Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia merdeka berasaskan Ketuhanan yang Maha Esa! (Bung Karno,Pidato “Lahirnya Pancasila”, 1 Juni 1945).

     Sebelum masuknya agama-agama luar ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah ber-Tuhan dan menjunjung tinggi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya. Karena itu, tuduhan para penganjur “negara agama” pada sidang-sidang Konstituante, bahwa dari ideologi Islam ke Pancasila adalah “ibarat melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa, vacuum, tak berhawa”,1 justru sangat bertentangan dengan kenyataan sejarah.        Sebaliknya, sejarah membuktikan bahwa Dasar Negara Pancasila berakar pada kepribadian bangsa dalam rentangan perjalanan sejarahnya selama ribuan tahun. Di bawah ini adalah bukti-bukti bahwa prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” dijunjung tinggi, dan meskipun agama-agama dalam perjalanan selanjutnya diterima, tetapi direfleksikan kembali dalam prinsip Ketuhanan yang lebih universal, mengatasi “agama-agama terorganisasi” (organized religions) yang cenderung sektarian dengan sikap “imperialisme doktriner”-nya yang membahayakan keutuhan bangsa, bahkan peradaban manusia.   I. Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Lintasan Sejarah Nusantara      Bangsa Indonesia dalam lintasan sejarahnya selama beribu-ribu tahun adalah bangsa yang luwes, toleran dan terbuka. Sejak awal sejarahnya yang paling dini, pengaruh agama-agama luar diterima dengan ramah, tetapi direfleksikan kembali dalam konteks kebudayaannya sendiri. Beberapa bukti sejarah membuktikan kesimpulan di atas, antara lain dapat diikuti dari bukti-bukti di bawah ini:      Prasasti Kedukan Bukit (683 M). Prasasti yang berasal dari kerajaan nasional pertama, yaitu kedatuan Sriwijaya ini, menyebutkan bahwa Dapunta Hyang melakukan “ziarah raja” (siddhiyatra) demi kejayaan Sriwijaya: Dapunta Hyang  nayik di samwau manalap siddha-yatra. Artinya: “Dapunta Hyang naik naik ke kapal pergi menjemput berkah kebahagiaan tuah-kesaktian”. Menurut Mr. Muhammad Yamin, siddhayatra adalah perjalanan “ngalap berkah” kepada kekuatan adikodrati yang disebutnya Hyang (Tuhan Yang Maha Esa).2 Dan dibuktikan bahwa nama Dapunta Hyang secara jelas membuktikan pemujaan kepada Sang Hyang (Tuhan) sebelum masuknya pengaruh Hindu/Buddha. Dari kata hyang (Tuhan) inilah kita sekarang mengenal istilah “sembahyang”, artinya doa atau menyembah Hyang/ Tuhan Yang Maha Esa.       Sanghyang Siksakanda ng Karesian. Naskah ini berasal dari kerajaan Sunda kuno, ditulis kira-kira abad V M. Ketika pengaruh Hindu dan Buddha mulai masuk, keduanya disambut ramah: Hongkara namo Siwa (Selamatlah dengan nama Siwa), dan Sembah ing Hulun di Sang-hyang Pancatatagatha (Sembah hamba kepada Sang Panca Tatagata). Keduanya disambut baik, karena “ya eta pahayuon sareanana” (Itu demi kebaikan semuanya). Meskipun demikian, agamaagama yang datang – yang diwakili dengan kata “Bathara” – ditempatkan di bawah Hyang (prinsip Ketuhanan yang lebih universal, penghayatan asli bangsa Indonesia): “…mangkubhumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di  Hyang” (Mangkubumi berbakti kepada Raja, Raja berbakti kepada de-wa-dewa, dan dewa-dewa berbakti kepada Hyang/ Prinsip Ketuhanan universal).3        Perkembangan kedua agama selanjutnya menarik untuk disimak. Hindu, khususnya madzab Siwa dan Buddha, pada masa-masa sesudah itu sangat menonjol. Pada era kerajaan Mataram Hindu (Jawa Tengah), kedua agama itu masih terpisah, berjalan sendiri-sendiri tanpa saling menganggu (co-existence), tetapi pada masa ke-rajaan-kerajaan Jawa Timur secara bertahap, dari relasi co-exixtence meningkat menjadi relasi “pro-exis-tence” (saling ada dan saling berbagi).        Tahap-tahap itu misalnya dapat dibaca pada karya-karya sastera sebagai berikut: Dalam Kunjarakarna (abad XI) dari Kerajaan Singasari) ditekankan kerukunan antara kedua agama: Tunggal ika kabeh, kami Siwa kami Buddha  (Semua menjadi satu, kita yang Siwa, maupun kita yang beragama Buddha),4 tetapi rupanya masih dalam tahap co-existence sebagai satu kesatuan sosiologis.Sedangkan dalam Sang Hyang Kamahayanikan (abad X, Mpu Sindok) ungkapan: Buddha tunggal lawan Siwa (Buddha dan Siwa itu satu),5 mulai merenungkan relasi keduanya secara metafisik. Raja Kertanegara, pencetus politik persatuan Nusantara, menyebut “Sang Hyang Siwa-Buddha” dalam praxis Sangkan Paraning Dumadi (asal muasal dan tujuan Kehidupan). Ungkapan Sang Hyang Siwa-Buddha disini dipahami dalam makna prinsip tertinggi Ketuhanan yang Maha Esa, yang mengatasi baik Siwa maupun Buddha itu sendiri.        Puncak dari refleksi mengenai prinsip universal Ketuhahan Yang Maha Esa yang “beyond religions” (mengatasi agama-agama) ini terjadi pada era kejayaan Majapahit. Majapahit adalah negara nasional kedua, yang jelas-jelas bukan negara Hindu. Sekalipun sebagian besar masyarakatnya beragama Hindu, tetapi Majapahit tidak menjadikan hukum Hindu sebagai “hukum negara”. Pada era keemasan Majapahit, prin-sip Ketuhahan Yang Maha Esa itu disebut oleh Mpu Prapanca dan Mpu Tantular sebagai Sri Parwatharaja, yang bukan Siwa dan bukan Buddha, melainkan mengandung unsur-unsur prinsipil baik Siwa maupun Buddha.        Prinsip Ketuhanan yang lebih universal tersebut dapat dibaca dalam Kakawin Sutasoma Pupuh 89,5 sebagai berikut:        Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen. Mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal Bhinneka Tunggal ika, Tan Hana dharma mangrwa. Artinya: “Disebutkan bahwa Sang Hyang Buddha dan Sang Hyang Siwa adalah dua substansi yang berbeda. Keduanya sungguh-sungguh berbeda, namun bagaimana mungkin mengenal sekilas perbedaan keduanya. Karena hakikat Siwa dan hakikat Buddha adalah tunggal. Berbeda-beda tetapi satu juga, dan tidak ada kebenaran yang mendua”.6        Siapakah Sri Parwataraja? Rupa-rupanya Dia menjadi istilah bagi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa pada zaman Majapahit, terlepas dari melalui agamaagama apa (Siwa, Buddha) atau penghayatan para petapa lain (karesian). Bahwa Sri Parwata adalah “prinsip tertinggi, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa”, terbukti dari syair Mpu Prapanca dalam Negara Kertagama bahwa Sri Parwataraja adalah “Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep penyatu nasional, bukan Siwa dan bukan Buddha, melainkan Sang Hyang Siwa-Buddha, “Pelindung Mutlak” (Natha ning anatha), “Raja dari segalka raja di dunia” (Pati ning Jagad pati), dan “Tuhan dari segala konsep Tuhan personal dalam masing-masing agama (Hyang ning hyang inisthi).7        Ungkapan Parwatharaja, Girinatha, Girindra yang semuanya menunjuk kepada “Sang Raja Gunung”, maksudnya “Sang Penguasa tertinggi”, berakar pada ungkapan bahasa Nusantara Dapunta Hyang (yang menguasai alam tertinggi). Pemikiran asli Indonesia tentang kekuatan adikodrati yang disimbolkan dengan gunung ini, ternyata sudah dikenal sampai India sebelum agam Hindu dan Buddha masuk ke Indonesia. Hal itu terbukti dari syair Ramayana, karya Srimad Walmiki (150 M): “…gunung Sisira, puncaknya bersalju menyapu langit, dikunjungi Dewa dan danawa” (Sisiro nama parvatah, divam spasati srngena dewa-danawasevitah).8 Jadi, kesadaran rohani akan Ketuhanan Yang Maha Esa sudah ada jauh sebelum kedatangan agama-agama ke Indonesia. Dan terbukti pula, bahwa kesadaran itu yang memandu bangsa Indonesia untuk menerima, sekaligus mengolah pengaruh-pengaruh luar, yang ternyata tidak pernah menenggelamkan jatidiri bangsa kita.      Spiritualitas agung Nusantara yang mengatasi aspek lahiri agama-agama itu, telah memandu bangsa Indonesia dalam menapaki perjalanan sejarahnya yang panjang. Prinsip itu pula yang mempersatukan Sriwijaya dan Majapahit, dan mengantarkan kedua negara nasional itu ke puncak kemegahannya. Kebebasan beragama yang bersumber pada kesadaran Holistic spiriality ini hilang pada masa Demak dan Pajang, ketika prinsip negara nasional digantikan dengan prinsip “negara Islam” (theokrasi). Bukti bahwa prinsip “Negara agama” yang intoleran dan rawan memecah belah Nu-santara itu, antara lain ditunjukkan dengan “pengadilan atas keyakinan yang berbeda” berdasarkan tafsir tunggal sebuah (aliran) agama. Kasus hukuman mati atas Syekh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang pada masa Demak dengan jelas membuktikan kebang-krutan sebuah ideologi agama yang bercorak “imperialisme doktriner” yang kurang memberi tempat pada kredo iman yang berbeda-beda.      Mataram mulai menyadari kegagalan ideologi agama, dan mencoba mengembalikan “spirit Majapahit”, namun gagal dan kalah cepat dengan kekuatan Kapitalisme, Kolonialisme dan Imperialisme Barat. Salah satu indikator kebebasan beragama yang mulai dirintis dan dikembalikan oleh Mataram adalah diampuninya Haji Mutamakin yang mengajarkan mistik “Dewa Ruci” (naskah aslinya berjudul Nawa Ruci , karya Mpu Siwamurti dari masa akhir Majapahit), atas laporan dari Ketib Anom yang mewakili Islam ortodoks. Kasus ini dicatat dalam Serat Cabolek.1        Selanjutnya menarik untuk dicatat pula, bahwa dibiarkannya kedua pendapat berkembang, di kemudian hari masing-masing telah mengkristal menjadi dua kelom-pok: Santri (Islam ortodoks), dan Abangan-Priyayi (yang cenderung kepada Kejawen). Serat Cabolek sendiri lebih condong ke pandangan santri, karena itu kita tidak bisa menyalahkan Haji Mutamakin yang “dituduh mengajarkan aliran sesat”, tanpa kita mendengar dan membaca sendiri argumentasi teologisnya. Sikap Mataram yang membiarkan kedua paham tersebut berkembang menunjukkan bahwa negara secara arif bijaksana mengambil jarak dari soalsoal yang termasuk dalam “ruang privat” dari warganegaranya.   II. Pola “Bukan ini, Bukan Itu”: Menghindari Kutub-kutub Ekstrim      Sejarah membuktikan bahwa salah satu “local genius” bangsa Indonesia adalah pola pendekatan yang menghindari kutub-kutub ekstrim demi terciptanya kehidupan bersama yang guyub, rukun dan harmonis. Pada zaman Majapahit, ketika Hindu dan Buddha menawarkan superioritasnya masing-masing, Mpu Tantular menawarkan solusi: “Bukan Siwa, bukan Buddha”, tetapi Sri Parwataraja yang merangkul baik Siwa maupun Buddha.           Begitu juga pada era Mataram, ketika Islam dianut sebagian besar rakyat (dengan penghayatan yang khas Jawa) menawarkan pola “dualistik”, dan sisa-sisa Hin-duisme yang bercorak monistik, pada era ini kita menghadapi problem relasi Khaliq-Makhluq (Pencipta-Ciptaan): satu atau dua, berbeda atau tidak berbeda, maka pola pendekatan asli yang bersifat “monisme-dualistik”, muncul kembali dalam Serat Centhini: Nora siji, nora loro, abeda nora beda, loro-loroning atunggil (Bukan satu bukan dua, berbeda tetapi tidak berbeda, keduanya adalah satu).9      Pola pendekatan ini terbukti memang ampuh dalam menyelesaikan masalah di tengah-tengah kecenderungan “hitam-putih” a la “Buta lorek jam sanga mati”, yang memandang sesuatu dengan “pengkutuban”, “pertentangan”, dan “konfrontasi”. Menjelang kemderdekaan, pendekatan “monodualistik” ini muncul ketika kita dihadapkan pada pilihan “Negara agama” atau “Negara Sekuler”. Dan jawabnya adalah Negara Pancasila, yang bukan “negara agama” dan bukan pula “negara sekuler”. Kaum “Buta Lorek” yang bepikiran “hitam-putih”, tentu saja sulit mencerna kearifan adi-luhung para leluhur Nusantara ini. Dalam pemikiran mereka, kalau tidak hitam ya putih, kalau tidak “beriman” (sesuai dengan iman saya) ya kafir, murtad, dan sebagainya.        Jadi, hanya pasukan “Buta Lorek” yang tidak paham betapa kayanya warisan budaya bangsa kita, yang menentang Pancasila. Mereka lebih rela negeri ini akan terpecah-pecah, seperti India dan Pakistan (karena Hindu-Islam), atau negerinegeri kecil Afrika yang dibentuk oleh kekuatan imperialis. Waspadalah terhadap bahaya “balkanisasi” NKRI, yang sadar atau tidak sangat didukung oleh sistem politik dan demokrasi kita sekarang. Untuk itu, caranya hanya satu: Kembali kepada nilai-nilai Pancasila, dan kita hadang bersama-sama fanatisme picik agama dengan segala wujud dan manifestasinya.   III. Catatan Refleksi      Ketika memperkenalkan sila Ketuhanan yang Maha Esa, Bung Karno ingin “menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.10 Meskipun demikian Bung Karno menyadari bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, termasuk dalam masalah agama. Karena itu, Bung Karno tidak menyetujui “negara agama”, atau suatu sistem teokrasi yang didasarkan atas salah satu agama saja. “Tetapi marilah kita semuanya bertuhan”, seru Bung Karno. “Hendaklah negara Indonesia ilah negara yang tiaptiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. 11        Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, yang disambut oleh para anggota Badan Persiapan Kemer-dekaan Indonesia (BPUPKI) dengan gegap gempita, Bung Karno menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila kelima. Mengapa? Karena kalau Bung Karno langsung mengusulkan Ketuhanan Yang Maha Esa, orang bisa saja waktu itu menyangka bahwa Bung Karno mengusulkan sistem teokrasi. Karena itu, rumusan Pancasila yang diusulkan Bung Karno dapat disebut rumusan empiris, karena itu diusulkan sila pertama “Kebangsaan Indonesia”. Sebab kita hendak mendirikan Negara Nasional, sebuah “Nationale Staat”, menurut istilah Bung Karno.        Setelah konsep mula-mula mengenai Pancasila itu diusulkan pada sidang Panitia Sembilan, yang semua anggota sudah sepakat kita hendak mendirikan sebuah Nationale Staat yang mengayomi semua, dan bukan atas dasar agama tertentu, barulah disadari bahwa sebagai “Causa Prima” (Penyebab utama) segala sesuatu, maka Bung Hatta mengusulkan agar sila Ketuhanan Yang Maha Esa ditempatkan sebagai sila pertama. Dari rumusan empiris 1 Juni 1945 disempurnakan menjadi rumusan filosofis yang akhirnya disepakati pada tanggal 18 Agustus 1945, berbareng dengan penetapan Konstitusi negara, dan rumusan filosofis Pancasila itu dimasukkan dalam Pembukaan UUD 1945.        Dengan rumusan tersebut, menjadi jelas bahwa urutan sila-sila Pancasila tidak bisa dibolak-balik lagi. Ketuhahan Yang Maha Esa melahirkan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dan ketika kita hendak mendirikan suatu negara. Lahirlah prinsip Persatuan Indonesia yang harus merujuk kepada kemanusiaan yang universal. “Kebangsaan Indonesia harus tumbuh subur di tamansarinya Peri Kemanusiaan”, kata Bung Karno. Selanjutnya, negara yang kita bangun bukan didasarkan atas prinsip monarkhi atau kekuasaan raja, melainkan prinsip kerakyatan, demi terwujudnya Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.        Dengan demikian, sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak didasarkan atas satu agama tertentu, melainkan menampung, mengayomi semua agama. Karena itu, menurut pengakuan Bung Karno sendiri, sila pertama itu digalinya bukan hanya dari lapisan imperialisme Barat, atau dari lapisan Islam dan lapisan Hindu-Budha saja, melainkan jauh sebelum masuknya agama-agama dunia.       Menurut Bung Karno, jauh sebelum itu bangsa Indonesia “selalu hidup didalam alam pemujaan, yang kepada hal itu ia menaruhkan segenap harapannya, kepercayaannya”. 12 “Dus”, tegas Bung Karno, “kalau aku memakai ketuhanan sebagai suatu pengikat keseluruhan, tentu bisa diterima”. Sebaliknya, tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa, “…maka saya menghilangkan atau membuang satu eklemen yang bindend, bahkan masuk betul-betul didalam jiwanya bangsa Indonesia”.13        Jadi, tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa kita akan jatuh dalam sekularisme, tetapi sebaliknya dengan sistem teokrasi yang didasarkan atas agama tertentu, maka hasl itu akan bertentangan dengan realitas ke-“Bhinneka Tunggal Ika”-an, yang bisa mengancam keutuhan bangsa Indonesia. Sejarah Indonesia sendiri mem-buktikan, bahwa Nusantara gagal dipersatukan dengan mengibarkan bendera “bulan sabit” baik pada masa Demak, Pajang, dan ratusan kerajaan-kerajaan kecil lain di luar Jawa, tetapi pernah menjadi Negara berdaulat yang jaya dengan wilayah mencakup seluruh Nusantara di bawah negara nasional Sriwijaya, Majapahit, dan kini NKRI yang berdasarkan Pancasila.



Leave a Reply.