SITUMANG SEBAGAI MAKNA TRISULA

Picture
Sampurasun...!

Adalah 100% BENAR bahwa Rakyat SUNDA (Nusanta-Ra) atau BANGSA MATAHARI adalah keturunan ANJING yang menikah dengan seorang putri Maha Cantik bernama DAYANG SUMBI anak perempuan Maharaja Sunda.

Memang rakyat Nusanta-Ra sesungguhnya adalah keturunan ANJING SI TUMANG... sebab fakta dan realitanya demikian dan itu tidak perlu ditolak, bahkan sudah seharusnya kita sebagai Bangsa Matahari merasa bangga menjadi keturunan langsung Si Tumang dan Dayang Sumbi.

Apakah benar-benar "ada" yang disebut si Tumang...??? ... 100% ADA !

Apakah benar Si Tumang itu Anjing...??? ... 100% BENAR !

Apakah benar ada anjing mengawini Putri Maha Cantik...??? ... 100% BENAR !

Apakah benar Rakyat Sunda Bangsa Matahari itu keturunan mereka...??? ... 100% BENAR

Cilaka...Gustiiii...cilaka...!

Sebagian besar bangsa Sunda ini tidak mengerti maksud dan maknanya...

Kisah roman murahan yang disuarakan oleh bangsa Eropa dipakai untuk menterjemahkan "cerita sejarah Bangsa Nusanta-Ra" yang Agung... Sejarah telah diselewengkan oleh orang-orang biadab yang tidak bertanggung-jawab... bahkan dalam sebuah acara kesenian, walikota Bandung Dada Rosada tidak menyetujui adanya gambar "anjing" (Si Tumang)... dia bilang "Rakyat Sunda bukan turunan Si Tumang...!" Sungguh ironis dan patut dikasihani jika orang setingkat WALIKOTA BANDUNG... tidak memahami sejarah beserta nilai-nilai luhurnya... bahkan bukan mustahil GUBERNUR JABAR-pun tidak tahu apa-apa tentang nilai agung leluhur Bangsa Sunda.... maka bagaimana mungkin mereka dapat memimpin dan membangun ???

Dari begitu banyak ketidak-pahaman atas nilai Leluhur Bangsa itu, sebenarnya apa yang ada di balik kisah perkawinan Anjing Si Tumang dan Dayang Sumbi...?

----------------------------------------------

Berdasarkan pola lokal jenius (kearifan lokal) leluhur bangsa Nusanta-Ra ketika membangun sistem nilai komunikasi dalam bentuk kata/bahasa/gambar/gerak.dsb sering mempergunakan pola struktur yang unik, dan ini hampir di seluruh Nusanta-Ra. Khusus dalam pola kata / bahasa banyak yang dibuat singkat dan singkatan...umumnya memiliki nilai yang agung dan luhur.

Misalnya :

- Majapahit = Maharaja Purahita

- Suling = Su-La-Hyang

- Sunda = Su-Na-Da

- Dwipantara = Dwi-Pa-Na-Ta-Ra

- Jawara = Jawa-Ra

dst.

Setiap "penamaan" (apapun) yang dibuat pada jaman dahulu perlu direnungkan lebih dalam dan teliti, sebab biasanya tidak dapat dikaji dengan pola manapun kecuali mempergunakan pola yang sesuai dengan tata nilai dan pola lokalnya (*termasuk konteks kejadian / sejarah).

Maka demikian pula dengan keberadaan tokoh "Anjing Si Tumang dan Dayang Sumbi" sebagai leluhur bangsa Nusanta-Ra. Keduanya samasekali bukan objek mahluk, baik binatang ataupun manusia sebab keduannya hanyalah simbol.

Selama ini terjadi kesalah-kaprahan dalam pola penuturan dan penulisan kata "Si Tumang" yang sebenarnya adalah SI-TU-MA-HYANG singkatan dari :

1. SI = Resi

2. TU = Ratu

3. MA = Rama

4. HYANG = Sang Hyang Tunggal

Pola RESI-RATU-RAMA dan SANG HYANG TUNGGAL ini merupakan KONSEP KETATA-NEGARAAN PA-RA-HYANG yang kerap disebut juga sebagai TRI TUNGGAL atau TRITANGTU.  Keberadaan konsep kenegaraan Sunda tersebut diabadikan dalam bentuk "monument kepala anjing" dari batu yang diberi nama SANG HYANG WATUGUNUNG RATU AGUNG MANIKMAYA.

Tri Tunggal atau SITUMANG inilah yang dengan "setia menjaga" Negeri Matahari kita, maka itu sebabnya dikatakan sebagai ANJING (*simbol kesetiaan dan pengabdian kepada negara).  Kadang kesetiaan manusia kalah jauh dibandingkan hewan ini... bahkan manusia bersetia pada dasarnya karena "ada kepentingan".... contohnya ANGGOTA PARPOL.... heheheheh :)

CITRA binatang "anjing" menjadi BURUK setelah masuk dan adanya ajaran Islam di Indonesia, disebut sebagai binatang yang "NAJIS"...dan jika terkena liur atau moncong hidungnya harus dibasuh TUJUH KALI.... Mengapa begitu ekstrimnya...??? hingga sekelas dengan BABI (*simbol rakus)...??? Bahkan di Islam ada fatwa, "Jika di dalam rumah ada anjing maka malaikat tidak akan masuk...!" (*ini mungkin bisa jadi resep panjang umur :)

***dalam Islam, "anjing selalu dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif... entah apa maksudnya padahal masih banyak binatang lain selain bercitra negatif juga berbahaya.

Kisah rusaknya CITRA ANJING tidak ada bedanya dengan kisah LEMBU yang dikorbankan ('dipersembahkan')... padahal di Jepang sebagai negeri MATAHARI TERBIT (pengikut ajaran Negeri Matahari) anjing-pun disimbolkan sebagai penjaga Sang Matahari (AMATE-RA-SU).

*** Yang unik justru disebagian besar bangsa kita (terutama di desa), citra binatang UNTA yang tidak ada di negeri ini posisinya jadi lebih baik ketimbang "anjing"... :) why.... why.... ???

----------------------------------------------

DAYANG SUMBI sendiri sesungguhnya BUKAN manusia berkelamin perempuan. Seperti halnya sebutan SI-TU-MA-HYANG, maka Dayang Sumbi-pun memiliki arti sendiri, yaitu :

1. DA = Besar / Agung

2. HYANG = Sang Hyang Tunggal

3. SU = Baik / Benar

4. UMBI = Ambu / Ibu / Bumi

Maka, Dayang Sumbi atau DA-HYANG SU-UMBI itu adalah IBU PERTIWI atau Negeri Matahari (Indonesia). Oleh sebab itulah disebut "Putri Maha Cantik" yang maksudnya adalah NEGERI SUBUR YANG MAHA INDAH...!!!

----------------------------------------------

*** KESIMPULAN :

1. SITUMANG sesungguhnya SIMBOL atas Lembaga Hukum Ketatanegaraan PA-RA-HYANG... Pusat Hukum Yang Berlandas kepada nilai KETUHANAN YANG MAHA ESA (Sang Hyang Tunggal).

- Resi = Legislatif

- Ratu = Eksekutif

- Rama = Yudikatif

- Hyang = Tuhan

Triaspolitika ini sudah hidup di negeri kita lebih dari dua ribu tahun yang lalu... bahkan hebatnya, ketiga konsep KENEGARAAN itu terikat dan dipersatukan dalam hukum TUHAN (Sang Hyang Tunggal).

2. DAYANG SUMBI sesungguhnya merupakan SIMBOL WILAYAH yang MAHA CANTIK atau IBU PERTIWI.

*** DA-HYANG SU-UMBI itu artinya adalah Keagungan / Kebesaran Tuhan di Bumi yang Baik / Benar.

3. Istilah "KAWIN" tidak berarti merujuk kepada soal sex dan humanisme, tetapi lebih berupa KONSEP PENYATUAN dan KESATUAN dalam PENATAAN KELUARGA BESAR (Negara).

4. ANJING merupakan simbol kesetiaan dalam menjaga kesatuan, keutuhan dan keberlangusungan NAGA-RA.

5. Seluruh keturunan SI-TU-MA-HYANG dan DA-HYANG SU-UMBI adalah BANGSA MATAHARI yang SANGAT BERADAB atau BANGSA YANG MEMILIKI HUKUM KETUHANAN serta ATURAN HIDUP BERBANGSA dan BERNEGARA sejak... lebih dari 2000 tahun yang lalu....!!!

Dan itu adalah KITA...PUTRA NEGERI MATAHARI yang AGUNG

"Mari membangun RA-HAYAT !!!"

Tabe

Pun Sapun

Ampun paralun

CAG~

Rahayu...!

PENETAPAN TANGGAL 01 SURO MENURUTKALENDER JAWA KUNO

JAWA sesungguhnya jauh sebelum semua agama yang diakui pemerintah masuk ke Indonesia sudah memiliki kalender sendiri. Namun semenjak masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, sistem penanggalan Jawa jadi berubah.

Untuk lebih jelasnya, mari kita menengok ke belakang sebentar ;

PERKAWINAN TAHUN JAWA DENGAN TAHUN HIJRIYAH

Sultan Agung adalah Sultan ke tiga Mataram Islam mulai memerintah Mataram Islam pada usia 20 tahun, lahir di Kutagedhe, Kesultanan Mataram tahun 1593 dan memerintah kesultanan Mataram Islam dari tahun 1613-1645 Masehi.

Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Mataram berkembang menjadi kerajaan besar di Jawa pada saat itu.

Atas jasa-jasanya sebagai Pejuang dan Budayawan, Sultan Agung bahkan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan SK presiden no 106/TK/1975 tanggal 3 nopember 1975 M.

Pada awal pemerintahannya (1613 M), Raden Mas Jatmika (nama asli Sultan Agung), atau juga lebih terkenal dengan nama Raden Mas Rangsang, menggunakan gelar PANEMBAHAN HANYAKRAKUSUMA atau PRABU PANDHITA HANYAKRAKUSUMA. Pada awal tahu 1624 M, beliau mengganti gelarnya menjadi SUSUHUNAN AGUNG HANYAKRAKUSUMA, atau SUNAN AGUNG HANYAKRAKUSUMA.

Pada saat tahun 1640 M, beliau mengganti gelarnya menjadi SULTAN AGUNG SENAPATI ING NGALAGA ABDURRAHMAN, hingga tahun 1641 M, beliau mendapat gelar dari pimpinan Ka’bah di Mekkah SULTAN ABDULLAH MUHAMMAD MAULANA MATARAM.

Pada tahun 1619 M, VOC berhasil merebut Jayakarta dan kemudian mengganti namanya menjadi Batavia dan akhirnya bermarkas disitu juga. Dari sinilah awal mula perkawinan kalender Jawa dengan kalender Islam dimulai.

Sultan Agung berkepentingan untuk mengusir VOC dari Batavia dengan meminta bantuan kaum Islam pada waktu itu. Dalam perundingan antara Sultan Agung dengan pihak pemimpin Agama Islam, Sultan Agung menyetujui syarat yang diajukan oleh pihak Islam, bahwa mereka mau membantu Mataram mengusir VOC dengan catatan seluruh penghuni Keraton Mataram dan rakyatnya bersedia untuk memeluk Islam sebagai agama mereka.

Dengan bantuan umat Islam ini, Sultan Agung menyerang Batavia dua kali, yaitu pada 27 Agustus 1628 dan mei 1629. Meski kedua serangan tersebut gagal dan menyebabkan banyak korban nyawa berjatuhan, namun akibat serangan ke dua tersebut Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera dan menewaskan Gubernur Jenderal VOC, yaitu Jaan Pieterson Coen.

Asimilasi kalender Jawa dengan kalender Islam itu sendiri terjadi pada hari jumat legi, saat pergantian tahun baru saka 1555, yang ketika itu juga bertepatan dengan tahun baru hijriyah, tanggal 1Muharram 1043 H, atau 8 juli 1633 M. Yaitu pada usia pemerintahan Sultan Agung ke 20 tahun.   

PERBEDAAN KALENDER JAWA DAN HIJRIYAH

Kalender Saka maupun kalender Jawa memiliki dasar perhitungan yang sama, yaitu berdasarkan pergerakan matahari, sama juga dengan kalender Masehi. Sedangkan kalender Hijriyah menggunakan penampakan bulan.

Konsep hari pasaran dan pawukonpun juga tidak di temukan dalam kalender hijriyah, yaitu pasaran ; pon, wage, kliwon, legi, pahing serta siklus delapan tahunan yang disebut windu yang terdiri dari ; alip, ehe, jimawal, je, dal, be, wawu dan jimakir.

Kalender Saka adalah sistem penanggalan yang dipakai sebelum Islam masuk ke Nusantara ini, sehingga sebelum Jawa menggunakan kalender ‘Jawa’ yang sekarang ini, sebelum Mataram Sultan Agung , masyarakatnya menggunakan kalender Saka tersebut.

Untuk yang ingin tahu lebih lanjut tentang kalender Saka. 

Berikut ini adalah nama- bulan kamariah atau lunar (candra)

  1. Sura (30 hari)
  2. Sapar (29 hari)
  3. Mulud (30 hari)
  4. Bakda Mulud (29 hari)
  5. Jumadilawal (30 hari)
  6. Jumadilakir (29 hari)
  7. Rejeb (30 hari)
  8. Ruwah/Saban (29 hari)
  9. Pasa/Siyam/Ramelan (30 hari)
  10. Sawal (29 hari)
  11. Sela/Dulkangidah (30 hari)
  12. Besar (29 hari)
Berikut nama-nama bulan dalam kalender hijriyah

  1. Muharram —————————————————– 30 hari
  2. Safar ———————————————————— 29 hari
  3. Rabiul awal —————————————————- 30 hari
  4. Rabiul akhir —————————————————- 29 har
  5. Jumadil awal ————————————————– 30 hari
  6. Jumadil akhir ————————————————– 29 hari
  7. Rajab ———————————————————– 30 hari
  8. Sya’ban ——————————————————– 29 hari
  9. Ramadlan —————————————————— 30 hari
  10. Syawal ——————————————————— 29 hari
  11. Dzulkaidah —————————————————– 30 hari
  12. Dzulhijjah ——————————————————- 29/30 hari
Namun karena sistem penanggalan berdasarkan perhitungan bulan tersebut ternyata tidak bisa di jadikan patokan oleh para petani yang tengah bercocok tanam, maka bulan-bulan surya yang disebut sebagai pranata mangsa di kondisifikasikan oleh Sri Paduka Mangkunegara IV.

Pranata mangsa ini adalah pembagian bulan yang asli Jawa yang sudah di gunakan pada jaman pra Islam, lalu oleh beliau, tanggal di sesuaikan dengan kalender Gregorian/Masehi yang juga merupakan kalender Surya, namun lama setiap mangsa berbeda-beda :

  1. Kasa (23 juni-2 Agustus)
  2. Karo (3 Agustus-25 Agustus)
  3. Katiga (26 Agustus-18 September)
  4. Kapat (19 September-13 Oktober)
  5. Kalima (14 Oktober-9 Nopember)
  6. Kanem (10 Nopember-22 Desember)
  7. Kapitu (23 Desember-3 Pebruari)
  8. Kawolu (4 Pebruari-1 Maret)
  9. Kasanga (2 Maret-26 Maret)
  10. Kasepuluh (27 Maret-19 April)
  11. Destha (20 April-12 Mei)
  12. Sadha (13 Mei-22 Juni)
Disamping Penanggalan Jawa menurut Sri Paduka Mangkunegara IV di atas, sekitar tahun 1980 juga telah berkumpul para sesepuh Kejawen baik di Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian Sunda, yang di pandhegani oleh KRMH Soerjabrata dan R Rahajoe Dirdjasoebrata, mengatakan bahwa tanggal 1 kasa /tanggal 1 sura Jawa asli adalah jatuh pada tanggal 21 malam 22 Juni jika dalam penanggalan Gregorian. Menurut pandangan mereka, diperingatinya tanggal 1 Kasa/1 Sura Jawa dulu itu dikarenakan pada tanggal tersebut telah ada manusia Jawa yang pertama kali semadhi mencapai alam yang tertinggi. Dan ini sudah ada jauh sebelum agama-agama masuk ke bumi Nusantara ini.

Disamping itu, menurut beliau, hal ini kebetulan juga sejalan dengan gerak semu matahari, di mana pada tanggal 21 malam 22 Juni tersebut, posisi matahari terhadap bumi berada di titik paling utara (gerak semu matahari terhadap bumi, dari tanggal 22 Desember-21 Juni matahari ‘bergerak’ ke arah belahan bumi utara, sedangkan dari tanggal 22 Juni-21 Desember berjalan ke arah sebaliknya).

  

Oleh karenanya, semenjak saat itu, para sesepuh kejawen tersebut beserta para pengikutnya memperingati tanggal 1 sura/1 kasa pada tanggal 21 malam 22 Juni tersebut.

Sejalan dengan hal tersebut diatas, FKIP UNS pun juga menemukan hal yang tidak jauh berbeda, yaitu jatuhnya tanggal 1 kasa/1 sura tersebut adalah pada tanggal 22 Juni.

RAHAYU PURBA

Sakpuniko monggo kito nginguk jaman kawit:

JAMAN PRA-PERADABAN

1.000.000-500.000 s.M

Enjing umun-umun saput lemah ngantos wiwit ketawis trontong-trontong byar rahino gesanging Jagad, saderengipun Janmi Manungso wiwitan katingal jumedul. Jaman puniko dereng wonten tondo-tondo ingkang cetho, wontenipun panggesanganing (budayaning) Manungso. Sajatosipun mboten saged dipun watesi rikolo punopo wiwit saged dipun lacak. Nanging gampilipun kangge miwiti dongenganipun, dipun pendet ancer-anceripun kemawon sayuto taun saderengipun Masehi.

Poro sarjono Geologi soho Arkeologi lan Ahli Sejarah dereng saged manggih bukti-bukti ingkang saged nyengkuyung wontenipun kegiyatan penelitian Etnologi Budoyo, punopo dene ngengingi bab kegiatan Seni Pra-sejarah. Pramilo saged kawastanan “Jaman Peteng, Jaman NIRLEKA” ingkang angel dipun “injen”.

NIRLEKA : saking boso Jawi Kino utawi Kawi. Nir = Tanpo, Leka = Tulisan. Mboten wonten bukti-bukti Tinulis ingkang saged dipun angge pathokan. “Tulisan” (makno gulung) akronimasi saking “metu soko lisan” (pangucap). Ingkang saged dipun dongengaken namung ingkang “metu soko lisan” utawi ujare.



“Yen durung mbuktekake ojo kondo. Iku goroh ! ” ( Lha wong mung ujare). Nembe wonten tulisan (aksoro). Prof.Dr. M. Yamin maringi ancer-ancer taun 0 (awal) Masehi.

Rikolo periode wau ingkang kawistoro namung jagading sato. Lah rikolo punopo wontenipun sato kewan wau inggih mboten saged kalacak asal dumadosipun, utawi timbulipun secoro gelar. Watesing pandulunipun Manungso namung “sapucuking grono”. Sok ugi proses evolusinipun titah Janmi Manungso Prasejarah wau inggih taksih dereng jangkep, taksih wonten ing tataraning sato mbrangkang kados patraping pragoso utawi kethek (primata), tatkolo sampun muncul kewan jinis Primata wau.

Kangge ukuran bandhing : Dedeg-piyadegipun Janmo Manungso kaliyan Pragoso (monyet ageng) tuwin kethek (munyuk abuntut panjang). Cetho sanget evolusi anatomis-ipun mlampah piyambak-piyambak. Puniko teori gelar kawontenan, mboten ateges ngleresaken “Teori Darwin” ingkang dados polemik dunia (wong mung ujare), bilih manungso puniko asal-usul ragawinipun saking monyet. Ingkang saged maringi bukti inggih namung ROSO SEJATI, kuwasaning GUSTI INGKANG AKARYO JAGAD piyambak.

Secoro gampilipun : Monyet mboten saged dipun ajari toto jalmi, mboten gadah doyo nalar (intellectual-cognition) sabab genetik-ipun mboten sami kaliyan manungso. Susunan saraf utekipun benten soho langkung alit katimbang utekipun manungso.

Mbokmanawi salah satunggaling sarjono anthropologi ingkang ngandaraken bilih Janmo Purbo puniko sampun punah, saged ugi namung kangge nyirep polemik ingkang magepokan kaliyan Teori Darwin ingkang controversial soho sensitif. Lajeng mratelakaken manawi asal-usuling Nenekmoyang wau sanes saking Janmi Purbo wau. Kito mboten setuju utawi ngleresaken. Namung gadah pitakenan: punopo inggih Jalmo Manungso ingkang sampun wonten wau dipun musnahaken, tumunten dipun gantos malih ngangge bebahan enggal? Mesthinipun mboten makaten. Sak awon-awonipun ciptaning Sang Moho Gesang, pasthi wonten bibit ingkang sae. Kangge nurunaken manungso ingkang bade nerasaken lampahing sejarah. Titah Gesang puniko kadadosan saking manunggaling wiji kakung klawan pawestri.

Miturut pakaring ilmu genekologi: tumetesing wiji kakung ingkang mayuto-yuto   kathaipun, tinadahan dening wadah ingkang dipun sumadyakaken dening pawestri. Manawi salah satunggal pasangan sampun manunggal nyawiji, lajeng dados zygote. Zygote puniko mboten saged dinulu dening soco sawantah saking lembutipun. Awujud tigan ingkang sampun dipun buwahi, dipun bungkus kulit cangkang ingkang mboten tembus dening sperma sanesipun. Kersaning Gusti Ingkang Akaryo Jagad, ngawontenaken proses tu mbuh g esang dados Jabangbayi. Inggih titah gesang ingkang enggal. Milo mboten aran mokal manawi Manungso puniko saking wijining Manungso ingkang sampun langkung rumiyin wontenipun.

Tembung “Manungso” anggadahi makno = Manunggaling Roso. Rasane Bopo klawan Biyung rikolo kempal rogo. Monggo kulo aturi nyimak dawuh pangandikanipun Leluhur ingkang asring kito pirengaken langkung uran-uranipun Nyi Condrolukito kados makaten:

Elingo jenengsiro Putraningsun Asaliro ono iku soko manunggaling Roso Sejati Duk naliko manunggale Romo-Ibuniro sakarone manunggal sawiji Rangkul-rinangkul tan purun pisaho yayi lamun sakarone durung mijil Lah iku ananiro ing madyopodo Marmo jenengsiro ojo wani-wani marang Atuwaniro Yektine kang anjangkung lawan dadyo pepayungiro sinebut Payung Tunggul Jati

Manungso kanggenan U R I P. Inggih URIP puniko ingkang dados asal-usulipun sadoyo ingkang tumitah gesang ing madyopodo. Inggih namung Manungso ingkang kalenggahan URIP sarto dipun paringi Jiwo utawi Roh utawi Sukmo.

Dene sato kewan namung kanggenan URIP kewolo. Mboten pinaringan Roh. Milo wonten istilah suksmo klambrangan puniko kadadosanipun saking anasir sekawan ingkang wonten ing angganing Manungso. Anasir-anasir wau mboten saged wudar utawi ‘mengurai’ wangsul dhumateng asalipun sowang-sowang. Amargi manungsanipun salebeting gesang ing marcopodo tansah ngegengaken dayaning howo napsu ingkang kirang prayogi, ing wusono kabekto dateng ‘alam kasuksman’, ngunduh wohing pakartinipun rikolo taksih gesang.

Suksmo nglambrang wau asring goroh, ngapusi, membo-membo rohipun tokoh nenekmoyang ingkang rikolo gesangipun kagungan pengaruh ageng dhumateng masyarakat. Milo kathah roh prewangan ingkang ngaken-aken titisaning Eyang Suto, Mbah Noyo, Aki Buyut Eta Tea. Puniko salah satunggaling rekoyoso mbokmanawi saged anerasaken lampah pados margining Kasampurnan Jati, mboten lumantar pangumbahing rogo. Sabab sampun kalajeng mboten gadah badan wadag utawi rogo kasar. Milo sagedipun namung ngentosi palimirmaning Hyang, Gusti Ingkang Moho Suci, URIP SEJATI SEJATINING URIP, kapan boyo anak puruningsun biso nyampurnakake laku. Antuk Kunci, Witing Kastubo Urip, inggih lampah Eling marang Margane Urip.

Manungso kadunungan napsu ingkang dumados saking Anasir Sekawan Ingkang asalipun saking Sari-sarining Bumi wangsul malih dateng Bumi, saking Sari-sarining Banyu wangsul malih dateng Toyo, saking Sari-sarining Geni wangsul malih dateng Api, soho ingkang saking Sari-sarining Angin wangsul malih dateng asalipun Angin.

Obahing Sari-sari Bumi, Sari-sari Banyu soho Sari-sari Api hanuwuhaken obahing (pegerakan) Angin. Puniko ingkang dados Bebahaning Napsu, sinebut Howo Napsu. Ingkang nyeponsori Ratu Tetelu wau.



Cathetan :

Kedah dipun bedakaken wonten ing jejering tembung , antawisipun “Angin” lan “Howo” :

  • Secoro gelar nyoto Angin saged dipun raosaken kahananipun (sumilir).
  • Sinaoso anggadahi padanan tembung ingkang sami tegesipun kaliyan Howo utawi Udara.
  • Angin nyebabaken kondisi asrep : “Hawane adem” = Udaranya dingin    makno gelar. Nanging  “Howo” ingkang dipun maksudaken  ing ngriki: kadadosan saking sabab akibat pokalipun Ratu Tetelu (Angen-angen – Budipakarti – Poncodriyo) ingkang kirang prayogi (memproduksi “napsu”   -  “howo-napsu”).
  • Makno gelar: Angin = Maruto = Barat (angin gede) = Samirono (alit, sumilir) = Howo utawi cuaca, weather.
Jaman Nirleka, inggih Jaman Janmo Manungso saderengipun katawis wonten, kahanan Donyo kados gambaranipun Film JURRASIK. Kewan darat agengipun sagunung-gunung anakan. Jinis reptil soho kewan nyusoni, sarto bangsanipun peksi. Bangsanipun peksi jaman rumiyin wujudipun mirip reptil, suwiwinipun tanpo elar, manawi miber ngangge selaput kulit kados kalong.

Wujudipun kewan-kewan wau aneh-aneh lan wagu. Kathah bentuk anatomis ingkang mboten fungsional, ingkang anjalari mboten bebas ngebahaken badanipun (kikuk). Jinisipun kathah sanget, kagolongaken kewan ingkang mongso rowang utawi Karnifora. Wonten jinis kewan ingkang nedho tetuwuhan utawi Herbifora. Wonten ugi daging lan tetuwuhan, sinebut Omnifora.

Thethukulan angawali wonten saderengipun sato kewan. Sinebut tumbuhan primitif (embrionipun jinis sesuketan) ingkang taksih sederhana tuwuhipun. Dangu-dangu ber-evolusi muncul jinisipun lumut tundra, jamur, kaktus, tuwin pakis-pakisan.

Tumapaking jaman Glacial III-IV lan salajengipun ngantos dumugi jaman peradaban Janmo Manungso, mboko sakedik tetuwuhan wono bebondotan (hutan rimba) sampun pepak.

DWIPANTARA

Picture
*** kata-kunci :

RA merupakan konsep KETUHANAN dalam penamaan negara Indonesia di masa lalu, yang artinya adalah "BUR" atau Matahari atau Mahacahaya atau Mahadewa.

RA merupakan simbol SANG HYANG TUNGGAL yang menjadi titik orientasi penyembahan kepada Tuhan YME, yang diaplikasikan dalam KETATA-NEGARAAN.

RA merupakan identitas bangsa Indonesia di jaman dulu yang disebut sebagai BANGSA MATAHARI atau NEGERI MATAHARI, para peneliti Barat menyebutnya sebagai BANGSA ARYA.

--------------------------

Sebutan DWIPANTA-RA merupakan rangkaian dari beberapa suku-kata yang diambil dari pola bahasa SANG SA KERTA yaitu :

DWI = Sepasang (2)

PA = Tempat

NA = Api

TA = Gerak kehidupan

RA = Bangsa Matahari

Maka, arti kata DWIPANTA-RA adalah :

"Sepasang Tempat Api Gerak Kehidupan Bangsa Matahari" .

Jaman DWIPANTA-RA berada di antara jaman SWARGANTA-RA dan NUSANTA-RA. Namun demikian terlalu sulit untuk menetapkan waktu yang tepatnya, diduga sesuai dengan ledakan gunung berapi yang selalu menjadi pusat pemerintahan. Jika dilihat dari alur waktu (time line) akan terlihat sebagai berikut :

0. Jaman Purwa-Naga-Ra... (?)

1. Jaman Dirgantara (kawasan Gn. Bataraguru / Dn. Toba)

2. Jaman Swargantara (kawasan Gn. Karakatwa)

3. Jaman DWIPANTARA (kawasan Gn. Tangkuban Parahu)

4. Jaman Nusantara (kawasan Gn. Brahma / Bromo)

5. Jaman Re-Publik Indonesia (*seharusnya kawasan Gn. Agung - P. Bali)

Jaman Dwipanta-Ra dimulai di wilayah Jawa Barat setelah tenggelamnya pusat pemerintahan Kemaharajaan Swarganta-Ra di Selat Sunda akibat letusan Gn. Karakatwa (Atlantis ?)

Seperti dalam konsep ketata-negaraan sebelumnya, maka pusat pemerintahan Dwipanta-Ra pun dibangun di sekitar gunung berapi yang paling besar dan paling tinggi... maka pilihan jatuh di kawasan Gn. Tangkuban Pa-Ra-Hyang (Hu) yang di duga saat itu masih memiliki puncak gunung.

Era Dwipanta-Ra di awali dari jaman Kemaharajaan Sang Hyang Watu Gunung Ratu Agung Manikmaya (SITUMANG) yang mendirikan konsep "DWI-PA" ... (*ada kemungkinan konsep ini lahir akibat mereka "belajar" dari dampak letusan gunung, sehingga untuk amannya sistem ketata-negaraan harus dibagi dua). Maka, lahirlah sistem PA-RA-HYANG dan PA-DA-HYANG atau PARANG dan PADANG.

Sang Hyang Watu Gunung Ratu Agung Manikmaya berkedudukan sebagai RAMA bagi seluruh negeri yang berada dalam naungan Kemaharajaan Dwipanta-Ra dengan simbol TRI-SU-LA-NAGA-RA yang intinya berupa konsep ketata-negaraan RESI-RATU-RAMA-SANG HYANG (SITUMANG) dan monument-nya berada di Bukit Tunggul (Bukti Unggul).

Pada awal jaman tersebut pemegang kekuasaan tertinggi dipegang oleh Maharatu Resi Prabhu Sindu La-Hyang yang bertahta di Alengka Dirja (sekitar Cicalengka). 

Prabhu Sindu La-Hyang mempunyai dua orang 'anak' :

1. Galuh Kandiawati dengan gelar DEWI MA-HYANG SUNDA (Dewi Mayang Sunda).

2. Jalu Kandiawan dengan gelar DEWA TA-CENGKAR (Ratu Kendan / P. Jawa).

GALUH KANDIAWATI menikah dengan PANGERAN WISNU GOPA dan punya anak 5 :

1. Sang Hyang Nandiswara

2. Sang Hyang Gargha

3. Sang Hyang Purusha

4. Sang Hyang Putri Maistri

5. Sang Hyang Puntajala

Ke 5 orang anak ini dikenal sebagai PANCA PUTRA SUNDA (Panca Kusika / Panca Dewa / Pandawa) yang mengemban misi kenegaraan DWI-PA. Dari sinilah awal penyebaran konsep kenegaraan PA-RA-HYANG di mulai dan menyebar keseluruh dunia yang dilakukan oleh para GURU HYANG (Sang Guru Hyang) kita lebih mengenalnya sebagai SANGKURIANG :

1. Ja-Ambu Dwi-Pa (Jambu Dwipa) di wilayah PA-RA-HYANG berpusat di La-Ambu Hyang (Lembu Hyang atau kelak kita kenal sebagai LEMBANG).

2. Jawa Dwi-Pa dengan pusat di sekitar Gn. MERAPI

3. Su-Waruna Dwi-Pa di Su-Ma-Ta-Ra dengan pusat pemerintahan di sekitar Gn. MARAPI - Pariangan daerah Pa-Da-Hyang / Padang (BUKIT TINGGI ?).

4. Simhala Dwi-Pa di wilayah Su-La-Wesi sekitar pegunungan Bawakaraeng (BA-WA-KA-RA-HYANG).

5. Baruna Dwi-Pa di wilayah Baruna atau Borneo atau Brunai (Kalimantan)... diduga berada di sekitar kawasan BUKIT RAYA atau Bukit Agung.

PA-RA-HYANG merupakan pusat (inti) pemerintahan dan PA-DA-HYANG merupakan wilayah perluasan daerah ajaran SUNDA yang mencapai AFRIKA - INDIA - CINA - JEPANG bahkan sebagian memasuki wilayah EROPA.

Era kejayaan DWIPANTARA berlangsung selama +/- 10.000 tahun lebih dan berhenti pada jaman Maharaja Resi Prabhu Air Langga, sebab terjadi perobahan peta politik akibat kemajuan jaman atau kemajuan setiap negara yang mulai melepaskan diri dari naungan Kemaharajaan Dwipanta-Ra.

Setelah jaman Dwipanta-Ra maka 'Indonesia' memasuki jaman Nusanta-Ra yang dimulai oleh Raden Wijaya (Jaka Susuru). Namun kewilayahan negara kita sudah mulai mengecil sebatas yang kita kenal pada saat ini.

Rahayu...!