelas bukan negara Hindu. Sekalipun sebagian besar masyarakatnya beragama Hindu, tetapi Majapahit tidak menjadikan hukum Hindu sebagai “hukum negara”. Pada era keemasan Majapahit, prin-sip Ketuhahan Yang Maha Esa itu disebut oleh Mpu Prapanca dan Mpu Tantular sebagai Sri Parwatharaja, yang bukan Siwa dan bukan Buddha, melainkan mengandung unsur-unsur prinsipil baik Siwa maupun Buddha.        Prinsip Ketuhanan yang lebih universal tersebut dapat dibaca dalam Kakawin Sutasoma Pupuh 89,5 sebagai berikut:        Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen. Mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal Bhinneka Tunggal ika, Tan Hana dharma mangrwa. Artinya: “Disebutkan bahwa Sang Hyang Buddha dan Sang Hyang Siwa adalah dua substansi yang berbeda. Keduanya sungguh-sungguh berbeda, namun bagaimana mungkin mengenal sekilas perbedaan keduanya. Karena hakikat Siwa dan hakikat Buddha adalah tunggal. Berbeda-beda tetapi satu juga, dan tidak ada kebenaran yang mendua”.6        Siapakah Sri Parwataraja? Rupa-rupanya Dia menjadi istilah bagi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa pada zaman Majapahit, terlepas dari melalui agamaagama apa (Siwa, Buddha) atau penghayatan para petapa lain (karesian). Bahwa Sri Parwata adalah “prinsip tertinggi, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa”, terbukti dari syair Mpu Prapanca dalam Negara Kertagama bahwa Sri Parwataraja adalah “Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep penyatu nasional, bukan Siwa dan bukan Buddha, melainkan Sang Hyang Siwa-Buddha, “Pelindung Mutlak” (Natha ning anatha), “Raja dari segalka raja di dunia” (Pati ning Jagad pati), dan “Tuhan dari segala konsep Tuhan personal dalam masing-masing agama (Hyang ning hyang inisthi).7        Ungkapan Parwatharaja, Girinatha, Girindra yang semuanya menunjuk kepada “Sang Raja Gunung”, maksudnya “Sang Penguasa tertinggi”, berakar pada ungkapan bahasa Nusantara Dapunta Hyang (yang menguasai alam tertinggi). Pemikiran asli Indonesia tentang kekuatan adikodrati yang disimbolkan dengan gunung ini, ternyata sudah dikenal sampai India sebelum agam Hindu dan Buddha masuk ke Indonesia. Hal itu terbukti dari syair Ramayana, karya Srimad Walmiki (150 M): “…gunung Sisira, puncaknya bersalju menyapu langit, dikunjungi Dewa dan danawa” (Sisiro nama parvatah, divam spasati srngena dewa-danawasevitah).8 Jadi, kesadaran rohani akan Ketuhanan Yang Maha Esa sudah ada jauh sebelum kedatangan agama-agama ke Indonesia. Dan terbukti pula, bahwa kesadaran itu yang memandu bangsa Indonesia untuk menerima, sekaligus mengolah pengaruh-pengaruh luar, yang ternyata tidak pernah menenggelamkan jatidiri bangsa kita.      Spiritualitas agung Nusantara yang mengatasi aspek lahiri agama-agama itu, telah memandu bangsa Indonesia dalam menapaki perjalanan sejarahnya yang panjang. Prinsip itu pula yang mempersatukan Sriwijaya dan Majapahit, dan mengantarkan kedua negara nasional itu ke puncak kemegahannya. Kebebasan beragama yang bersumber pada kesadaran Holistic spiriality ini hilang pada masa Demak dan Pajang, ketika prinsip negara nasional digantikan dengan prinsip “negara Islam” (theokrasi). Bukti bahwa prinsip “Negara agama” yang intoleran dan rawan memecah belah Nu-santara itu, antara lain ditunjukkan dengan “pengadilan atas keyakinan yang berbeda” berdasarkan tafsir tunggal sebuah (aliran) agama. Kasus hukuman mati atas Syekh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang pada masa Demak dengan jelas membuktikan kebang-krutan sebuah ideologi agama yang bercorak “imperialisme doktriner” yang kurang memberi tempat pada kredo iman yang berbeda-beda.      Mataram mulai menyadari kegagalan ideologi agama, dan mencoba mengembalikan “spirit Majapahit”, namun gagal dan kalah cepat dengan kekuatan Kapitalisme, Kolonialisme dan Imperialisme Barat. Salah satu indikator kebebasan beragama yang mulai dirintis dan dikembalikan oleh Mataram adalah diampuninya Haji Mutamakin yang mengajarkan mistik “Dewa Ruci” (naskah aslinya berjudul Nawa Ruci , karya Mpu Siwamurti dari masa akhir Majapahit), atas laporan dari Ketib Anom yang mewakili Islam ortodoks. Kasus ini dicatat dalam Serat Cabolek.1        Selanjutnya menarik untuk dicatat pula, bahwa dibiarkannya kedua pendapat berkembang, di kemudian hari masing-masing telah mengkristal menjadi dua kelom-pok: Santri (Islam ortodoks), dan Abangan-Priyayi (yang cenderung kepada Kejawen). Serat Cabolek sendiri lebih condong ke pandangan santri, karena itu kita tidak bisa menyalahkan Haji Mutamakin yang “dituduh mengajarkan aliran sesat”, tanpa kita mendengar dan membaca sendiri argumentasi teologisnya. Sikap Mataram yang membiarkan kedua paham tersebut berkembang menunjukkan bahwa negara secara arif bijaksana mengambil jarak dari soalsoal yang termasuk dalam “ruang privat” dari warganegaranya.   II. Pola “Bukan ini, Bukan Itu”: Menghindari Kutub-kutub Ekstrim      Sejarah membuktikan bahwa salah satu “local genius” bangsa Indonesia adalah pola pendekatan yang menghindari kutub-kutub ekstrim demi terciptanya kehidupan bersama yang guyub, rukun dan harmonis. Pada zaman Majapahit, ketika Hindu dan Buddha menawarkan superioritasnya masing-masing, Mpu Tantular menawarkan solusi: “Bukan Siwa, bukan Buddha”, tetapi Sri Parwataraja yang merangkul baik Siwa maupun Buddha.           Begitu juga pada era Mataram, ketika Islam dianut sebagian besar rakyat (dengan penghayatan yang khas Jawa) menawarkan pola “dualistik”, dan sisa-sisa Hin-duisme yang bercorak monistik, pada era ini kita menghadapi problem relasi Khaliq-Makhluq (Pencipta-Ciptaan): satu atau dua, berbeda atau tidak berbeda, maka pola pendekatan asli yang bersifat “monisme-dualistik”, muncul kembali dalam Serat Centhini: Nora siji, nora loro, abeda nora beda, loro-loroning atunggil (Bukan satu bukan dua, berbeda tetapi tidak berbeda, keduanya adalah satu).9      Pola pendekatan ini terbukti memang ampuh dalam menyelesaikan masalah di tengah-tengah kecenderungan “hitam-putih” a la “Buta lorek jam sanga mati”, yang memandang sesuatu dengan “pengkutuban”, “pertentangan”, dan “konfrontasi”. Menjelang kemderdekaan, pendekatan “monodualistik” ini muncul ketika kita dihadapkan pada pilihan “Negara agama” atau “Negara Sekuler”. Dan jawabnya adalah Negara Pancasila, yang bukan “negara agama” dan bukan pula “negara sekuler”. Kaum “Buta Lorek” yang bepikiran “hitam-putih”, tentu saja sulit mencerna kearifan adi-luhung para leluhur Nusantara ini. Dalam pemikiran mereka, kalau tidak hitam ya putih, kalau tidak “beriman” (sesuai dengan iman saya) ya kafir, murtad, dan sebagainya.        Jadi, hanya pasukan “Buta Lorek” yang tidak paham betapa kayanya warisan budaya bangsa kita, yang menentang Pancasila. Mereka lebih rela negeri ini akan terpecah-pecah, seperti India dan Pakistan (karena Hindu-Islam), atau negerinegeri kecil Afrika yang dibentuk oleh kekuatan imperialis. Waspadalah terhadap bahaya “balkanisasi” NKRI, yang sadar atau tidak sangat didukung oleh sistem politik dan demokrasi kita sekarang. Untuk itu, caranya hanya satu: Kembali kepada nilai-nilai Pancasila, dan kita hadang bersama-sama fanatisme picik agama dengan segala wujud dan manifestasinya.   III. Catatan Refleksi      Ketika memperkenalkan sila Ketuhanan yang Maha Esa, Bung Karno ingin “menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.10 Meskipun demikian Bung Karno menyadari bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, termasuk dalam masalah agama. Karena itu, Bung Karno tidak menyetujui “negara agama”, atau suatu sistem teokrasi yang didasarkan atas salah satu agama saja. “Tetapi marilah kita semuanya bertuhan”, seru Bung Karno. “Hendaklah negara Indonesia ilah negara yang tiaptiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. 11        Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, yang disambut oleh para anggota Badan Persiapan Kemer-dekaan Indonesia (BPUPKI) dengan gegap gempita, Bung Karno menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila kelima. Mengapa? Karena kalau Bung Karno langsung mengusulkan Ketuhanan Yang Maha Esa, orang bisa saja waktu itu menyangka bahwa Bung Karno mengusulkan sistem teokrasi. Karena itu, rumusan Pancasila yang diusulkan Bung Karno dapat disebut rumusan empiris, karena itu diusulkan sila pertama “Kebangsaan Indonesia”. Sebab kita hendak mendirikan Negara Nasional, sebuah “Nationale Staat”, menurut istilah Bung Karno.        Setelah konsep mula-mula mengenai Pancasila itu diusulkan pada sidang Panitia Sembilan, yang semua anggota sudah sepakat kita hendak mendirikan sebuah Nationale Staat yang mengayomi semua, dan bukan atas dasar agama tertentu, barulah disadari bahwa sebagai “Causa Prima” (Penyebab utama) segala sesuatu, maka Bung Hatta mengusulkan agar sila Ketuhanan Yang Maha Esa ditempatkan sebagai sila pertama. Dari rumusan empiris 1 Juni 1945 disempurnakan menjadi rumusan filosofis yang akhirnya disepakati pada tanggal 18 Agustus 1945, berbareng dengan penetapan Konstitusi negara, dan rumusan filosofis Pancasila itu dimasukkan dalam Pembukaan UUD 1945.        Dengan rumusan tersebut, menjadi jelas bahwa urutan sila-sila Pancasila tidak bisa dibolak-balik lagi. Ketuhahan Yang Maha Esa melahirkan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dan ketika kita hendak mendirikan suatu negara. Lahirlah prinsip Persatuan Indonesia yang harus merujuk kepada kemanusiaan yang universal. “Kebangsaan Indonesia harus tumbuh subur di tamansarinya Peri Kemanusiaan”, kata Bung Karno. Selanjutnya, negara yang kita bangun bukan didasarkan atas prinsip monarkhi atau kekuasaan raja, melainkan prinsip kerakyatan, demi terwujudnya Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.        Dengan demikian, sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak didasarkan atas satu agama tertentu, melainkan menampung, mengayomi semua agama. Karena itu, menurut pengakuan Bung Karno sendiri, sila pertama itu digalinya bukan hanya dari lapisan imperialisme Barat, atau dari lapisan Islam dan lapisan Hindu-Budha saja, melainkan jauh sebelum masuknya agama-agama dunia.       Menurut Bung Karno, jauh sebelum itu bangsa Indonesia “selalu hidup didalam alam pemujaan, yang kepada hal itu ia menaruhkan segenap harapannya, kepercayaannya”. 12 “Dus”, tegas Bung Karno, “kalau aku memakai ketuhanan sebagai suatu pengikat keseluruhan, tentu bisa diterima”. Sebaliknya, tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa, “…maka saya menghilangkan atau membuang satu eklemen yang bindend, bahkan masuk betul-betul didalam jiwanya bangsa Indonesia”.13        Jadi, tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa kita akan jatuh dalam sekularisme, tetapi sebaliknya dengan sistem teokrasi yang didasarkan atas agama tertentu, maka hasl itu akan bertentangan dengan realitas ke-“Bhinneka Tunggal Ika”-an, yang bisa mengancam keutuhan bangsa Indonesia. Sejarah Indonesia sendiri mem-buktikan, bahwa Nusantara gagal dipersatukan dengan mengibarkan bendera “bulan sabit” baik pada masa Demak, Pajang, dan ratusan kerajaan-kerajaan kecil lain di luar Jawa, tetapi pernah menjadi Negara berdaulat yang jaya dengan wilayah mencakup seluruh Nusantara di bawah negara nasional Sriwijaya, Majapahit, dan kini NKRI yang berdasarkan Pancasila.