Picture
Sebagai koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta, naskah ini dikenal sebagai Kropak 632. Naskah yang dulu koleksi Masyarakat Batavia ini memuat ketatanegaraan Sunda zaman dahulu. Judul Amanat Galunggung diberikan oleh Saleh Danasasmita dkk (1987). Padahal kata amanat tak ditulis dalam teks (amanat merupakan kata Arab). Sebelumnya para ahli menyebutnya Naskah Kabuyutan Ciburuy di Bayongbong, Garut, Jawa Barat. Galunggung sendiri merupakan gunung berapi di wilayah Garut.   Naskah Kabuyutan Ciburuy atau Amanat Galunggung        Naskah ini diperkirakan disusun pada abad ke-15, ditulis pada daun lontar dan nipah, menggunakan bahasa Sunda kuno dan aksara Sunda. Sayang, naskah ini tak bertarikh dan juga tak lengkap. Yang tersedia hanya enam helai daun. Dilihat dari penulisan kata-katanya, dapat ditafsir bahwa naskah ini lebih tua dari Sanghyang Siksakanda ng Karesian (1518 M) dan Carita Parahyangan (1580 M) yang ditulis pada abad ke-16. Dalam Amanat Galungggung ejaannya ditulis: kwalwat, gwareng, anwam, dan hamwa; yang di dalam Carita Parahyangan dieja: kolot, goreng, anom, dan hamo.        Naskah ini menarik perhatian Holle, Brandes, Pleyte, dan Poerbatjaraka. Pleyte menyebut naskah ini sebagai “pseudo-Padjadjaransche Kroniek”. Kemudian para sarjana Indonesia mengatakan bahwa data sejarah yang terkandung dalam bagian awal naskah sesungguhnya hanya merupakan pengantar ke arah fungsi teks sesungguhnya, yakni sebagai pelajaran keagamaan yang disampaikan Rakryan atau Rakeyan Darmasiksa. Pada 1981 tesk ini diterbitkan sebagai stensilan oleh Atja dan Danasasmita. Tahun 1987, Danasasmita dkk mempublikasikannya dalam bentuk buku.   Karel Frederik Holle, seorang pemerhati sastra dan budaya Sunda asal Belanda, yang juga tertarik akan Naskah Kabuyutan Ciburuy.        Teksnya berisi tentang usaha Darmasiska dan orang-orang yang “membuka” wilayah Galungggung (nya nyusuk na Galungggung). Selebihnya teks ini berisi nasihat perihal budi pekerti yang disampaikan Rakyan Darmasiksa, Raja Kerajaan Sunda, yang duduk di Galunggung, kepada putranya, yakni Ragasuci atau Sang Lumahing Taman. Karena itu, sering pula naskah ini disebut Amanat Prabuguru Darmasiksa. Dari naskah ini diketahui peran kabuyutan, bukan hanya sebagai tempat pemujaan, melainkan dijadikan sebagai salah satu cara penopang integritas terhadap negara, sehingga tempat itu dilindungi dan disakralkan oleh raja.   Prabuguru Darmasiksa      Dalam Carita Parahyangan diceritakan, Darmasiksa (ada juga yang menyebutnya Prabu Sanghyang Wisnu) memerintah selama 150 tahun. Ada pun Naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun, yakni tahun 1097 – 1219 Saka (1175 – 1297 M). Darmasiksa naik tahta setelah 16 tahun Prabu Jayabaya (1135 – 1159 M), penguasa Kediri-Jenggala tiada. Darmasiksa memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya Kerajaan Majapahit (1293 M).        Menurut Pustaka Nusantara II/2, Prabuguru Darmasiksa pernah memberikan peupeujeuh (nasihat) kepada cucunya, yakni Wijaya, pendiri Majapahit, sebagai berikut: Haywa ta sira kedo athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlaha yan ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wu agheng jaya santosa wruh ngawang kottman ri puyut kalisayan mwang jayacatrumu, ngke pinaka mahaprabhu. Ika hana ta daksina sakeng Hyang Tunggal mwang dumadi seratanya. Ikang sayogyanya rajyaa Jawa rajya Sunda parasparopasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padulur. Yatanyan tan pratibandeng nyakrawartti rajya sowangsong. Yatanyan siddha hitasukha. Yan rajya Sunda duhkantara. Wilwatika sakopayanya maweh caranya: mangkana juga rajya Sunda ring Wilwatika.        Inti dari nasihatnya adalah menjelaskan tentang larangan untuk tidak menyerang Sunda karena mereka bersaudara. Jika masing-masing memerintah sesuai dengan haknya maka akan mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna.        Perihal Prabu Darmasiksa memberikan wejangan kepada Sanjaya, Carita Parahyangan (CP) pun membeberkan hal tersebut. Dalam CP—yang sebagian besar isinya menceritakan kepahlawanan Sanjaya, raja Sunda di Pakuan dan Galuh di Jawa Barat dan pendiri Mataram Kuno di Jawa Tengah (sama dengan Pararaton yang menceritakan sepak terjang Ken Angrok)—disebutkan bahwa Patih Galuh menasihati agar Rahiyang Sanjaya mematuhi Sanghyang Darmasiksa.          Naskah ini memulai ceritanya dari alur Kerajaan Saunggalah I (Kuningan) yang diperkirakan telah ada pada awal abad 8 M. Secara politis, Saunggalah merupakan alternatif untuk menyelesaikan pembagian kekuasaan antara keturunan Wretikandayun, yaitu anak-anak Mandi Minyak dengan anak-anak Sempak Waja, Naskah ini menjelaskan sisi dan perkembangan keturunan Wretikandayun di luar Galuh.        Dari naskah Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa, kita tahu bahwa nama Raja Saunggalah I bernama Resiguru Demunawan. Kedudukan sebagai penguasa di wilayah tersebut diberikan oleh ayahnya, yakni Sempak Waja, putra Wretikandayun pendiri Galuh. Resiguru Demunawan merupakan kakak kandung dari kakak kandung Purbasora, yang pernah menjadi raja di Galuh pada 716-732.        Demunawan memiliki keistimewaan dari saudara-saudara lainnya, baik sekandung maupun dari seluruh keturunan Kendan. Sekali pun tidak pernah menguasai Galuh secara fisik, namun ia mampu memperoleh gelar resi guru, sebuah gelar yang tidak sembarangan bisa didapat, sekali pun oleh raja-raja terkenal, tanpa memilik sifat ksatria minandita. Bahkan pasca Tarumanagara, gelar ini hanya diperoleh Resiguru Manikmaya, pendiri Kendan, Resiguru Darmasiksa, dan Resiguru Niskala Wastu Kancana raja di Kawali. Seorang raja bergelar resiguru diyakini telah mampu membuat sebuah ajaran (pandangan hidup) yang dijadikan acuan kehidupan masyarakatnya.        Prabuguru Darmasiksa pertama kali memerintah di Saunggalah I (persisnya di desa Ciherang, Kadugede, Kab. Kuningan), kemudian memindahkan ke Saunggalah 2, (Mangunreja, Tasikmalaya), selanjutnya menjadi raja Di Pakuan Pajajaran. Menurut teks Bujangga Manik (akhir abad ke- 15 atau awal abad ke-16), lokasi lahan tersebut terletak di daerah Tasik Selatan sebelah barat, bahkan kerajaan ini mampu mempertahankan kehadirannya setelah Pajajaran dan Galuh runtuh. Pada abad ke-18 nama kerajaan tersebut masih ada, namun setingkat kabupaten, dengan nama Kabupaten Galunggung, berpusat di Singaparna. Mungkin sebab inilah penduduk Kampung Naga Salawu di Tasik enggan menyebut Singaparna, tetap menyebut Galunggung untuk wilayah Singaparna.        Kemudian Darmasiksa diangkat menjadi Raja Sunda di Pakuan), sedangkan Saunggalah diserahkan kepada putranya, yakni Ragasuci alias Sang Lumahing Taman.   “Kesadaran Sejarah”       Berbeda dengan Carita Parahyangan yang jelas menceritakan perjalanan pemerintahan raja-raja kuno di Jawa Barat, Amanat Galunggung ini membeberkan ajaran moral dan aturan sosial yang harus dipatuhi oleh urang Sunda. Namun, dalam naskah Amanat Galunggung ini terdapat baris-baris kalimat yang menyatakan pentingnya masa lalu sebagai “tunggak” (tonggak) atau “tunggul” untuk masa berikutnya, maka dari itu seyogyanya generasi kini harus tetap menghormati nilai-nilai yang diwarisi generasi sebelumnya. Berikut petikan dan terjemaahannya:   Hana nguni hana mangke
tan hana nguni tan hana mangke
aya ma beuheula aya tu ayeuna
hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna
hana tunggak hana watang
tan hana tunggak tan hana watang
hana ma tunggulna aya tu catangna
(Ada dahulu ada sekarang
bila tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang
karena ada masa silam maka ada masa kini
bila tidak ada masa silam tidak akan ada masa kini
ada tonggak tentu ada batang
bila tidak ada tonggak tidak akan ada batang
bila ada tunggulnya tentu ada catangnya)        Bagi masyarakat Sunda Kuno—juga Jawa dan etnis-etnis lain di Indonesia, terutama pada masa klasik (Hindu-Buddha)—“kesadaran sejarah” bukanlah kesadaran seseorang atau pun sekelompok orang terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu di mana peristiwa-peristiwa tersebut harus ditentukan kebenarannya (secara ilmiah), melainkan kesadaran generasi mendatang terhadap nilai-nilai yang pernah ditanamkan oleh generasi sebelumnya. Hampir tak pernah ditemukan sebuah kronik sejarah—kecuali Nagarakretagama karya Prapanca—dalam bentuk pustaka di Indonesia yang memang bertujuan untuk mencatat peristiwa-persitiwa penting pada masanya beserta pencantuman tarikh-tarikhnya. Di Jawa Barat sendrir, kecuali Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan, naskah-naskah Sunda Kuno yang dihasilkan pada abad-abad ke-15 dan ke-16 hampir semua merupakan teks religius, pedoman moral, atau sejenis “sastra-jurnal” seperti Bujangga Manik. Memang dalam naskah-naskah pedoman moral itu dapat diketahui sejumlah aspek kehidupan sosial-ekonomi-budaya yang dapat dijadikan acuan sebagai “informasi sejarah”, namun hampir tak ada catatan-catatan mengenani peristiwa politik yang akan memuaskan para peniliti sejarah, kecuali peneliti filologi dan arkeologi.   Intisari Teks      Halaman 1      Prabu Darmasiksa menjelaskan tentang nama-nama raja leluhurnya. Ia memberikan amanat atau nasihat kepada: anak, cucu, umpi (turunan ke-3), cicip (ke-4), muning (ke-5), anggasantana (ke-6), kulasantana (ke-7), pretisantana (ke-8), wit wekas (ke-9, hilang jejak), sanak saudara, dan semuanya.        Halaman 2      Dijelaskan perlu mempunyai kewaspadaan akan kemungkinan dapat direbutnya kemuliaan (kewibawaan dan kekuasaan) serta kejayaan bangsa sendiri oleh orang asing. Perilaku negatif yang dilarang: Jangan merasa diri yang paling benar, jaling jujur, paling lurus, Jangan menikah dengan saudara, jangan membunuh yang tidak berdosa, jangan merampas hak orang lain, jangan menyakiti orang yang tidak bersalah, jangan saling mencurigai.        Halaman 3
  1. Harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut kabuyutan (tanah yang disakralkan).
  2. Siapa saja yang dapat menduduki tanah yang disakralkan (Galunggung), akan beroleh kesaktian, unggul perang, berjaya, bisa mewariskan kekayaan sampai turun temurun.
  3. Bila terjadi perang, pertahankanlah kabuyutan yang disucikan itu.
  4. Cegahlah kabuyutan (tanah yang disucikan) jangan sampai dikuasai orang asing.
  5. Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah dari pada raja putra yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan/tanah airnya.
  6. Jangan memarahi orang yang tidak bersalah, jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu mempertahankan tanahnya (kabuyutannya) pada zamannya.
       Halaman 4
  1. Hindarilah sikap tidak mengindahkan aturan, termasuk melanggar pantangan diri sendiri.
  2. Orang yang melanggar aturan, tidak tahu batas, tidak menyadari akan nasihat para leluhurnya, sulit untuk diobati sebab diserang musuh yang “halus”.
  3. Orang yang keras kepala, yaitu orang yang ingin menang sendiri, tidak mau mendengar nasihat ayah-bunda, tidak mengindahkan ajaran moral (patikrama) digambarkan sebagai pucuk alang-alang yang memenuhi tegal.
       Halaman 5
  1. Orang yang mendengarkan nasihat leluhurnya akan tenteram hidupnya, berjaya.
  2. Orang yang tetap hati ibaratnya telah sampai di puncak gunung.
  3. Bila kita tidak saling bertengkar dan tidak merasa diri paling lurus dan paling benar, maka manusia di seluruh dunia akan tenteram, ibarat gunung yang tegak abadi, seperti telaga yang bening airnya; seperti kita kembali ke kampung halaman tempat berteduh.
  4. Peliharalah kesempurnaan agama, pegangan hidup kita semua.
  5. Jangan kosong (tidak mengetahui) dan jangan merasa bingung dengan ajaran keutamaan dari leluhur.
  6. Semua yang dinasihatkan ini adalah amanat dari Rakeyan Darmasiksa.
       Halaman 6      Sang Raja Purana merasa bangga dengan ayahandanya (Rakeyan Darmasiksa), yang telah membuat ajaran/pegangan hidup yang lengkap dan sempurna. Bila ajaran Darmasiksa ini tetap dipelihara dan dilaksanakan maka akan terjadi:
  1. Raja pun akan tenteram dalam menjalankan tugasnya.
  2. Keluarga/tokoh masyarakat akan lancar mengumpulkan bahan makanan.
  3. Ahli strategi akan unggul perangnya.
  4. Pertanian akan subur.
  5. Panjang umur.
  6. Sang Rama (tokoh masyarakat) bertanggung jawab atas kemakmuran hidup; Sang Resi (cerdik pandai, berilmu), bertanggung jawab atas kesejahteraan; Sang Prabu (birokrat) bertanggung jawab atas kelancaran pemerintahan.
     Perilaku yang dilarang, yakni: berebut kedudukan, berebut penghasilan, berebut hadiah. Perilaku yang dianjurkan: bersama-sama mengerjakan kemuliaan, melalui perbuatan, ucapan, dan itikad yang bijaksana.        Halaman 7      Akan menjadi orang terhormat dan merasa senang bila mampu menegakkan ajaran/agama; akan menjadi orang terhormat bila dapat menghubungkan kasih sayang dengan sesama manusia. Itulah manusia yang mulia.         Dalam ajaran patikrama (etika), yang disebut bertapa itu adalah beramal melalui apa yang kita kerjakan. Buruk amalnya, buruk pula tapanya; amalnya sedang, sedang pula tapanya; sempurna amalnya/kerjanya, sempurna tapanya. Kita menjadi kaya karena kita bekerja, berhasil tapanya. Orang lainlah yang akan menilai pekerjaan/tapa kita.         Perilaku yang dianjurkan: perbuatan, ucapan, dan tekad harus bijaksana. Harus bersifat hakiki, bersungguh-sungguh, memikat hati, suka mengalah, murah senyum, berseri hati dan mantap bicara.         Perilaku yang dilarang: jangan berkata berteriak, menyindir-nyindir, menjelekkan sesama orang dan berbicara mengada-ada.         Halaman 8.
  1. Bila orang lain menyebut kerja kita jelek (bukan jelek fisik), yang harus disesali adalah diri kita sendiri.
  2. Tidak benar, karena takut dicela orang, lalu kita tidak bekerja/bertapa.
  3. Tidak benar pula bila kita berkeja hanya karena ingin dipuji orang.
  4. Orang yang mulia itu adalah yang sempurna amalnya, dia akan kaya karena hasil tapanya itu.
  5. Camkan ujaran para orangtua agar masuk surga di kahiyangan.
  6. Kejujuran dan kebenaran itu ada pada diri sendiri.
  7. Itulah yang disebut dengan “kita menyengaja berbuat baik”.
      Perilaku yang dianjurkan: harus cekatan, terampil, tulus hati, rajin dan tekun, tangkas, bersemangat, perwira, teliti, penuh keutamaan, dan berani tampil. Yang dikatakan semua ini itulah yang disebut orang yang berhasil tapanya.         Halaman 9      Perlu diketahui bahwa yang mengisi neraka itu adalah manusia yang suka mengeluh karena malas beramal; banyak yang diinginkannya tetapi tidak tersedia di rumahnya, akhirnya meminta-minta kepada orang lain.            Arwah yang masuk ke neraka itu dalam tiga gelombang, berupa manusia yang pemalas, keras kepala, pander/bodoh, pemenung, pemalu, mudah tersinggung, selalu berdusta, bersungut-sungut, menggerutu, mudah bosan, segan mengalah, ambisius, mudah terpengaruh, mudah percaya padangan omongan orang lain, tidak teguh memegang amanat, sulit hati.        Halaman 10
  1. Orang pemalas tetapi banyak yang diinginkannya selalu akan meminta dikasihani orang lain. Itu sangat tercela.
  2. Orang pemalas seperti air di daun talas, plin-plan namanya. Jadilah dia manusia pengiri melihat keutamaan orang lain.
  3. Amal yang baik seperti ilmu padi makin lama makin merunduk karena penuh bernas.Bila setiap orang berilmu padi maka kehidupan masyarakat pun akan seperti itu.Janganlah meniru padi yang hampa, tengadah tapi tanpa isi.
  4. Jangan pula meniru padi rebah muda, hasilnya nihil, karena tidak dapat dipetik hasilnya.
       Halaman 11
  1. Orang yang berwatak rendah, pasti tidak akan hidup lama.
  2. Sayangilah orang tua, oleh karena itu hati-hatilah dalam memilih istri, memilih hamba, agar hati orangtua tidak tersakiti.
  3. Bertanyalah kepada orang-orang tua tentang agama hukum para leluhur, agar hirup tidak tersesat.
  4. Ada dahulu (masa lampau) maka ada sekarang (masa kini), tidak akan ada masa sekarang kalau tidak ada masa yang terdahulu.
  5. Ada pokok (pohon) ada pula batangnya, tidak akan ada batang kalau tidak ada pokoknya.
  6. Bila ada tunggulnya maka tentu akan ada batang (catang)-nya.
  7. Ada jasa tentu ada anugerahnya. Tidak ada jasa tidak akan ada anugerahnya.Perbuatan yang berlebihan akan menjadi sia-sia.
       Halaman 12
  1. Perbuatan yang berlebihan akan menjadi sia- sia, dan akhirnya sama saja dengan tidak beramal yang baik.
  2. Orang yang terlalu banyak keinginannya, ingin kaya sekaya-kayanya, tetapi tidak berkarya yang baik, maka keinginannya itu tidak akan tercapai.
  3. Ketidakpastian dan kesemerawutan keadaan dunia ini disebabkan karena salah perilaku dan salah tindak dari para orang terkemuka, penguasa, para cerdik pandai, para orang kaya; semuanya salah bertindak, termasuk para raja di seluruh dunia.
  4. Bila tidak mempunyai rumah/kekayaan yang banyak ya jangan beristri banyak.
  5. Bila tidak mampu berproses menjadi orang suci, ya jangan bertapa.
       Halaman 13
  1. Keinginan tidak akan tercapai tanpa berkarya, tidak punya keterampilan, tidak rajin, rendah diri, merasa berbakat buruk. Itulah yang disebut hidup percuma saja.
  2. Tirulah wujudnya air di sungai, terus mengalir dalam alur yang dilaluinya. Itulah yang tidak sia-sia. Pusatkan perhatian kepa cita-cita yang diinginkan. Itulah yang disebut dengan kesempurnaan dan keindahan.
  3. Teguh semangat tidak mempedulikan hal-hal yang akan memengaruhi tujuan kita.
  4. Perhatian harus selalu tertuju/terfokus pada alur yang dituju.
  5. Senang akan keelokan/keindahan.
  6. Kuat pendirian tidak mudah terpengaruh.
  7. Jangan mendengarkan ucapan-ucapan yang buruk.
  8. Konsentrasikan perhatian pada cita-cita yang ingin dicapai.

 
Di akhir abad ke-15, atau selambat-lambatnya awal abad ke-16, seorang pendeta bernama Bujangga Manik melakukan "wisata ziarah" ke tempat-tempat suci di Pulau Jawa. Bahkan, dalam perjalanan kedua, ia sampai ke Bali. Ia berangkat dari ibu kota Pakuan Pajajaran (Bogor sekarang), baik melalui darat maupun melalui laut. Kisah perjalanan yang dituliskannya pada helaian daun lontar, juga mungkin nipah atau gebang dengan menggunakan bahasa Sunda, sejak tahun 1627 tercatat sebagai koleksi Bodleian Library di Oxford, Inggris.

     Dari catatan perjalanannya itu, terkesan ia sekurang-kurangnya dua kali melintas ke tempat yang sekarang dikenal sebagai daerah Gunung Gede Pangrango (3.019 m). Dalam perjalanan pertama sewaktu berangkat ke wilayah timur, ia melalui tempat-tempat yang namanya masih dipertahankan hingga sekarang, misalnya Tajur Mandiri (sekarang Tajur) dan Suka Beurus (sekarang Sukabirus). Demikian juga tempat bernama Puncak yang ketika itu sudah dikenal.

     Katanya, "Panjang ta(n)jakan ditedak, ku ngaing dipeding-peding. Sadatang aing ka Puncak, deuuk di na mu(ng)kal datar, teher ngahihidan awak. Teher sia ne(n)jo gunung, itu ta na Bukit Ageung, hulu wano na Pakuan."      Terjemahan bebasnya kira-kira berarti, "Panjang tanjakan yang kulalui, kutempuh dengan tekun. Setiba aku di Puncak, aku duduk di atas batu datar (rata) sambil mengipasi tubuh. Lalu aku memandang ke arah gunung, itulah Bukit Ageung, titik tertinggi di wilayah Pakuan".

     Ketika kedua kalinya melalui daerah itu, ia datang dari timur. Sekembali dari perjalanan ziarahnya mengunjungi tempattempat suci di Majapahit, bahkan Bali. Katanya, ''Sadatang ka Bukit Ageung: eta hulu Cihaliwung, kabuyutan ti Pakuan, sanghiang Talaga Warna." Terjemahan bebasnya kira-kira, "Setiba di Bukit Ageung, itulah hulu Ci Liwung, kabuyutan (= tempat suci) dari Pakuan, (yaitu) sanghiang Talaga Warna".

     Bukit Ageung atau Bukit (gunung) Besar yang terdapat di daerah Puncak, dan juga menyebut Ci Liwung dan Talaga Warna, pastilah gunung yang sekarang bernama Gunung Gede (2.958 m). Atau, dalam hal masih timbul keraguan, bersama "saudara kembarnya", Gunung Pangrango (3.019 m). Bagi sebagian masyarakat yang sekarang berdiam di sekitar kedua gunung itu, Gunung Gede memang kadang-kadang juga disebut Gunung Agung atau Gunung Ageung.
     Gunung lain yang oleh masyarakat sekitarnya juga dinamakan Gunung Ageung (Agung) atau Gunung Gede adalah Gunung Ciremay (3.078 m) di Cirebon dan Gunung Slamet (3.428 m) di Pekalongan.

     Kutipanpuisi itu memberikan petunjuk kepada kita bahwa di masa lampau, ketika negara yang beribukotakan Pakuan masih ada, Gunung Gede dengan Telaga Warna sudah merupakan kabuyutan atau tempat suci. Apakah Talaga Warna menurut Bujangga Manik itu (awal abad ke-16) sama dengan Talaga Rena Mahawijaya menurut prasasti Batutulis  (1533)? Hingga saat ini sebagian ada yang berpendapat demikian. Walaupun, tentu saja, cukup mengherankan jika dalam waktu tidak sampai seperempat abad, jika memang benar, namanya sudah berubah dari Talaga Warna menjadi Talaga Rena Mahawijaya.


     Petunjuk lain yang dapat diambil dari naskah itu adalah yang berhubungan dengan lembah Mandalawangi, yang oleh sebagian masyarakat juga dikenal dengan nama lembah Eyang Suryakencana. Bujangga Manik yang dengan sengaja berkunjung ke berbagai kabuyutan dan tempat suci hingga ke ujung timur Pulau Jawa dan Bali ternyata sama sekali tidak menyebutkan kabuyutan Eyang Suryakencana.

     Apakah itu berarti bahwa ketika itu kabuyutan itu belum ada? Sesuatu yang juga sangat masuk akal mengingat, menurut tradisi rakyat setempat, Eyang Suryakencana adalah Raja Pajajaran yang terakhir. Artinya, jika itu dihubungkan dengan berita naskah Carita Parahyangan (1580) dan kemudian diperkuat oleh Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawa Kulwan (1687) karya Pangeran Wangsakerta dan kawan-kawan dari Cirebon, terdapat kesesuaian juga.

     Menurut kedua naskah itu, raja terakhir yang bernama Nu Siya Mulya "ia (baginda) yang mulia" memerintah selama  tahun (1567-1579). Berarti, ketika Bujangga Manik  berkunjung ke Gunung Gede, Nu Siya Mulya atau yang Suryakencana belum menjadi raja, bahkan mungkin juga belum lahir. Karena itu, sangat wajar jika ia tidak mengenal kabuyutan yang memang diharapkan itu belum ada.

     Alam di sekitar Gunung Gede-Pangrango ternyata merupakan makmal, 'laboratorium', alam untuk berbagai jenis tanaman. Hal itu menyebabkan para perintis botani pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, misalnya Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864), ahli botani keturunan Jerman yang berkelana di pegunungan Jawa Barat, meneliti fenomena alam tropis. Ia pun memperkenalkan tanaman kina dan membudidayakannya di daerah Lembang.

     Selain Junghuhn, juga tercatat peneliti tanaman tropis di daerah pegunungan Jawa, termasuk Gede dan Pangrango, adalah G Forbes, Direktur Museum Botani di Liverpool, Inggris. Forbes tahun 1871 pernah berkelana di alam pegunungan Jawa Barat, dari Buitenzorg (Bogor) ke Bandung dengan kereta pos dengan kuda dan kerbau, semalam suntuk baru tiba di Bandung.

     Kekayaan tanaman di pegunungan itu menyebabkan penguasa pada waktu itu lalu melakukan upaya perlindungan. Tindakan nyatanya adalah dengan menjadikan kawasan itu sebagai suaka alam dan kini menjadi Taman Nasional Gede-Pangrango.

     Untuk memperlihatkan betapa bermaknanya kedua gunung itu bagi orang Sunda yang menganggap berasal dari Pajajaran, simaklah lirik lagu berikut ini:
“Gunung Gede siga nu nande/ nandean ka badan abdi/ Gunung Pangrango ngajogo/ ngadagoan abdi wangsul/ wangsul ti pangumbaraan/ kebo mulih pakandangan/ nya muncang labuh ka puhu/ anteurkeun ka Pajajaran”.
 

     Terjemahan bebasnya, "Gunung Gede bagaikan menampung, menampung tubuh diriku; Gunung Pangrango menunggu, menanti aku kembali; aku pulang mengembara, bagai kerbau kembali ke kandangnya, bagaikan kemiri jatuh ke pangkal, antarkanlah daku ke Pajajaran".

     Begitu pun Kalipah Apo atau Ace Majid, ketika berada di puncak Gunung Halimun, ia bermadah, Laut Kidul kabeh katingali/ ngembat paul kawas dina gambar/ ari ret ka tebeh kaler/ Batawi ngarunggunuk/ lautna mah teu katingal/ ukur lebah-lebahna/ semu-semu biru/ ari ret ka kaler wetan/ Pangrango siga nu ngajak balik/ meh bae kapiuhan.
 
     Terjemahan bebasnya, "Laut Kidul semua jelas terlihat, membiru bagaikan gambar, ketika memandang ke arah utara, Kota Betawi pun muncul, namun lautnya tak tampak, hanya perkiraan letaknya yang terlihat berwarna biru; ketika menoleh ke timur laut, Pangrango bagaikan mengajak pulang, aku pun hampir pingsan".

      Gunung Gede-Pangrango memang gunung kabuyutan di Tatar Sunda. Gunung yang menjadi taman nasional ini harap saja tetap menjadi "tempat suci" yang dijaga dan dilestarikan. Meski di seputarannya, penjarahan dan perusakan alam masih terus berlangsung, malah makin hebat dan membinasakan kalau tidak dicegah. Apa mampu?

     Di akhir abad ke-15, atau selambat-lambatnya awal abad ke-16, seorang pendeta bernama Bujangga Manik melakukan "wisata ziarah" ke tempat-tempat suci di Pulau Jawa. Bahkan, dalam perjalanan kedua, ia sampai ke Bali. Ia berangkat dari ibu kota Pakuan Pajajaran (Bogor sekarang), baik melalui darat maupun melalui laut. Kisah perjalanan yang dituliskannya pada helaian daun lontar, juga mungkin nipah atau gebang dengan menggunakan bahasa Sunda, sejak tahun 1627 tercatat sebagai koleksi Bodleian Library di Oxford, Inggris.

     Dari catatan perjalanannya itu, terkesan ia sekurang-kurangnya dua kali melintas ke tempat yang sekarang dikenal sebagai daerah Gunung Gede Pangrango (3.019 m). Dalam perjalanan pertama sewaktu berangkat ke wilayah timur, ia melalui tempat-tempat yang namanya masih dipertahankan hingga sekarang, misalnya Tajur Mandiri (sekarang Tajur) dan Suka Beurus (sekarang Sukabirus). Demikian juga tempat bernama Puncak yang ketika itu sudah dikenal.

     Katanya, "Panjang ta(n)jakan ditedak, ku ngaing dipeding-peding. Sadatang aing ka Puncak, deuuk di na mu(ng)kal datar, teher ngahihidan awak. Teher sia ne(n)jo gunung, itu ta na Bukit Ageung, hulu wano na Pakuan."

Terjemahan bebasnya kira-kira berarti,
     "Panjang tanjakan yang kulalui, kutempuh dengan tekun. Setiba aku di Puncak, aku duduk di atas batu datar (rata) sambil mengipasi tubuh. Lalu aku memandang ke arah gunung, itulah Bukit Ageung, titik tertinggi di wilayah Pakuan".

     Ketika kedua kalinya melalui daerah itu, ia datang dari timur. Sekembali dari perjalanan ziarahnya mengunjungi tempattempat suci di Majapahit, bahkan Bali. Katanya, ''Sadatang ka Bukit Ageung: eta hulu Cihaliwung, kabuyutan ti Pakuan, sanghiang Talaga Warna."

Terjemahan bebasnya kira-kira, "Setiba di Bukit Ageung, itulah hulu Ci Liwung, kabuyutan (= tempat suci) dari Pakuan, (yaitu) sanghiang Talaga Warna".

     Bukit Ageung atau Bukit (gunung) Besar yang terdapat di daerah Puncak, dan juga menyebut Ci Liwung dan Talaga Warna, pastilah gunung yang sekarang bernama Gunung Gede (2.958 m). Atau, dalam hal masih timbul keraguan, bersama "saudara kembarnya", Gunung Pangrango (3.019 m). Bagi sebagian masyarakat yang sekarang berdiam di sekitar kedua gunung itu, Gunung Gede memang kadang-kadang juga disebut Gunung Agung atau Gunung Ageung.
     Gunung lain yang oleh masyarakat sekitarnya juga dinamakan Gunung Ageung (Agung) atau Gunung Gede adalah Gunung Ciremay (3.078 m) di Cirebon dan Gunung Slamet (3.428 m) di Pekalongan.

     Kutipanpuisi itu memberikan petunjuk kepada kita bahwa di masa lampau, ketika negara yang beribukotakan Pakuan masih ada, Gunung Gede dengan Telaga Warna sudah merupakan kabuyutan atau tempat suci. Apakah Talaga Warna menurut Bujangga Manik itu (awal abad ke-16) sama dengan Talaga Rena Mahawijaya menurut prasasti Batutulis  (1533)? Hingga saat ini sebagian ada yang berpendapat demikian. Walaupun, tentu saja, cukup mengherankan jika dalam waktu tidak sampai seperempat abad, jika memang benar, namanya sudah berubah dari Talaga Warna menjadi Talaga Rena Mahawijaya.


     Petunjuk lain yang dapat diambil dari naskah itu adalah yang berhubungan dengan lembah Mandalawangi, yang oleh sebagian masyarakat juga dikenal dengan nama lembah Eyang Suryakencana. Bujangga Manik yang dengan sengaja berkunjung ke berbagai kabuyutan dan tempat suci hingga ke ujung timur Pulau Jawa dan Bali ternyata sama sekali tidak menyebutkan kabuyutan Eyang Suryakencana.

     Apakah itu berarti bahwa ketika itu kabuyutan itu belum ada? Sesuatu yang juga sangat masuk akal mengingat, menurut tradisi rakyat setempat, Eyang Suryakencana adalah Raja Pajajaran yang terakhir. Artinya, jika itu dihubungkan dengan berita naskah Carita Parahyangan (1580) dan kemudian diperkuat oleh Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawa Kulwan (1687) karya Pangeran Wangsakerta dan kawan-kawan dari Cirebon, terdapat kesesuaian juga.

     Menurut kedua naskah itu, raja terakhir yang bernama Nu Siya Mulya "ia (baginda) yang mulia" memerintah selama 12 tahun (1567-1579). Berarti, ketika Bujangga Manik  berkunjung ke Gunung Gede, Nu Siya Mulya atau yang Suryakencana belum menjadi raja, bahkan mungkin juga belum lahir. Karena itu, sangat wajar jika ia tidak mengenal kabuyutan yang memang diharapkan itu belum ada.

     Alam di sekitar Gunung Gede-Pangrango ternyata merupakan makmal, 'laboratorium', alam untuk berbagai jenis tanaman. Hal itu menyebabkan para perintis botani pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, misalnya Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864), ahli botani keturunan Jerman yang berkelana di pegunungan Jawa Barat, meneliti fenomena alam tropis. Ia pun memperkenalkan tanaman kina dan membudidayakannya di daerah Lembang.

     Selain Junghuhn, juga tercatat peneliti tanaman tropis di daerah pegunungan Jawa, termasuk Gede dan Pangrango, adalah G Forbes, Direktur Museum Botani di Liverpool, Inggris. Forbes tahun 1871 pernah berkelana di alam pegunungan Jawa Barat, dari Buitenzorg (Bogor) ke Bandung dengan kereta pos dengan kuda dan kerbau, semalam suntuk baru tiba di Bandung.

     Kekayaan tanaman di pegunungan itu menyebabkan penguasa pada waktu itu lalu melakukan upaya perlindungan. Tindakan nyatanya adalah dengan menjadikan kawasan itu sebagai suaka alam dan kini menjadi Taman Nasional Gede-Pangrango.

     Untuk memperlihatkan betapa bermaknanya kedua gunung itu bagi orang Sunda yang menganggap berasal dari Pajajaran, simaklah lirik lagu berikut ini:
“Gunung Gede siga nu nande/ nandean ka badan abdi/ Gunung Pangrango ngajogo/ ngadagoan abdi wangsul/ wangsul ti pangumbaraan/ kebo mulih pakandangan/ nya muncang labuh ka puhu/ anteurkeun ka Pajajaran”.
 
     Terjemahan bebasnya, "Gunung Gede bagaikan menampung, menampung tubuh diriku; Gunung Pangrango menunggu, menanti aku kembali; aku pulang mengembara, bagai kerbau kembali ke kandangnya, bagaikan kemiri jatuh ke pangkal, antarkanlah daku ke Pajajaran".

     Begitu pun Kalipah Apo atau Ace Majid, ketika berada di puncak Gunung Halimun, ia bermadah, Laut Kidul kabeh katingali/ ngembat paul kawas dina gambar/ ari ret ka tebeh kaler/ Batawi ngarunggunuk/ lautna mah teu katingal/ ukur lebah-lebahna/ semu-semu biru/ ari ret ka kaler wetan/ Pangrango siga nu ngajak balik/ meh bae kapiuhan.
 
     Terjemahan bebasnya, "Laut Kidul semua jelas terlihat, membiru bagaikan gambar, ketika memandang ke arah utara, Kota Betawi pun muncul, namun lautnya tak tampak, hanya perkiraan letaknya yang terlihat berwarna biru; ketika menoleh ke timur laut, Pangrango bagaikan mengajak pulang, aku pun hampir pingsan".

      Gunung Gede-Pangrango memang gunung kabuyutan di Tatar Sunda. Gunung yang menjadi taman nasional ini harap saja tetap menjadi "tempat suci" yang dijaga dan dilestarikan. Meski di seputarannya, penjarahan dan perusakan alam masih terus berlangsung, malah makin hebat dan membinasakan kalau tidak dicegah. Apa mampu?
 
Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke,
aya ma baheula aya tu ayeuna,
hanteu ma baheula hanteu tu ayeuna,
hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang,
hana ma tunggulna aya tu catangna
 

‘Ada dahulu ada sekarang, tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang;
ada masa lalu ada masa kini,
bila tidak ada masa lalu tidak ada masa kini,
ada pokok kayu ada batang, tidak ada pokok kayu tidak akan ada batang,
ada tunggulnya tentu ada catangnya’
           Amanat dari Galunggung.        


Tukilan kalimat Karuhun yang tertuang dalam Naskah Amanat Dari Galunggung, yang mengingatkan kita akan akar budaya yang harus tetap dipelihara untuk kesinambungan antara generasi ke generasi dan kesadaran sejarah. Kesadaran tersebut terus dituntut agar kita tidak tercerabut dari akar budaya yang telah lebih dahulu mapan pada jamannya.

      Akhir-akhir ini Bangsa Indonesia dilanda krisis yang sangat memprihatinkan. Keadaan ini diperparah lagi dengan situasi dan krisis perekonomian yang menghimpit seluruh rakyat Indonesia, situasi politik dan pertarungan elite politik di pusat pemerintahan, terus melanda ke daerah-daerah. Krisis disintegrasi malah mengedepan di daerah-daerah, sehingga muncul berbagai polemik, meminta referendum, otonomi bebas atau merdeka ? Kesalahan fatal yang terjadi kini cukup signifikan, yaitu dengan diberlakukannya otonomi di TK II, padahal yang paling penting dan cukup mendesak untuk persatuan RI ini adalah sistem federasi bagi setiap daerah TK I di seluruh Nusantara.         Sistem federasi cukup untuk mengakomodasi gejolak yang sedang marak di mana-mana, karena hal itu dapat memberikan keleluasaan bergerak dan mengangkat potensi daerahnya masing-masing untuk mengembangkan diri sesuai dengan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alamnya. Pembagian 75 dan 25 untuk pusat cukup untuk memberikan solusi, bahwa setiap daerah tidak merasa diperas pusat dalam hal eksploitasi SDA-nya. Sedangkan kini, bagi setiap daerah dirasakan ketidakadilan dan bahkan mereka merasa bahwa daerah hanya merupakan sapi perah yang terus menerus dieksploitasi. Sementara di daerahnya sendiri pembangunan tidak dirasakan.
        Bagaimana dengan Jawa Barat ? Imbas terhadap Jawa Barat sebagai daerah yang saampar samak dengan Ibukota RI - sungguh merupakan imbas yang tak dapat dilepaskan begitu saja. Jawa Barat sebagai hinterland dari ibukota, sangat berat dirasakan. berbagai upaya pemerintah mencari solusi, namun yang nampak hanya kamulflase yang pada akhirnya tetap tidak dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Jawa Barat. Akibatnya, Banten meminta referendum untuk menjadi propinsi tersendiri. Benarkah demikian ? Apabila itu terjadi, maka rangkaian benang sutra kini mulai menipis dan poada suatu saat pasti terputus apabila hal itu tiudak cepat-cepat diatasi dengan baik.
        Tetapi kita ingat bahwa di balik krisis itu terdapat dua makna yang tak dapat dipisahkan, yaitu ancaman dan peluang. Maka keduanya perlu kita siasati agar dapat menuju ke arah keadaan yang lebih baik. Perjalanan Bangsa Indonesia, kni sedang menuju ke Indonesia Baru. Berbicara mengenai Indonesia Baru, maka tak lepas dari Jawa Baru, Sunda Baru, kini masyarakat Jawa Barat harus mampu menghidupkan spirit Jawa Barat Baru dengan latar belakang budaya dan sejarah yang dimilikinya. Perlu pengadopsian nilai-nilai karuhun yang telah disosialisasikan dahulu dan dijadikan pegangan hidup untuk survive.
        Salah satu elemen penting dalam menghadapi masalah besar tersebut, dengan memanfaatkan sikap kepemimpinan yang berbasis Back to Karuhun diharapkan dapat menciptakan kesatuan wawasan yang berorientasi pada upaya pemecahan masalah disintegrasi sosial yang semakin meruncing. Juga dalam hubungan ini, sikap dari individu diharapkan dapat menciptakan situasi yang kondusif dalam membentuk opini masyarakat terhadap sence of belonging ‘rasa saling memiliki’ dan sence of a proud ‘rasa kebanggaan’ terhadap budaya daerahnya. Sehingga Bangsa Indonesia dengan motto Bhineka Tunggal Ika ‘Kesatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan’ . Motto ini sudah harus diubah dengan persatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam persatuan. Dan gejala disintegrasi sosial mudah-mudahan hanya merupakan fenomena reformasi yang tidak perlu meruncing dan menjadikan kita terpecah. Biarlah fenomena itu merupakan bayang-bayang sebagai ungkapan rasa keterbukaan dari sikap yang primordial dan feodalistik. Saling bagi rasa dalam penghayatan dan pengembangan budaya daerah itu perlu terus ditumbuhkembangkan sehingga terwujud dalam bentuk kebudayaan nasional yang mampu hidup dalam kancah yang mensejagat.
         Mari kita sepakati bahwa dengan mengerti dan membanggakan budaya lokal, bukan berarti agul ku payung butut ‘membanggakan hal yang sudah usang’, melainkan kita harus menemukan benang merahnya agar dapat menjawab apa makna di balik kearifan Karuhun yang mampu mengatasi ancaman dan tantangan yang sedang kita hadapi sekarang ini.
        Kecemburuan sosial dan perpecahan masyarakat yang berlatar ekonomi, atau karena meluasnya jurang pemisah antara pusat dan daerah disebabkan era reformasi yang digulirkan, menimbulkan disintegrasi nasional. Ketegangan dan pertentangan sosial yang kini terjadi itu, biasanya bersifat sementara menjelang tercapainya proses penyesuaian kembali ‘readjusment process’ tata kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Hal itu memerlukan perhatian dan pembinaan yang memadai untuk mencapai hasil sesuai dengan tujuan pembangunan bangsa.
        Perhatian terhadap pengembangan perangkat nilai dan elan vital budaya bangsa yang dapat mengikat dan memperkuat persatuan dan kesatuan seringkali tertunda kalau tidak dilupakan sama sekali. Dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, proses pembangunan bangsa atau integrasi nasional justru menuntut perubahan, pergeseran, penyesuaian, dan juga pengembangan nilai-nilai budaya baru.         Sesungguhnya perkembangan kebudayaan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia yang majemuk sejak proklamasi kemerdekaan itu berlangsung amat cepat dan menimbulkan dampak sosial budaya yang amat luas. Sehingga C. Greetz (1963) menyebutnya sebagai ‘integrative revolution’. Proses itu memperluas kesadaran akan kesamaan dan perbedaan primordial dalam kelompok-kelompok sosial yang terbatas ke arah persatuan yang lebih luas dalam kerangka keterpaduan masyarakat bangsa. Bagi bangsa Indonesia, revolution integrative itu mengandung arti bahwa ikatan kelompok primordial yang dilandasi oleh hubungan kerabat, keagamaan, dan kebahasaan setempat meluas ke dalam kelompok yang lebih besar yang melihat keseluruhan masyarakat bangsa. Sehingga keberhasilan pembangunan bangsa atau integrasi nasional dalam masyarakrat majemuk dapat diartikan sebagai pergeseran ikatan primordial yang tradisional dan bersifat lokal ke arah identitas nasional yang baru.
        Jawa Barat yang kaya akan nilai-nilai budaya dan falsafah hidup, sangat diharapkan mampu mengisi dan menjadi anutan bangsa Indonesia pada tatanan dan tataran Indonesia Baru; di mana di dalamnya pasti ada Jawa Barat Baru dan Sunda Baru -- yang kita songsong di depan. Salah satu nilai budaya dan falsafah Sunda itu adalah: Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh ‘Tri Silas’. Merupakan motto yang sangat melekat pada hati setiap individu masyarakat Jawa Barat. Tri Silas ini merupakan sebuah sistem yang harus menjadi pedoman setiap individu dalam menghadapi segala bentuk fenomena kehidupan ini, baik di lingkungan terkecil (keluarga) maupun dalam kancah yang lebih luas lagi (negara); apalagi dalam menghadapi situasi dan kondisi seperti sekarang ini.      Segala upaya harus diusahakan dengan tata cara yang benar titih rintih nete taraje nincak hambalan, nyusun jeung ngentep seureuh. Dapat disimpulkan dalam kata yang lebih populer yaitu PROPORSIONAL dan PROFESIONAL.
        Dalam kitab kuno orang Sunda -- yang dahulu menjadi sebuah pegangan dalam hidup dan berkehidupan,-- yaitu nasihat dari Rakeyan Darmasiksa kepada putranya SangLumahing Taman dan bahkan kepada kita semuanya yang menyatakan bahwa, bila tanah air ini dikuasi oleh orang lain maka lebih berharga nilai kulit lasun di tempat sampah daripada tanah air yang pada akhirnya jatuh ke tangan orang lain. Lebih jelasnya :Lamun miprangkeuna kabuyutan na Galunggung, antuk na kabuyutan, awak urang na kabuyutan, nu leuwih dipraspade, pahi deung na Galunggung, jaga beunangna kabuyutan ku Jawa, ku Baluk, ku Cina, ku Lampung, ku sakalih, muliyana kulit lasun dijaryan, madan rajaputra, antukna beunang ku sakalih.../ ( Koropak 632, Amanat Glunggung)
        Bila terjadi perang (memperebutkan) kabuyutan di Galunggung, pergilah ke kabuyutan, bertahanlah kita di kabuyutan. Apa-apa yang lebih sulit dipertahankan dirapihkan semua dengan yang di Galunggung. Cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh Jawa, oleh Baluk, oleh Cina, oleh Lampung, oleh yang lainnya. Lebih berharga nilai kulit lasun di tempat sampah daripada bila kabuyutan akhirnya jatuh ke tangan orang lain.
      Kehidupan yang mensejagat sangat memungkinan nilai-nilai manusiawi yang terkandung dalam budaya Sunda yang selama ini menjadi pedoman masyarakat Sunda, akan terkikis bahkan lenyap ditelan nilai-nilai baru yang belum tentu sesuai dengan fitrah Ki Sunda. Untuk itu diperlukan usaha menggali dan mentransformasikan nilai-luhur Ki Sunda yang selaras ke dalam kehidupan modern. Ini memerlukan kaberanian serta kemampuan yang terus menerus dari para pemangku budaya dan pemangku kebijakan.      Gejala disintegrasi yang muncul pada akhir-akhir ini, mungkin juga karena wawasan akan budaya di antara kita belum mantap. Sebagai upaya pembinaan dan pengembangan nilai-nilai budaya perlu dilakukan penyebarluasan informasi tantang latar dan kehidupan sosial budaya masyarakat dari berbagai budaya dengan segala dinamikanya.
        Sehingga proses otonomi daerah yang seluas-luasnya, menuntut kepada para pemangku kebijakan di masa yang akan datang untuk merujuk ke akar budaya dalam setiap gerak dan dinamikanya. Hal itu disebabkan budaya daerah akan lebih dominan dan lebih berperan dalam mengatasi proses globalisasi.

      Sebagai panutup dari tulisan ini, mari kita cermati lebih dalam lagi peringatan Karuhun kita yang baru-baru ini ditemukan pada sebuah prasasti di Kawali - Panjalu Ciamis (Prasasti Kawali VI) yang berbunyi : Ini peureu tigal nu atisti rasa aya ma nu ngeusi dayeuh iweu ulah batenga bisi kakereh ‘Ini tulisan peninggalan orang yang mendalami ilmu, semoga ada orang yang mengisi kota ‘generasi penerus’, jangan lengah atau banyak tingkah agar tidak celaka’.
 
  Berangkat dari beberapa studi literasi yang dilakukan penulis, ditemukan beberapa fakta logika yang menarik tentang perulangan kata yang disebut sebagai Atlantis. Dengan ditemukannya bukti-bukti keilmuan dan logika baru yang cukup kontroversial dengan sejarah peradaban saat ini, yang telah dikembangkan oleh para peneliti sebelumnya pasca penjelajahan dunia, revolusi industri dan era imprealis, penulis mencoba melihat ini sebagai logika sejarah penyebaran dan peradaban manusia di bumi sejak bumi tercipta hingga saat ini kita berpijak.

     Seorang peneliti Arkeologi dan Antropologi asal Belanda, Koenraad elst, mengatakan bila bumi yang kita tinggali saat ini adalah hasil keseimbangan perubahan iklim global sebelumnya maka bukanlah sebuah kiasan “kaca Freudian yang buram” saja dan seperti illustrasi Plato bahwa pernah ada sebuah bangsa yang tenggelam bersama permukaannya karena naiknya permukaan laut di bumi dan bersamaan dengan letusan gunung berapi secara berturut-turut dan dalam waktu yang berdekatan, bersamaan menghancurkan dan menenggelamkan benua tersebut . Hal ini dapat kita pahami sebagai konsekuensi logis, bila bumi kita sedang mengalami perubahan iklim global, dengan makin tipisnya lapisan ozon dan naiknya suhu udara di kedua kutub bumi maka kita rasakan perubahan iklim ini membawa efek pada lingkungan dimana tempat manusia berada, peradaban manusia sekarang menyebutnya sebagai bencana alam, baik banjir ataupun dampak efek rumah kaca lainnya.

     Tertarik membaca logika sebuah buku yang ditulis oleh Stephen Oppenheimer, yang berjudul Eden in the East yang mengatakan bahwa ada sebuah benua yang tenggelam, yang saat ini disebut Asia Tenggara. Stephen Oppenheimer telah memfokuskan penelitian pada satu pulau Tapobrane dan sebagian landas kontinen lainnya yaitu Sunda: wilayah ini antara Malaysia, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Thailand, Vietnam, China dan Taiwan, yang sebagian besar wilayah tersebut sudah ditempati selama Zaman Es Purba sebelum mencair. Dimungkinkan bahwa disini pusat peradaban paling maju telah ada, ia menyebutnya Eden, nama ini diambil dari alkitab "surga” (dari bangsa Edin Sumeria, dalam naskah tersebut disebut juga "Dataran Aluvial"), sumber Barat-Asia termasuk Alkitab ini melakukan prosesi dengan mencari asal-usul manusia atau setidaknya mencari apa yang namanya peradaban dari Timur. Dalam beberapa kasus, seperti dalam referensi Sumeria "Timur" ini, Koenraad mengatakan: jelas merupakan budaya pra-Harappa dan Harappa, tetapi bahkan lebih banyak negara-negara timur yang saat ini ada tampaknya pun masih merupakan bagian peradaban itu, benua itu, bagi Oppenheimer dan Koenraad menyebutkan sebagai “Bagian benua Asia Tenggara” atau dikatakan sebagai Sundaland.

     Oppenheimer sendiri dalam penelitiannya menggunakan metode ilmiah yaitu dengan metode genetika, Antropologi, Linguistik dan Arkeologi dan ini sangat berbeda dengan Plato yang menggunakan metode tuturan guna melacak jejak peradaban itu, sedangkan Koenraad melakukan penelitian melalui studi kebudayaan masyarakat India kuno. Sebagai ahli Sastra, Antropologi dan Sosiologi ia menemukan adanya “keterkaitan kebudayaan India kuno yang hilang serta ekspansi bangsa Arya di India”, Koenraad bahkan berhasil menunjukkan melalui pendekatan keilmuannya (salah satunya pendekatan sastra India Kuno , melalui karya-karya sastra kuno seperti karya Walmiki) bahwa Ayodia dimungkinkan sebagai peninggalan kebudayaan India pra-modern sebagai hasil agitasi kedua dari bangsa Ayodia setelah masa kedua zaman es mencair. Sejalan dengan Oppenheimer, dengan latar belakangnya sebagai dokter medis yang telah lama tinggal di Asia Tenggara selama beberapa dekade, berhasil menemukan metode secara keilmuan yang dimilikinya dengan metode penelitian DNA manusia-manusia yang berada di wilayah Afrika, Asia Tenggara-Australia hingga Kepulauan Pasifik.

     Dengan alasan dan bukti yang ditawarkan Oppenheimer dan Koenraad di atas, ditemukan peninggalan berupa besaran-besaran pemikiran yang diwarisi oleh penduduk sekarang, tentang “ kecenderungan yang sama, seperti perbandingan mitologi: banyak budaya yang mirip, khususnya mereka yang berada di zona Asia-Pasifik, mereka memiliki mitos yang sangat paralel dari satu atau lebih tentang banjir besar”, ungkap Oppenheimer. Seperti kata Koenraad , ini bukan kiasan “Freudian” semata terhadap peristiwa alam bawah sadar para ahli warisnya, namun jelas referensi historis ketika bencana itu terjadi - dengan ditarik keluar dari konteks tahayul, Oppenheimer menyatakan bahwa permukaan laut memang naik secara ekstrim setelah zaman es mencair, perlu 3 proses banjir besar untuk menggelamkan 2/3 permukaan bumi seperti keadaan sekarang. Karena setiap fase kenaikan ini bukan proses yang berkesinambungan namun bertahap dan melanda di beda tempat; seperti patahnya gunung es di Eropa Tengah dan Asia Utara disebabkan suhu yang menghangat maka terjadilah banjir besar yang melanda Asia dan sebagian Eropa, kesemuanya ini terjadi dengan tiba-tiba; untuk tiap fase banjir, baik yang pertama hingga banjir ketiga, bahkan ketinggiannya pun hingga mencapai 130 -150 meter, cukup memusnahkan hampir semua kawasan yang ditempati seluruh penduduk suku - suku bangsa yang tinggal di dekat pantai dan perairan, kenaikan air laut ini kira-kira terjadi hingga tahun 55000 SM, setelah itu permukaan laut mundur beberapa meter menjadi surut secara perlahan hingga ratusan dan ribuan tahun ke posisi serta kondisi yang sekarang di tempati sebagai wilayah Asia Tenggara dan Asia Tengah. Bagi penduduk yang kini ada di wilayah Asia Tenggara, perubahan klimatologi ini diantaranya pun terjadi saat Gunung Toba meletus kira-kira sekitar pertengahan 74.000 SM (bukti-bukti Vulkanik di P.Samosir, DNA di wilayah kota Tampan - Perak dan sebagian Serawak-Malaysa) lalu Krakatoa purba meletus (kitab pustaka radya Pararaton-jauh sebelum letusan tahun 1883), di lain tempat dan di rentang waktu lebih awal - Gunung Sunda Purba pun meletus membagi pegunungan pulau Jawa bagian barat menjadi 2 lempeng pegunungan; yaitu pegunungan yang ada di Utara kota Bandung dan deret pegunungan yang ada di Selatan kota Bandung (Stratigrafi gunung api daerah Bandung Selatan, Jawa Barat; Sutikno Bronto, Achnan Koswara, dan Kaspar Lumbanbatu; Jurnal 1 volume 2 - Pusat Survei Geologi, 2006), ini dibuktikan dengan ditemukan melalui penelitian Geologi yang menunjukkan bahwa endapan danau tertua usianya dari hasil radiometri karbon adalah kira-kira setua 125 ribu tahun, sedangkan kedua erupsi Plinian yang terjadi itu telah ditentukan umurnya kira-kira mencapai 105 dan 55-50 ribu tahun yang lalu. Asal-usul danau Bandung ternyata bukan disebabkan oleh letusan Plinian belaka walaupun aliran debu yang pertama dapat saja memantapkan danau purba itu secara pasti. Danau purba ini berakhir kira-kira pada 16 ribu tahun yang lalu(Prof.Dr.R.P Koeseoemadinata ). Di lain tempat, dari rangkaian gunung di bukit barisan - Sumatera yang ikut mengambil bagian letusan dari rangkaian gunung berapi Mediterania (ring of fire in the East).

     Dalam teori yang dikemukakan kedua peneliti di atas (Oppenheimer- Koenraad), bahwa Asia Tenggara yang kita ketahui dulunya merupakan bagian paparan daratan yang luas, kini disebut sebagai bagian paparan Sundaland, maka Asia Tenggara mempunyai kriteria yang ideal untuk dikatakan sebagai sisa paparan benua yang tenggelam yang disebabkan naiknya permukaan air laut. Bila merunut tuturan Plato , ada kemungkinan bahwa paparan yang tenggelam ini adalah reruntuhan benua Atlantis, ungkap Prof. Arysios Santos. Oppenheimer sendiri mengillustrasikan dalam bukunya bahwa bumi ini mengalami banjir yang besar sebanyak tiga kali, yang pertama: yaitu jaman pra Jurassic, kedua: masa es mencair yang melanda benua Amerika Utara – yang kini membentuk danau-danau besar di kawasan perbatasan antara Kanada dan Amerika, serta fase ketiga yaitu masa mencairnya es di kawasan Asia dan Eropa Tengah - dalam konsep Agama sebagai  “Banjir Nuh”. Bagi Koenraad dan Oppenheimer, bangsa yang menempati wilayah Paparan Sunda pasca banjir kedua ini memimpin dunia dalam Revolusi Neolitikum ( mulai dari pertanian), dengan menggunakan  batu untuk  menggiling biji-bijian liar pada 24.000 tahun lalu, lebih tua 10.000 tahun dari kebudayaan Pyramid Kuno di Mesir atau Summeria di Palestina.
Kode Genetika dan Artifisial
     Dari penelitian kode genetika yang dilakukan oleh Richard Cordeux dan Mark Stoneking dalam jurnal American Human Genetika tahun 2003 yang berjudul “South Asia, the Andamanese, and the genetic evidence for an “early” human dispersal out of Africa” membuktikan bahwa penduduk yang tinggal di kepulauan Andaman adalah penduduk yang penyebarannya melalui rute jalur Selatan baik sebelum banjir itu tejadi dan atau selama banjir, dimana para penduduk itu yang berusaha berhasil selamat ini bertahap pindah dari dataran  rendah ke dataran yang lebih tinggi, yang aman dan stabil, Sundalanders (sebutan bagi para penduduk yang tinggal di kawasan Paparan Sunda) menyebar ke negeri-negeri tetangga: daratan Asia termasuk China, India dan Mesopotamia, dan kemudian menyebar ke seluruh dunia, tidak juga pulau dari Madagaskar ke Filipina dan Papua New Guinea, dari sini mereka kemudian memasuki dan menjajah Polinesia sejauh mungkin hingga Pulau Paskah, Hawaii dan Selandia Baru. Bagi penulis, pemikiran Oppenheimer dan Koenraad ini sejalan dengan para Arkeolog pra-sejarah tentang tanah air dari rumpun bahasa Austronesia (Melayu, Tagalog, Maori, Malagasy, dll) ini: asal usul bangsa Austronesia berada di Paparan Sunda dan berada di daerah-daerah yang wilayahnya kini mencapai pantai dari bagian Tenggara dari negara-negara Asia. Namun fakta lain dari kebanyakan ahli bahasa berpendapat bahwa Cina bagian selatan adalah tanah asal-usul bangsa yang kini tinggal di kawasan Asia Tenggara (Van dyke,1939). Pemikiran ini bagi Oppenheimer adalah bagian dari argumen kronologi yang memprihatinkan bagi teori penyebaran manusia: kronologi pemikiran Oppenheimer mengusulkan bahwa haruslah lebih sempurna dari sekedar logika Peter Bellwood (P. Bellwood - ANTIQUITY-OXFORD-,1996-antiquity.cc... of correlation between large-scale linguistic and genetic entities)

     Koenraad Elst mengatakan “Pengalaman saya dengan studi IE (Indo-Eropa) ini membuat saya mencari bantuan untuk mengetahui bagaimana kronologi sejarah IE dari setiap instrumen data yang lebih tua dan akurat , untuk setiap temuan baru (misalnya bahwa "pra-IE" orang seperti Pelasgians dan Etruscans, tidak berbicara tentang Harappans, ternyata telah lebih awal tinggal daripada para pemukim bangsa "Aryan") yang konsisten telah mendorong tanggal fragmentasi itu terjadi ke masa lalu. Alasan lain untuk tidak bergantung pada teori yang terlalu banyak dari para ahli bahasa; bahwa linguistik Austronesia adalah bidang yang harus diteliti lebih jauh, terdiri dari studi ratusan bahasa kecil yang kebanyakan bahasanya bukanlah bahasa sastra, sedangkan jumlah ahli bahasa asli jauh lebih kecil daripada di kasus yang ditemukan, karena sebagian memang sudah musnah dilanda Tragedi Banjir Besar bahkan dalam kasus linguis terakhir membuktikan pada sebuah tempat, pendekatan ini membuat konsensus tentang masalah asal-usul tanah air dan leluhur bangsa Austronesia. Bukti-bukti linguistik sangat sedikit, dan biasanya data tersebut diakui lebih dari satu dari bentuk rekonstruksi sejarah saja, jadi saya pikir tidak ada bukti kuat terhadap hipotesis tanah air Sundaland hanya dengan satu metode linguistik saja. Sebaliknya, bukti Arkeologi dan Genetika yang banyak mendukung tentang penyebaran populasi berbahasa Austronesia dari Sundaland akan cukup bisa membuktikan dokumen Oppenheimer dan bukti-bukti adanya peradaban AIT ( Aryan Invasion Theory) di India sebagai bagian dari penyebaran manusia di dunia. Seperti dikatakannya bahwa bangsa Arya adalah bangsa yang berhasil menjajah India secara peradaban yaitu pasca banjir besar melanda dunia pada umumnya khususnya di India, kemudian kronolgis dari rangkaian letusan gunung berapi yang berupa endapan sedimen telah mengubur bukti peradaban tersebut seperti India kuno, bisa dimungkinkan ekspansi ini telah dilalui melalui beberapa proses migrasi – infiltrasi – dan kooptasi lainya bersama arus pengembaraan kedua pasca abu vulkanik dari Erupsi yang melanda India selama 5 tahun, kemudian diulangi untuk penjelajahan ke tanah baru dan penelusuran kembali jejak tanah leluhur.
     Tentang Daratan Cina sebagai 'tanah asal' bangsa Austronesia, bila disusun berdasarkan Kronologi pemikiran linguistik, Cina sebagai asal-usul Austronesia itu hanya dari aspek-aspek tertentu saja dan dokumen sejarah serta bukti-bukti arkeologinya membuktikan lebih muda usianya dari sejarah penemuan peradaban lainnya di Asia, dan ini tidak membuktikan sebagai alasan linguistik sebagai dasar migrasi tersebut, perlu kelengkapan data yang utuh. Bagi Oppenheimer dan Koenraad , pendapat Peter Bellwood merupakan pembahasan yang cukup kontroversional dan gegabah.

     Namun bagi keduanya, ini semua bisa terjadi ketika iklim mulai merubah permukaan Es di utara yang mulai mencair, sebagai contoh: seiiring perubahan klimatologi bumi, seperti Gunung Toba meletus sekitar pertengahan antara 80.000 – 70.000 SM, suhu bumi pun meningkat, dari dokumen Oppenheimer tentang Kode Genetik Mitokondria dalam “Journey of Mindkind-The real Eve” yang membahas penyebaran manusia di belahan bumi, menguatkan bahwa teori letusan ini disebut juga sebagai letusan gunung maha dahsyat (Super Eruptions) setara 200 kali lipat ledakan Atom Hiroshima hingga menciptakan musim panas yang berkabut selama 6 tahun dan merubah perwajahan 1/3 daratan Asia hingga India, Pakistan dan daerah sekitarnya sendiri terkubur debu letusan itu setinggi 5 meter dan sebagian daratan terkubur karena abu serta gelombang pasang. Hal lain yang terjadi yaitu menyebabkan penduduk yang sanggup bertahan akibat letusan ini hanya 10.000 orang dari total seluruhnya yang mencapai 5 kali lipatnya. Sebagian merupakan penduduk yang berada jauh dari India dan sebagian lagi berada di daerah tenggara Asia yaitu yang sekarang disebut wilayah kepulauan Nusantara. Koenraad mengatakan pada peristiwa di atas menyebabkan sebagian penduduk tiap wilayah bencana melakukan migrasi besar-besaran dengan menggunakan perahu ke wilayah lain, yang lebih aman dan stabil, kemudian setelah 6 tahun pasca letusan ini datanglah gelombang kedua para penduduk dari wilayah timur ( Afrika-Jazirah Arab) dan wilayah barat (Semanjung Malaysia dan sebagian Nusantara) memasuki wilayah India yang baru, yang selanjutnya Koenraad menyebut manusia India modern.

Mungkinkah Bencana di Indonesia seperti kejadian-kejadian Atlantis dahulu?
     Berdasarkan bukti yang ditawarkan Oppenheimer-Koenraad, dan dikuatkan oleh Arysios Santos, dan dengan tuturan cerita Plato sangatlah mungkin bahwa Atlantis yang hilang kini telah berubah menjadi lautan – dan sebagian peninggalannya ada di Asia selatan dan Asia Tenggara, ataukah Nusantara ini yang dikatakan Plato sebagai Atlantis seperti logika Santos, persis dengan peninggalan Republik yang berada dalam Zona Erupsi dari sabuk Pegunungan Berapi?

     Bila kita melihat dari proses penyebaran penduduk ketika migrasi itu berlangsung (Oppenheimer), mereka lakukan perjalanan melalui rute Selatan sekitar daratan pantai dan dari kaki pegunungan bergerak hingga mencapai dan terus memasuki wilayah Asia Tenggara . Di Nusantara pun banyak ditemukan bukti yang menguatkan teori di atas, dari mulai pembuktian teori DNA hingga pemetaan Geologi, membuktikan bahwa masuknya penyebaran manusia di Nusantara ini mengikuti garis paparan daratan, yaitu paparan Sunda, mereka melakukan perjalanan lalu masuk melalui semenanjung Thailand - Malaysa masuk ke Aceh Utara (masih berupa daratan kering) kemudian masuk ke Sumatera (Summa-Terra) dan Selat Sunda sebagai pintu gerbang pun saat itu belum terbentuk masih ada gunung berapi Krakatau, maka  ini ke P. Jawa – Bali (Madura dan Bali masih bersatu sebagai kawasan yang kering bagian dari ujung Sundaland), kemudian menyeberang ke Kalimantan lalu ke Utara memasuki kawasan Philipina dan Cina Selatan lalu bergerak ke Utara dan ke Timur ke Sulawesi. Ini semua terjadi kala Zaman Es belum mencair pada fase ketiga bahkan Sumatera dan Malaysia pun masih bersatu sebagai daratan yang subur menjadi bagian dari paparan Sunda yang masih kering. Namun hal lain yang perlu diketahui bahwa di wilayah-wilayah ini merupakan kawasan yang subur (tanah aluvial) yang dipagari oleh deretan pegunungan berapi, Prof.Santos pun berfikir bahwa Indonesia menjadi contoh yang Ideal dari cerita Plato.

     Di sisi lain, dengan ditemukannya garis Wallace dan Webber membuktikan bahwa banyak ciri-ciri yang mengkuatkan teori di atas. Berdasarkan kronologis Koenraad dan Oppenheimer dengan bukti-bukti yang diketemukan bahwa Nusantara telah lebih awal mengalami kemajuan sebagai bagian bangsa yang pertama memimpin revolusi kebudayaan dari masa Neolitikum, menyepakati bahwa banyak bukti yang tertinggal itu hilang akibat bencana Vulkanik dan Tektonik. Jejak-jejak itu kini hanya terdiri dari kepingan-kepingan yang masih menyimpan misteri, bagai puzzle-puzzle yang masih harus disusun ulang sebagai rekontruksi kebudayaan neolitikum, para peneliti ini memulai dengan penemuan jejak vulkanologi di P.Samosir kemudian jejak peninggalan kerajaan Kandish lalu Kota Tampa dan seterusnya. Namun yang semestinya itu bisa ditemukan artefak maka banyak hilang ditelan bumi karena bencana alam baik yang berupa vulkanik maupun tektonik karena wilayah ini ada dalam lintasan pegunungan dan pergerakan lempeng tektonik dunia

     Seperti logika Koenraad dalam review buku Eden in the East bahwa bangsa yang tinggal di wilayah Paparan Sunda ini dahulunya adalah bangsa yang memimpin revolusi kebudayaan Neolitikum, sejak masa zaman es mulai mencair dan peristiwa rentetan gunung berapi yang meletus kini wilayah paparan ini telah berubah menjadi wilayah yang terbagi menjadi kepulauan di daerah Selatan dan Tenggara dan daratan di Timur Laut yang berupa wilayah yang luas membentang hingga ke Cina dan Utara Mongolia (Asia Tengah), dan sebelah barat Sumatera kini menjadi semenjung yang kini disebut India, Srilangka dan Bangladesh. Lalu di Utara yaitu Pakistan. Wilayah-wilayah inilah yang dipetakan oleh Oppenheimer sebagai wilayah reruntuhan benua yang hilang, yang disebutnya sebagai bagian Eden in the East. Logika Santos mengatakan, letak Atlantis berada dalam lintasan gunung berapi dan tanahnya adalah tanah aluvial yang subur, Indonesia menjadi pilihan idealnya, ini wilayah-wilayah pemetaan dari peninggalan Benua Atlantis yang hilang, seperti kata Plato dan perlu dibuktikan kebenarannya.

     Kini Indonesia tengah mengalami siklus berikutnya dari jam Pemetaan Geologi Dunia, sejak longsornya patahan bumi yang berada di Ujung Aceh, diiringi kemudian ke arah Tenggara dan Selatan hingga berupa gempa-gempa tektonik yang terjadi di sepanjang wilayah Sumatera dan Jawa yang mencapai di kepulauan Nusa Tenggara dan Sulawesi. Serta rentetan gunung berapi di Indonesia yang sudah aktif dan kini sebagian telah mengalami erupsi. Semua ini bagi penulis  merupakan Tarikh Geologi Bumi, kenyataannya Indonesia berada di dalamnya dan mau tidak mau telah memasuki Indonesia masuk di siklus Geologi dunia. Dengan kenyataan peta geografi ini, semestinya kita sebagai bangsa yang tinggal di “wilayah rawan” ini mempersiapkan segala bentuk kemungkinan tentang keberadaan pentingnya sistem kewaspadaan nasional (National Early Warning System) terhadap bencana yang akan terjadi, serta memberikan penyadaran dan membangun kesiapan penduduk di tiap wilayahnya guna menghadapi pemetaan ini.

     Dengan kejadian bencana Tektonik dan Vulkanik di Indonesia yang terjadi pada akhir-akhir ini, kini wilayah bumi Nusantara telah memasuki Era Siklus Geologi. Tanpa harus mengurangi rasa hormat dan bukan semata-mata pembahasan masalah yang sifatnya mitologi tradisonal, ideologi, tentang keberadaan Atlantis di Indonesia bahkan cerita-cerita legenda lainnya kini bangsa Indonesia dituntut untuk menjelma sebagai bangsa yang dinamis dan menghendaki kemajuan dalam tehnologi dalam mempersiapkannya kelak bagi anak cucu bangsa di masa depan, karena kelak mereka ini harus lebih siap dan waspada terhadap apa yang disadarinya sebagai mahluk yang hidup berdampingan dengan alam sekitarnya. Ini bukan sebagai bencana karena kemarahan Yang Maha Kuasa, namun perlu disadari bahwa alam tetap akan memegang janji “Prinsip Keseimbangan Alam”, walau saat ini keseimbangannya dipahami sebagai bencana, bahkan mungkin sebelumnya dianggap sebagai mitos karena informasi yang terbatas, kini berhadapan dengan ketidakperdulian kita pada lingkungan dan menjelma sebagai bencana perilaku, pun bencana kini tidak seutuhnya karena “Siklus”, namun campur tangan manusia pun ikut berperan mempercepat peristiwa itu terjadi (Global  Causes) seperti Global Warming, banjir, longsor, dll; dan “Judgement Day” tidak bisa dikatakan lagi kemarahan Tuhan tapi memang hasil perilaku bumi serta seisinya termasuk manusia sebagai subjek pelaku yang dominan dan bumi sebagai objek yang hendak mencapai keseimbangan berikutnya ataupun ini akan musnah seperti yang dikatakan sebagai kiamat.
 
     Saat ini kita sebagai anak bangsa yang selamat dari keseimbangan alam sebelumnya (masa Jurassic, Banjir Besar dan pergerakan lempeng tektonik dunia) sudah semestinya melakukan persiapan untuk menghadapi keseimbangan alam berikutnya, walau dengan berbagai resiko dan tantangan yang akan dihadapi,  bangsa Indonesia ini tengah terus dihadapkan pada kenyataan-kenyataan tentang fenomena gejala alam, baik kategori bencana alam ataupun bukan, ataukah Indonesia sebagai mutiara dari khatulistiwa akan tenggelam dan hilang seperti keberadaan Atlantis dalam cerita Plato? atau bahkan musnah dan tenggelam seperti Eden in the East,ungkap Oppenheimer. Tentulah ini bukan jawaban namun pekerjaan rumah yang harus kita pikirkan dan kerjakan bersama-sama, tidak esok hari,  tapi segera.
 
Picture
Bebas dan atau berbudi luhur, itulah sebaris kata arti dari mahardika, seperti yang tercantum dalam kamus Sansakerta. Persamaan lain muncul pertama kali dalam sebaris prasasti sima di Kediri, kemudian diberi nama Prasasti Harinjing tertanggal 804 Masehi yang menyebutkan mengenai pembebasan sebuah lahan atau tanah atau daerah tertentu dari kewajiban membayar pajak kepada pemerintah atau kerajaan karena daerah yang bersangkutan memiliki jasa. Tanah/daerah yang kemudian dibebaskan tersebut kemudian biasa disebut sebagai daerah perdikan—daerah yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak.        Entah sejak kapan kemudian istilah “merdeka” yang memiliki makna sama dengan dua kata kuno di atas, sejak kapan tepatnya metamorfosa kata tersebut terjadi, belum ada penelitian yang terpublikasi. Satu hal yang pasti, keberadaan kata tersebut dalam perbendaharaan kata di Nusantara menunjukkan bahwa kawasan Nusantara telah sejak lama mengenal konsep tersebut, mengenal arti merdeka dan memahami makna merdeka.        Merdeka dalam konteks sejarah tidak hanya sebuah proses seremonial dalam mengenang dan menghapal sekumpulan nama orang yang kemudian melalui sebuah surat keputusan diangkat menjadi pahlawan, atau mengingat-ingat tanggal sebuah peristiwa. Merdeka dalam konteks sejarah berarti mengapresiasi,  berarti melakukan sebuah proses pemahaman terhadap laku seorang individu, serta pola sebuah peristiwa.        Kita diajarkan untuk mengenal banyak pahlawan bangsa serta peristiwa pembentukan bangsa, tapi kita tidak banyak mengetahui tokoh serta peristiwa pembentuk karakter bangsa.  Siapakah tokoh pembentuk karakter bangsa ini?, peristiwa apa yang membentuk karakter bangsa ini?, situasi seperti apa yang membentuk karakter bangsa ini?        Beberapa hari yang lalu tim Wacana Nusantara dan Nusantara Online berkesempatan berkunjung dan berdiskusi bersama rekan-rekan dari Yayasan Mitra Netra mengenai pengembangan sebuah aplikasi digital bagi para penyandang tuna netra, Yayasan Mitra Netra adalah lembaga yang memberikan konseling bagi para penyandang tuna netra. Adalah hal yang menarik ketika diskusi tersebut kemudian memasuki topik mengenai penyandang tuna netra sejak lahir, para penyandang tuna netra sejak lahir ternyata sangat kesulitan untuk menerima konsep mengenai warna dan sampai dengan saat ini belum ada metode yang secara gamblang mampu menjelaskan konsep mengenai warna tersebut kepada mereka.        Hal seperti di atas pula yang terjadi ketika kita berbicara mengenai karakter bangsa, terutama untuk kami dan rekan-rekan lain yang masih relatif muda. Akses yang terbatas terhadap sumber-sumber sejarah, terbatasnya sumber-sumber pembelajaran sejarah yang kemudian mumbuat kaburnya fakta dan data. “Harapan” yang kemudian menjadi pemicu, harapan yang muncul dari penggalan-penggalan sejarah yang nyaris menjadi dongeng, harapan yang masih tersimpan di dalam puing-puing candi dan menhir, di dalam cabikan-cabikan lontar yang sudah tidak utuh, serta pada prasasti-prasasti yang mulai aus, bahwa pada suatu masa, di waktu yang lalu, pernah muncul banyak kearifan dan keagungan yang dicapai oleh leluhur bangsa ini.          Mari berbagi, berbagi dalam dimensi pembelajaran, untuk bersama mencari titik terang dalam menggali kembali nilai-nilai luhur dan karakter bangsa ini yang tersimpan di balik sepenggal dongeng tentang kejayaan masa lalu negeri ini dan mengalir dalam tetes darah yang mengalir dalam nadi setiap insan bangsa ini.        Mahardika Bangsaku!!

This is your new blog post. Click here and start typing, or drag in elements from the top bar.
 
Mendengar kata “Sunda” pasti di dalam benak kita akan merujuk kepada yang namanya salah satu suku bangsa di Indonesia dan bahasa yang digunakannya tanpa tahu apa arti dan siapa yang memberikan kata tersebut.   1.       Arti dari istilah Sunda a.       Arti “Sunda” dalam Bahasa Sansakerta Menurut Bahasa Sansekerta yang merupakan induk bahasa-bahasa Austronesia, terdapat 6 (enam) arti kata Sunda, yaitu sebagai berikut: ·         Sunda dari  akar kata “Sund” artinya bercahaya, terang benderang; ·         Sunda adalah nama lain dari Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam; ·         Sunda adalah nama Daitya, yaitu satria bertenaga besar dalam cerita Ni Sunda dan Upa Sunda; ·         Sunda adalah satria wanara yang terampil dalam kisah Ramayana; ·         Sunda dari kata cuddha artinya yang bermakna putih bersih; ·         Sunda adalah nama gunung dahulu di sebelah utara kota Bandung sekarang (Prof.Berg, juga R.P Koesoemadinata, 1959).   b.       Arti “Sunda” dalam Bahasa Kawi Dalam Bahasa Kawi terdapat 4 (empat) makna kata “Sunda”, yaitu: ·         Sunda berarti “air”, daerah yang banyak air; ·         Sunda berarti “tumpukan” bermakna subur; ·         Sunda berarti “pangkat” bermakna berkualitas; ·         Sunda berarti ”waspada” bermakna hati-hati.   c.       Dalam Bahasa Jawa: Dalam Bahasa Jawa arti kata “Sunda” adalah sebagai berikut: ·         Sunda berarti “tersusun “ maknanya  tertib; ·         Sunda berarti “bersatu” ( dua menjadi satu) maknanya hidup rukun; ·         Sunda berarti “angka dua” (cangdrasangkala), bermakna seimbang; ·         Sunda, dari kata “unda” atau  “naik”, bermakna kualitas hidupnya selalu naik; ·         Sunda berasal dari kata “unda” yang berarti terbang, melambung, maknanya disini adalah  semakin  berkualitas.   d.      Arti kata “Sunda” dalam Bahasa Sunda Orang Sunda juga memiliki beberapa arti tentang kata “Sunda” itu sendiri, yaitu: ·         Sunda, dari kata “saunda”,  berarti lumbung, bermakna subur makmur; ·         Sunda, dari kata “sonda”,  berarti bagus; ·         Sunda,  dari kata “sonda”,  berarti unggul; ·         Sunda, dari kata “sonda”,  berarti senang; ·         Sunda, dari kata “sonda” berarti bahagia; ·         Sunda, dari kata “sonda”, berarti sesuai dengan keinginan hati; ·         Sunda, dari kata “sundara”,  berarti lelaki yang tampan; ·         Sunda, dari kata “sundari”, berarti wanita yang cantik; ·         Sunda, dari kata “sundara” nama Dewa Kamajaya: penuh rasa cinta kasih; ·         Sunda berarti indah.   2.       Purnawarman dan Istilah Sunda      Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M). Ia membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura, pertama kalinya nama "Sunda" digunakan. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.        Kalau kita pahami dan mencerna lebih mendalam tentang arti-arti kata “Sunda” yangdiberikan oleh Purnawarman di atas nampaknya kita tidak menemukan sebuah arti jelek atau kurang baik. Selama ini banyak orang yang mengatakan apa arti sebuah nama?, namun ada juga orang yang mengatakan bahwa nama merupakan sebuah do’a. terlepas dari semuanya itu, yang pasti manusia secara mendasar tidak menginginkan sesuatu itu jelek atau buruk, mereka selalu mengharapkan kebaikan, keindahan atau kesempurnaan. Maka untuk itu Purnawarman yang memberikan nama istilah “Sunda”, tentunya menghendaki adanya kebaikan terhadap apa yang diberinya nama.   3.       Hubungan nama dan pandangan hidupnya.      Tujuan dan harapan dari kata “Sunda” tetunya mengharapkan kebaikan dalam berbagai aspek di masyarakat. Hanya sebuah nama tentunya tidak akan berarti apabila tidak diiringi dengan pandangan hidup masyarakatnya yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mendukung dari nama yang baik itu tentunya masyarakat harus menciptakan norma-norma kemasyarakatan, agar tujuan dari pemberian nama tersebut dapat berhasil.        Norma-norma tersebut merupakan salah satu aspek dari pandangan hidup yang sudah barang tentu dimiliki oleh setiap kelompok masyarakat bahkan semua bangsa di muka bumi ini. Masalah pandangan hidup suatu bangsa merupakan persoalan yang sangat asasi bagi kekokohan dan kelestarian suatu bangsa. Karena, dalam pandangan hidup ini terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita‑citakan oleh sesuatu bangsa, terkandung pikiran-pikiran terdalam dan gagasan suatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Pandangan hidup suatu bangsa merupakan suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya.        Masyarakat Sunda sebagai kelompok masyarakat budaya yang sudah tua dan mampu bertahan hingga kini kiranya memiliki pandangan hidupnya sendiri dan dapat hidup dalam kemandiriannya di tengah-tengah masyarakat dan budaya lainnya. Pandangan hidup itu mencakup unsur-unsur tentang manusia sebagai pribadi, hubungan manusia dengan lingkungan masyarakatnya, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan Tuhan, dan tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasaan batiniah.        Munculnya pandangan hidup ini tentunya sebuah harapan agar terciptanya sebuah kesinambungan antara nama dengan tingkah laku masyarakatnya. Nama sunda yang sudah baik, tidak akan terlaksana baik apa bila masyarakatnya tidak memiliki pandangan hidup yang baik, padangan hidup ini harus menjadi sebuah norma sehingga masyarakatnya benar-benar mentaatinya dan tujuan akhirnya adalah tercipta kebaikan dalam masyarakatnya seperti apa yang tersirat dalam arti nama sunda.   4.       Bagimana pandangan hidup orang Sunda mengatur hubungan antara manusia dengan sesama manusia, agar tujuan dari arti nama “Sunda” itu dapat tercapai?   1)      Kawas gula jeung peueut “seperti gula dengan nira yang matang” artinya : hidup rukun sayang menyayangi, tidak pernah berselisih.   2)   Ulah kawas seuneu jeung injuk “jangan sepert api dengan ijuk” Artinya: jangan mudah berselisih.agar pandai mengendalikan napsu-napsu negatif yang merusak hubungan dengan orang lain.   3)   Ulah nyieun pucuk ti girang “jangan merusak tunas dari hulu” Artinya: jangan mencari bibit permusuhan   4)      Ulah neundeun piheuleut ulah nunda picela “jangan menyimpan jarak jangan menyimpan cela” Artinya: jangan mengajak orang lain untuk melakukan kejelekan dan permusuhan.   5)      Bisi aya ti geusan mandi kalau-kalau ada dari tempat mandi” Artinya: segala sesuatu harus dipertimbangkan agar pihak lain tidak tersinggung. 6)      Henteu asa jeung jiga “tidak merasa sangsi dan ragu” Artinya: sudah merasa seperti saudara, bersahabat   7)      Yén ana perkara ajang dhéng buka (Jawa-Cirebon) “jika ada perkara jangan dibuka” Artinya: jika kita mengetahui sesuatu kejelekan orang lain, hal itu Janganlah disebarluaskan.            Kita melakukan suatu kebajikan ataupun kebaikan terhadap orang lain atau seseorang harus merupakan kesadaran dari diri kita sendiri, jangan sekedar terbawa­bawa saja, seperti tampak dalam contoh berikut ini: 8)             Ulah rubuh-rubuh gedang “jangan rebah seperti papaya” Artinya: janganlah mengerjakan pekerjaan tanpa mengetahui apa maksud dan tujuannya, hanya karena orang lain melakukannya.       Penampilan tingkah laku orang Sunda dalam pergaulan hendaknya saling mencintai, saling menghargai, sopan-santun, saling setia dan jujur disertai kerelaan, sesuai ‘folkways’ yang mencakup aturan hidup/kehidupan sosial, sopan-santun, dan kesusilaan. Sebagaimana tampak dalam ungkapan berikut ini: 9)      Ngadeudeul ku congo rambut “memberi bantuan dengan ujung rambut” Artinya: memberi sumbangan atau bantuan kecil, tetapi disertai kerelaan atau dengan ikhlas hati.   10)     Pondok jodo panjang baraya “pendek jodoh panjang persaudaraan” Artinya: meskipun sebagai suami istri sudah berpisah, hendaknya persaudaraan tetap dilanjutkan/dipertahankan. (ditambah ungkapan nomor 2)        Masyarakat Sunda sering menghindari hal-hal perselisihan, menghindari menghasut dan melibatkan orang lain ke dalam perselisihan, sebagaimana tampak dalam ungkapan Nomor 2,3, dan Selain itu, ada juga ungkapan sebagaimana berikut ini.   11) Ulah marebutkeun balung tanpa eusi “jangan memperebutkan tulang tanpa isi” Artinya: jangan memperebutkan perkara yang tidak ada gunanya’     12)Ulah ngadu-ngadu raja wisuna “jangan membangkitkan amarah” Artinya: jangan membangkitkan bibit kemarahan antara dua orang agar pecah persahabatannya/berpisah bersahabat.        Hidup rukun dan damai akan tercapai apabila dalam kehidupan bermasyarakat kita saling sayang-menyayangi, saling hormat-menghormati, dan tidak memancing keresahan dan kemarahan orang lain, seperti tampak pada ungkapan nomor 3 dan 7 di samping ungkapan berikut ini:   13) Ulah ngaliarkeun taleus ateul “jangan menyebarkan talas gatal” Artinya: jangan menyebarkan perkara yang dapat menimbulkan keburukan/keresahan.         Selain itu, di dalam proses interaksi sosial antara individu yang satu dengan individu lainnya, dalam masyarakat Sunda tidak boleh menyinggung perasaan orang lain yang akan mengakibatkan perpecahan di antara anggota masyarakat itu sendiri. Seperti terungkap dalam data nomor 5 dan ungkapan berikut ini: 14) Ulah nyolok mata buncelik “jangan mencolok mata yang melotot” Artinya: jangan berbuat sesuatu di hadapan orang lain, dengan maksud mempermalukan orang lain.   15) Ulah biwir nyiru rombengeun “bibir jangan seperti niru yang rusak dan sobek-sobek” Artinya: janganlah membicarakan sesuatu yang tidak pantas terdengar oleh orang lain, senantiasa mengendalikan diri dalam bertutur kata.         Sesuai dengan sosial solidaritas, bahwa dalam berkehidupan bermasyarakat kita tidak boleh mementingkan diri sendiri tetapi harus mendahulukan kepentingan masyarakat dan keputusan pribadi yang tidak menguntungkan, sesuai dengan sikap yang dikehendaki oleh masyarakat Sunda yang tidak boleh mementingkan diri sendiri, sebagaimana tampak dalam ungkapan berikut ini: 16) Buruk-buruk papan jati “betapa pun lapuknya kayu jati itu kuat” Artinya: betapapun besar kesalahan saudara atau sahabat, mereka tetap saudara kita, orang tua tentu dapat mengampuninya.   17) Kaciwit daging kabawa tulang “tercubit kulit dagingpun terbawa” Artinya: ikut tercemar karena perbuatan salah seorang sanak keluarga   18)Ulah mapay ka puhu leungeun “jangan menyusur ke pangkal lengan” Artinya: janganlah kesalahan anak membawa buruk kepada orang tuanya.        Manusia di muka bumi ini sesuai dengan ajaran agama diwajibkan saling hormat-menghormati, dan saling harga menghargai dengan sesama manusia, sesuai pula dengan sila Pancasila. Dalam masyarakat Sunda pun hal itu tercermin pada ungkapan berikut ini: 19)      Wong asih ora kurang pangalé, wong sengit ora kurang panyacad “orang pengasih tidak kurang pujian, orang yang jelek (pemarah) tidak kekurangan celaan” Artinya: orang yang pengasih kepada yang lain akan disenangi, dan orang yang bengis akan dibenci.   20) Ana deleng dén deleng, anu rungu dén rungu “ada penglihatan dilihat, ada pendengaran didengar” Artinya: jika ada sesuatu lihatlah atau dengarlah dengan patuh, tetapi janganlah dilihat atau didengar dengan tujuan jelek.        Data ungkapan yang telah disajikan, yang merupakan pencerminan dari adanya hubungan antara manusia dengan sesama manusia dalam masyarakatnya sesuai dengan pandangan hidup orang Sunda, juga dengan folkwas, solidarity social, juga tentang fungsi keluarga dan tatasosial dalam masyarakat Sunda.   5.       Bagimana pandangan hidup orang Sunda mengatur hubungan anatara manusia dengan Negara dan bangsa?        Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, menurut pandangan hidup orang Sunda, hendaknya didasari oleh sikap yang menjungjung tinggi hukum, membela negara, dan menyuarakan hati nurani rakyat. Pada dasarnya tujuan hukum yang berupa hasrat untuk mengembalikan rasa keadilan, yang bersifat menjaga   1.      Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balaréa. “‘harus mengarah kepada hukum, mengarah ke kaki negara, bermupakat kepada orang banyak” Artinya: harus menjungjung tinggi hukum, berpijak kepada ketentuan negara, dan bermupakat kepada kehendak rakyat.        Masyarakat Sunda memetingkan kerja sama dalam kekeluargaan demi kelangsungan dan kesejahteraan hidup masyarakatnya, sebagaimana tampak dalam ungkapan nomor 8 dan ungkapan berikut ini: 2.    Bengkung ngariung bongkok ngaronyok “melingkar/lengkung dalam berkumpul bungkuk dalam berhimpun” Artinya: bersama-sama dalam suka dan duka.        Dalam hidup bermasyarakat, di dalam masyarakat Sunda kita dituntut agar dapat mengerjakan sesuatu itu lebih mementingkan masyarakat, bangsa, dan negara, sebagaimana tercermin dalam ungkapan berikut ini: 3.      Kudu inget ka bali geusan ngajadi “harus ingat kepada tempat kejadian” Artinya: harus selalu ingat ke tempat dilahirkan/kelahira   4.     Lain palid ku cikiih, lain datang ku cileuncang   “bukan hanyut karena air kencing, bukan datang karena air hujan”  Artinya: bukan hadir tanpa tujuan   5.     Dén hormat maring pusaka, leluhur, wong atua karo, guru, lan ratu. “harus hormat terhadap pusaka, leluhur, kedua orang tua, guru, dan raja” Artinya: pusaka leluhur, kedua orang tua, guru, dan raja harus dihormati.        Masalah yang tidak kurang pentingnya dalam kehidupan masyarakat Sunda ialah bahwa kita harus menjungjung tinggi keadilan dan kebenaran. Seperti tercermin dalam ungkapan berikut ini: 6.     Nyuhunkeun bobot pangayon timbang taraju “memohon pertimbangan” Artinya: memohon pertimbangan dan kebijaksanaan yang seadil-adilnya, memohon ampun.   7.      Yén ana angin bolang-baling, aja gandulan wit ing kiara, tapi gandulana suket sadagori. “ jika ada angin ribut, jangan berpegang pada kiara, tetapi peganglah tumbuhan sadagori” Artinya: jika terjadi huru-hara, janganlah berpegang pada yang besar atau berkuasa, tetapi berpeganglah kepada sesuatu yang sering dianggap kecil, yakni kebenaran.   8.    Sakunang ananing geni, sadom ananing baraya “walaupun sebesar kunang-kunang adalah api, walaupun seujung jarum adalah senjata” Artinya: sekecil apapun milik negara itu harus tetap dipertanggungjawabkan.        Dari hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, kita dituntut agar taat dan patuh terhadap norma-norma dan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh agama atau pemerintah. Mengenai norma dan aturan dalam masyarakat Sunda dapat dilihat dalam ungkapan nomor 27 dan ungkapan berikut ini.   9.      Aja nolak kandika pandita ratu “jangan menolak perintah pendeta/raja” Artinya: turutilah segala perintah/keputusan atau aturan ulama dan pemerintah.         Ungkapan pandangan hidup yang ada di atas jelas melambangan sebuah harapan agar masyarakat Sunda menjadi manusia yang baik secara individu maupun secara kelompok. Paribahasa atau ungkapan yang diuraikan diatas merupakan sebuah bentuk terjemahan dari arti “Sunda”. Namun yang jadi masalah sekarang adalah apakah arti nama dan pandangan hidup itu sudah dilaksanakan oleh masyarakat Sunda? Pertanyan Besar ini tidak perlu di jawab disini, semua orang bisa menilai diri pribadi masing-masing. Kalaupun arti nama dan pribahasa itu belum di jalankan bukan salah orang-orang pendahulu memberikan nama, tetapi lebih kepada individu masing-masing.   
 
Picture
Upacara Ngertakeun Bumi Lamba merupakan sebuah upacara sakral "Sunda-Nusantara-Bhuwana". Tahun 2010 ini, upacara diselenggarakan di Gunung Tangkuban Parahu, Lembang, Jawa Barat pada 26 Juli. Dalam upacara ini diundang dan hadir saudara-saudari pemangku adat dan spiritualis dari daerah adat Sunda dan daerah lain khususnya dari Nusantara, di antaranya Semarang, Dayak Segandhu dari Indramayu, Bali, Aceh, dan Bugis.   Upacara Ngertakeun Bumi Lamba 2010           Menurut Gin-gin Akil, sebagai Kanta Purwadinata (Koordinator Acara), upacara ini dilakukan sebagai sebuah persembahan cinta kasih, untuk berterima-kasih dan mendoakan seluruh isi dunia dengan ritual yang prinsipnya adalah membagi keindahan rasa yang dimulai dari ketulusan hati dan rasa kebersamaan, yang jelas sesuai dengan nama upacara ini, yaitu ngertakeun (dari kata dasar kerta; berarti “menyejahterakan”) bumi lamba (alam jagat atau dunia sebagai alam kosmos). Tujuan-tujuan mulia itu diwujudkan dalam bentuk persembahan berupa sasajen, pembacaan mantra, nyanyian suci, musik tradisional, tarian jiwa, meditasi, dengan tatacara masing-masing yang digelar bersama-sama secara harmonis.   Sasajen yang dibawa        Sebelum melaksanakan upacara Ngertakeun Bumi Lamba, ada beberapa rangkaian kegiatan sebelumnya yang masih berkaitan dengan kegiatan utama, yaitu Tumpekan (berkumpul) danNgabungbang/Nawang Bulan (menerawang/melihat bulan).        Tumpekan dilaksanakan dua hari sebelum upacara Ngertakeun Bumi LambaTumpekan dalam acara tersebut dilakukan sebagai upacara rutin warga Bandung yaitu pepeling poe larangan  Bandung yang artinya “nasehat hari larangan Bandung”. Ngarajah yaitu pembacaan mantra yang berisikan puji-pujian terhadap Yang Maha Kuasa dan para leluhur, dan diakhiri dengan pematangan teknis upacara Ngertakeun Bumi Lamba".   Sasajen        Selanjutnya Ngabungbang/Nawang Bulan dilakukan satu hari sebelum acara utama. Pelaksanaannya pada malam hari menjelang bulan purnama penuh. Acara ini dibuka dengan rajah pamuka  yang diiringi oleh alat musik kuno (buhun) dari bambubernama karinding ala Sunda (karena di berbagai tempat juga alat musik ini dikenal dengan berbagai nama dan varian), celempung (alat musik ritmis dari bambu besar), dan jentreng (sejenis kecapi). Selanjutnya  dilakukan pembacaan kidungyang berisikan nasihat-nasihat leluhur Sunda, penyampaian nasihat-nasihat dari para pupuhu (sesepuh) Bandung yang berisikan tentang hubungan manusia, alam dan Sang Pencipta sesuai dengan ajaran Kesundaan, semacam sawala "neuleuman rasa kasundaan" (mendalami rasa kesundaan). Upacara dilanjutkan dengan penyucian diri dan benda pusaka dengan media air; lalu setelah bulan purnama penuh terlihat dilanjutkan dengan Tarawangsa dan tari-tarian. Pada sesi akhir acara ini, para peserta yang hadir ikut menari diiringi oleh musik Tarawangsa dan mandi cahaya bulan purnama. Sebagai penutup dibacakan rajah penutup.     Menari di bawah sinar bulan purnama        Dua kegiatan kemudian mengantarkan pada upacara Ngertakeun Bumi Lamba yang dilakukan keesokan harinya ketika matahari terbit dan terang di awal pagi di puncak Gunung Tangkuban Perahu di sisi Kawah Ratu & Kawah Upas. Persiapan upacara Ngertakeun Bumi Lamba dilakukan sejak pagi hari. Masyarakat Bandung dan sekitarnya serta masyarakat luar Bandung yang ikut serta dalam acara tersebut, terlihat mengenakan pakaian adatnya masing-masing dan membawa berbagai perlengkapan upacara, seperti: sesajen, hasil bumi, alat musik tradisonal, benda pusaka, dan perlengkapan upacara lainnya. Kemudian, perlengkapan upacara tersebut disusun rapi di tengah-tengah para peserta yang hadir.   Wanita dan pria menari     Penyucian pusaka        Semua rangkaian prosesi di atas dilaksanakan dengan harapan mulia, yaitu agar manusia mampu menghadirkan rasa terbaik, tulus dan kasih sayang yang paling mulia di dalam hati masing-masing sehingga dapat tercipta hubungan harmonis antara manusia, alam, leluhur, dan Sang Pencipta yang kemudian dapat mewujudkan kehidupan yang penuh damai dan cinta kasih bagi seisi dunia.   Rahayu!

 
Pendiri Wangsa Isana     


Pu Sindok (sering ditulis Mpu Sindok) sebenarnya merupakan kerabat Kerajaan Medang i Bhumi Mataram di Jawa Tengah (lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno). Dirinya menjabat sebagai Rakryan Mapatih i Hino pada masa pemerintahan Rakai Sumba Dyah Wawa yang memerintah di Kerajaan Medang i Bhumi Mataram selama 928-929 Masehi. Sebelum masa Rakai Dyah Wawa, yakni pada masa pemerintahan Rakai Layang Dyah Tlodhong atau Tulodong (919-?), Pu Sindok telah menjabat sebagai Rakryan Mapatih i Halu. Jabatan-jabatan seperti itu dipastikan hanya boleh diduduki oleh keluarga atau kerabat istana. Ia bisa putra mahkota, menantu raja, adik, paman, kemenakan, yang masih memiliki hubungan darah dengan raja. Dengan demikian, Pu Sindok sejak lahir berdarah bangsawan dan birokrat .       Wangsa yang didirikan Pu Sindok disebut Wangsa Isana. Istilah Wangsa Isana tertera dalam Prasasti Pucangan, prasasti yang dikeluarkan Raja Airlangga pada 963 Saka (1041 M). Prasasti yang berbahasa Sansekerta ini dimulai dengan penghormatan terhadap Brahma, Wisnu, Siwa, yang disusul dengan penghormatan terhadap Raja Airlangga pribadi. Selanjutnya dimuat silsilah Raja Airlangga, mulai dari Raja Sri Isanatungga atau Pu Sindok. Sri Isanatunggawijaya, yang menikah dengan Sri Lokapala, dan memiliki anak bernama Sri Makutawangsawarddhana, dan disebut sebagai keturunan Wangsa Isana. Dengan membaca teks Prasasti Pucangan, dapat diperoleh keterangan bahwa pendiri Wangsa Isana adalah PuSindok Sri Isanawikramma Dharrmotunggadewa.       Posisi Pu Sindok dalam silsilah keluarga raja-raja yang memerintah di Mataram memang dipenuhi kontroversi. Poerbatjaraka menilai bahwa Pu Sindok adalah menantu Dyah Wawa, berdasarkan Prasasti Cunggrang yang menyebut “sang siddha dewata rakryan bawa yayah rakryan binihaji sri parameswari dyah kebi” (yang telah diperdewakan, Rakryan Bawa, ayah Sri Parameswari Dyah Kebi. Rakryan Bawa diidentifikasikan oleh Poerbatjaraka sebagai Rakai Sumba Dyah Wawa. Poerbatjaraka juga mengemukakan alasan lain, bahwa Pu Sindok bergelar abhiseka yang mengandung unsur kata dharma, yang menurutnya menunjukkan bahwa raja yang gelarnya begitu naik takhta karena perkawinan. Selain itu tertulis juga nama Rakryan Bawang Dyah Srawana yang bisa juga dianggap ayah Dyah Kebi.        Akan tetapi, Stutterheim membantah pendapat Poerbatjaraka dengan mengatakan bahwa pertama: nama Bawa harus dibaca Bawang, karena jelas ada anuswara di atas huruf wa. Lagi pula, Raja Wawa tak pernah bergelar Rakai atau Rakryan Wawa, melainkan Rakai Sumba atau Rakai Sumba Pangkaja Dyah Wawa. Selain itu, kata kbi pada prasasti itu harus diartikan “nenek”. Jadi, Sutterheim menyimpulkan bahwa yang diperdewakan di Cunggrang tak lain adalah Rakryan Bawang Pu Partha, nama yang selalu muncul dalam prasasti-prasati keluaran Rakai Kayuwangi, ayah dari nenek Pu Sindok. Nenek Pu Sindok adalah permaisuri Daksa, yang disebut dalam Prasasti Limus (Sugih Manek) bertahun 837 Saka (915 M). Jadi, Pu Sindok adalah cucu Daksa. Dengan begitu, Pu Sindok memang pewaris sah dari Kerajaan Medang di Bhumi Mataram di Jawa Tengah, tanpa harus menikah dengan seorang putri raja mana pun.  

Maharaja di Tamwlang      

Pada masa pemerintahan Dyah Wawa, antara 928-29 M, terjadi sebuah bencala besar: meletusnya Gunung Merapi. Letusan gunung ini membawa malapetaka yang mematikan: gempa bumi, banjir lahar, hujan abu, dan batu-batuan yang mengerikan menimpa apa pun yang berada di sekitarnya, termasuk wilayah Bhumi Mataram yag berada di sebelah baratdaya gunung tersebut. Kerusakan akibat letusan Merapi yang melanda ibukota Medang, yakni Bhumi Mataram, menyebabkan kerabat istana dan rakyat yang selamat mengungsi ke wilayah timur. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa Bhumi Mataram itu terletak di sekitar Magelang (di sini kini masih terdapat sebuah desa bernama Medangan), Jawa Tengah; ada pula yang menduga di sekitar Yogyakarta; dan ada pula yang menganggap bahwa wilayah Temanggung, Magelang, Bantul, Sleman, dan Klaten (kelimanya berada di Magelang dan Yogyakarta) merupakan wilayah budaya Bhumi Mataram.         Di wilayah timur ini, ada wilayah Kanuhuruhan yang penguasanya tunduk kepada Bhumi Mataram. Maka, Pu Sindok pun leluasa membangun ibukota baru di Tamwlang, sekitar Jombang sekarang, Jawa Timur. Keterangan ibukota di Tamwlang ini terdapat di Prasasti Turyyan. Sesuai pengetahuan kosmogonis pada masa itu, Pu Sindok merasa perlu mendirikan wangsa baru dengan tempat-tempat pemujaan baru, karena menilai peristiwa meletusnya Gunung Merapi sebagai kehancuran dunia (pralaya) pada akhir masa Kaliyuga. Dalam dunia kosmogonis masyarakat Jawa silam, bila seorang raja hancur oleh serangan raja lain atau oleh bencana alam, maka periode itu disebut pralaya dan telah ditentukan oleh Dewa.        Rupanya, kerajaan baru yang didirikan Pu Sindok tetap bernama Medang I Bhumi Mataram, seperti yang termaktub dalam Prasasti Paradah yang bertarikh 865 Saka (943 M) dan Prasasti Anjukladang yang bertahun 859 Saka (937 M). Prasasti Turyyan bertahun 851 Saka (929 M) memberitakan bahwa ibukota pertama dari Medang versi Pu Sindok adalah Tamwlang (“sri maharaja makadatwan I tamwlang”). Di sini jelas bahwa Pu Sindok telah mengangkat diri sebagai raja baru yang berpusat di Tamwlang. Kini, di Kab. Jombang, Jawa Timur, terdapat Desa Tambelang di wilayah kecamatan yang bernama Tambelang juga, yang mana nama desa atau kecamatan itu kemungkinan besar dulunya bernama Tamwlang. Tak ada data tertulis lain yang menyebut nama Tamwlang selain prasasti ini.         Setelah dari Tamwlang, berdasarkan Prasasti Paradah dan Prasasti Anjukladang, ibukota kerajaan lalu berpindah ke Watugaluh, masih sekitar Jombang.  

Pindah ke Watugaluh     

  Prasasti Anjukladang yang bertahun 937 M menginfromasikan bahwa istana Medang dipindahkan ke wilayah Watugaluh, di tepi Kali Brantas, masih di sekitar Jombang di mana sekarang terdapat kecamatan bernama Megaluh. Hingga kepindahan ke Watugaluh pun, jelas Pu Sindok tak berniat mendirikan kerajan baru. Ini terlihat dari kalimat pada Prasasti Turyyan bahwa “Kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i Bhumi Mataram i Watugaluh”. Tulisan ini menunjukkan bahwa ibukota telah berpindah dari Tamwlang ke Watugaluh. Prasati Paradah juga mengatakan: “mdang i bhumi mataram i watugaluh.” Maka dari itu tak berlebihan bila kita menyebut kerajaan dengan ibukota baru ini dengan sebutan Medang i Bhumi Mataram i Watugaluh, yang bisa diartikan sebagai “Medang (yang dulu) di Bhumi Mataram (sekarang berada) di Watugaluh, atau bisa sebagai kerajaan “Medang i Bhumi Mataram (dengan ibukota baru) di Watugaluh.         Pembacaan J.G. de Casparis terhadap Prasasti Anjukladang melahirkan dugaan bahwa pernah ada serbuan dari Malayu ke Jawa. Diberitakan, tentara Malayu bergerak sampai dekat Nganjuk, Jawa Timur, namun berhasil dihalau oleh pasukan Mataram di bawah Pu Sindok langsung yang ketika itu belum menjadi raja (mungkin masih berada di Tamwlang atau mungkin pula masih menjadi pejabat di Bhumi Mataram). Atas jasanya yang begitu besar terhadap kerajaan, Pu Sindok diangkat menjadi raja (apakah ketika masih di Tamwlang atau sudah Watugaluh?). Namun, teks pada Prasasti Anjukladang belum terbaca seluruhnya. Dalam transkripsi Casparis, yang lebih komplit pembacaannya ketimbang transkripsi Brandes, dterangkan bahwa di tempat Sang Hyang Prasada itu dibangun pula jayastambha, yaitu tugu kemenangan.         Hampir tidak adanya prasasti mengenai peristiwa politik/militer pada masa Pu Sindok bukan berarti bahwa pada masa pemerintahan Pu Sindok tidak ada penaklukan atau peperangan terhadap /dengan kerajaan lain. Prasasti Waharu dan Sumbut memungkinkan bahwa pernah terjadi peperangan sebagai usaha penaklukan Pu Sindok terhadap kerajaan-kerajaan kecil. Pun, fakta bahwa pusat pemerintahan selalu berpindah-pindah menggambarkan bahwa pada masa Pu Sindok banyak terjadi penyerang musuh ke dalam ibukota tersebut. 

Perkembangan Keadaan Sosial Ekonomi pada Masa Pu Sindok Berdasarkan Prasasti-prasasti     

Masa pemerintahan Pu Sindok, yang dimulai sekurang-kurangnya sejak 929 M hingga 948 M, banyak meninggalkan peninggalan berupa prasasti, sekitar 20 prasasti, yang sebagian besar tertuang pada batu. Hal ini cukup menggembirakan karena dari benda-benda tersebutlah kita bisa mengetahui kondisi sosial ekonomi pada masa bersangkutan. Pun bukti-bukti tersebut menggambarkan bahwa masa pemerintahan Pu Sindok adalah masa yang cenderung damai di mana banyak diberlakukan sima, wilayah swatantra yang dibebaspajakkan oleh negara.         Menurut C.C. Berg, prasasti yang dibuat atas titah Pu Sindok tersebut berasal dari zaman Dharmmawangsa Airlangga. Raja ini memerlukan legitimasi dari rakyatnya dengan memakai nama Pu Sindok sebagai wangsakara atau leluhurnya pendiri Wangsa Isana sekaligus keturunan istana Mataram Jawa Tengah sebelumnya. Berdasarkan pemikiran itu, maka C.C. Berg berpendapat bahwa tak ada tokoh bernama Pu Sindok dalam sejarah Jawa, ia hanyalah sosok khalayan. Alasan yang dikemukakan Berg adalah karena prasasti-prasasti itu strukturnya sama saja dan membosankan. Namun, sebagian ahli keberatan atas anggapan Berg tersebut. Keberatan itu dikarena atas fakta bahwa memang prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh seorang raja memiliki kesamaan ciri-ciri, yang membedakannya dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja sebelum dan sesudahnya. Perlu juga dikemukakan bahwa pendarmaan Pu Sindok tercantum dalam Prasasti Kamalagyan dan Prasasti Pucangan, yakni Isanabhawana. Jadi, jelas bahwa pendapat Berg tak dapat dipertahankan, karena tak mungkin seseorang didarmakan bila orang bersangkutan tak pernah hidup dalam sejarah umat manusia.        Bila prasasti-prasasti peninggalan Pu Sindok dibaca, maka akan diketahui bahwa isinya sebagian besar memberitakan penetapan sima bagi suatu bangunan suci, yang kebanyakan dilakukan atas permintaan pejabat atau rakyat suatu desa. Wilayah yang ditetapkan atas perintah raja sendiri menjadi sima hanyalah Desa Linggasutan dan sawah kakatikan(?) di Anjuklandang. Dalam Prasasti Linggasutan yang bertarikh 815 Saka (929 M) disebutkan bahwa raja telah memerintahkan agar Desa Linggasutan yang termasuk wilayah Rakryan Hujung, dengan penghasilan pajak sebanyak 3 (?) emas dan kewajiban kerja bakti seharga 2 masa setiap tahunnya, ditetapkan sebagai sima dan dipersembahkan kepada bhatara di Walandit untuk membiayai biaya pemujaan terhadap Bhatara i Walandit (Bhatara di Walandit) setiap tahunnya.         Prasasti Anjukladang bertarikh 859 Saka (937 M) memberitakan bahwa Raja Pu Sindok telah memerintahkan tanah sawah kakatikan di Anjukladang untuk dijadikan sima, dan dipersembahkan kepada Bhatara di Sanghyang Prasada Kabhaktyan di Sri Jayamerta, darma dari Samgat Anjukladang. Kerusakan pada bagian atas dari prasasti ini membuat kita tak tahu apa jasa penduduk Desa Anjukladang sehingga mendapatkan anugerah raja.        Nama Bhatara i Walandit pun dijumpai pada Prasasti Muncang bertahun 866 Saka (944 M). Prasasti ini memperingati perintah raja dalam menetapkan sebidang tanah di sebelah selatan pasar di Desa Muncang yang termasuk wilayah Rakryan Hujung, menjadi sima oleh Samgat (…) Dang Acarya Hitam, untuk mendirikan prasada kebhaktyan bernama Siddhayoga, tempat para pendeta melakukan persembahan kepada Bhatara setiap hari, dan mempersembahkan bunga kepada Bhatara di Sang Hyang Swayambhuwa di Walandit.        Tampaknya Rakryan Hujung, yang bernama Pu Madhuralokaranjana, lumayan besar perannya dalam bidang keagamaan. Dalam Prasasti Gulung-gulung bertarikh 851 Saka (929 M) Rakryan Hujung memohon kepada raja agar diperkenankan menetapkan sawah di Desa Gulung-gulung dan sebidang hutan di Bantara sebagai sima. Permohonan ini bertujuan menjadikan sawah dan hutan tersebut sebagai dharmmaksetra (tanah wakaf) bagi bangunan suci Rakryan Hujung yaitu mahaprasada di Himad. Penghasilan sawah tersebut juga diperuntukkan bagi persembahan kepada Sang Hyang Kahyangan di Pangawan, berupa seekor kambing dan 1 pada beras, yang diadakan setahun sekali pada waktu ada upacara pemujaan bagi Bhatara di Pangawan itu. Hal ini disebabkan, dahulu di Kahyangan di Pangawan itu ada di Gunung Wangkedi. Oleh karena itu, sebenarmya hanya ada satu bhatara dipuja, baik di Pangawan maupun di Himad. Bila di Pangawan tengah diadakan pemujaan, Himad mengikuti apa yang terjadi di Pangawan, begitu pun sebaliknya. Pemujaan di kedua bangunan suci itu dilakukan pada tiap equinox, yakni pada saat matahari melintasi garis khatulistiwa pada Maret dan September. Dalam Prasasti Gulung-gulung terdapat pula beberapa nama tempat sima lainnya, yaitu di Batwan, di Guru, di Air Gilang, di Gapuk, dan di Mbang (?), yang juga wajib memberikan persembahan kepada Sang Hyang Prasada di Himad pada tiap equinox, dengan perincian kewajiban masing-masing daerah tersebut.            Dalam Prasasti Jeru-jeru bertarikh 852 Saka (930 M), Rakryan Hujung memohon raja agar diperkenankan menetapkan Desa Jeru-jeru, yang merupakan anak Desa Linggasutan yang termasuk wilayah Rakryan Hujung sendiri, menjadi tanah wakaf berupa sawah bagi bangunan suci Rakryan Hujung, yaitu Sang Sala di Himad. Permohonan tersebut dikabulkan sang raja.          Bangunan suci di Walandit yang memperoleh beberapa daerah atas persetujuan dan perintah Pu Sindok, ternyata masih ada ketika zaman Majapahit. Hal ini dinyatakan dalam Prasasti Himad/Walandit, yang meski tak berangka tahun namun dikeluarkan pada waktu Gajah Mada menjabat rakryan mapatih di Jenggala dan Kadiri. Prasasti ini menyebutkan persengketaan antara penduduk Desa Walandit dengan penduduk Desa Himad mengenai status dharma kabuyutan di Walandit, yang oleh penduduk Walandit dianggap swatantra dan mereka berhak penuh atas Desa Walandit, sebagaimana telah dikukuhkan oleh prasasti yang bercap kerajaan Pu Sindok.        Casparis berpendapat bahwa Walandit kini terletak di Desa Wonorejo, Kec. Pakis, Kab. Malang, Jawa Timur. Sebelumnya, Desa Wonorejo bernama Desa Walandit, dan pada awal abad ke-20 peta topografi buatan Belanda (1918-1923) dijumpai dukuh bernama Blandit yang termasuk wilayah Desa Wonorejo. Jadi, bila Prasasti Pucangan menyebutkan sang hyang swayambhuwa, bangunan suci itu diidentifikasikannya dengan suatu candi untuk pemujaan Gunung Bromo, karena Swayambhuwa tak lain nama dari Dewa Brahma, dan kenyataannya bahwa Desa Wonorejo terletak tak seberapa jauh dari Gunung Bromo.         Penetapan sima atas permohonan pejabat atau rakryan dijumpai dalam beberapa prasasti lain. Misalnya, penetapan sebidang sawah di Desa Paradah menjadi sima kabikuan oleh warga Wahuta di Paradah. Pembelian sawah dan tanah pagagan di Taging di Desa Paradah oleh Sang Sluk untuk dijadikan sima dan dipersembahkan kepada Sang Hyang Dharmma Kamulan, merupakan tindakan amal Sang Sluk (i punya sang sluk) dan agar hendaknya turun-temurun pada anak cucu cicit piutnya. Ada pula permohonan Dang Acaryya (?) kepada raja untuk mengukuhkan status sima kabikuan di Poh Rinting. Juga penetapan sebidang sawah kakatikan di Desa Hering yang masuk wilayah Margganung, tetapi di bawah kekuasaan Wahuta Hujung, dan tanah perumahan sebagai sima oleh Samgat Margganung Pu Danghil bagi sebuah biara yang telah dibeli oleh Pu Danghil dan istrinya yang bernama Dyah Pendel seharga 16 suwarna emas. Ada pula kegiatan amal persembahan Dapungku I Manapujamna berupa sebidang sawah untuk dijadikan sima bagi Sang Hyang Prasada Kabhaktyan di daerah Pangurumbigyan di Kampak (angka tahun di Prasasti Kampak tak bisa terbaca).          Prasasti Turyyan berangka tahun 851 Saja (929) memberitakan permohonan Dang Atu Pu Sahitya dalam usaha memperoleh sebidang tanah bagi pembuatan bangunan suci. Permohonannya dikabulkan raja. Dang Sahitya pun memperoleh sebidang sawah di Desa Turyyan yang menghasilkan pajak sebesar 2 suwarna emas. Pajak yang dihasilkan Desa Turyyan setahun adalah 1 kati dan 2 suwarna emas: yang 3 suwarna itulah yang dianugerahkan kepada Dang Atu Pu Sahitya. Pajak tersebut ditambah dengan sebidang tanah tegalan di sebekah barat sungai dan tanah di sebelah utara pasar Desa Turyyan. Ada pun tempat di sebekah barat sungai itu dipergunakan untuk mendirikan bangunan suci, dan penduduknya hendaknya bekerja bakti membuat bendungan terusannya sungai tadi, mulai dari Air Luah; sedangkan tanah di sebelah utara pasar itu untuk kamulan dan pajak yang 3 suwarna emas itu, sebagai sumber biaya pemeliharaan bangunan suci. Selebihnya tanah tersebut dijadikan tambahan sawah sima bagi bangunan suci itu. Prasasti Turyyan hingga kini masih berada di tempat aslinya, yaitu Dukuh Watu Godeg, Kel. Tanggung, Kec. Turen (dari kata Turyyan tentu), Kab. Malang, Jawa Timur. Belum ada penelitian yang berusaha mengungkapkan di mana letak bendungan (atau waduk?) di masa Pu Sindok itu.        Prasati lain, yaitu Prasasti Wulig bertahun 856 Saka (935 M) memberikan peringatan pembuatan bendungan. Prasasti ini memuat perintah Rakryan Binihaji Rakryan Mangibil—tampaknya istri atau salah satu selir Pu Sindok, kepada Samgat Susuhan agar memerintahkan penduduk Desa Wulig (Pangiketan, Padi Padi, Pikatan, Panghawaran, dan Busuran) untuk membuat bendungan, dengan peringatan hendaknya jangan ada yang berani mengusiknya atau menyatukan bendungan itu (?) tidak … di waktu malam, dan mengambil ikannya di waktu siang. Pada 8 Januari 935 M, Rakryan Binihaji meresmikan ketiga bendungan yang ada di Desa Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya.         Ada pula nama permaisuri Pu Sindok yang lain yang juga namanya tertera pada prasasti, yaitu Rakryan Sri Parameswari Sri Warddhani Pu Kbi. Prasasti-prasasti tersebut adalah Prasasti Geweg tahun 855 Saka (933 M) dan Prasasti Cunggrang bertahun 851 Saka (929 M). Pada Prasasti Geweg disebutkan pula nama suaminya, Rakryan Sri Mahamantri Pun Sindok (belum bergelar maharaja). Sedangkan dalam Prasasti Cunggrang, permaisuri itu bergelar Rakryan Binihaji Sri Parameswari Dyah Kbi. Stutterheim berpendapat bahwa Dyah Kbi atau Pu Kbi bukanlah permaisuri Pu Sindok, melainkan neneknya. Akan tetapi, Poesponegoro (2008: 192) keberatan atas pendapat Stutterheim tersebut karena melihat adanya istilah binihaji dan parameswari sebagai gelar Pu atau Dyah Kbi.         Prasasti Cunggrang memuat perintah Pu Sindok dalam menetapkan Desa Cunggrang yang masuk wilayah Bawang, di bawah pemerintahan langsung Wahuta Wungkal, dengan penghasilan pajak sebanyak 15 suwarna emas, dan kewajiban kerja bakti senilai dua kupang, dan katik sebanyak … orang, untuk menjadi sima bagi pertapaan di Pawitra dan bagi bangunan suci tempat pemujaan arwah Rakryan Bawang yang telah diperdewakan, yaitu ayah dari permaisuri raja yang bernama Dyah Kebi (sang hyang prasada silunglung sang siddha dewata rakryan bawang, ayah dari rakryan binihaji sri parameswari dyah kbi). Kewajiban penduduk daerah yang dijadikan sima itu adalah memelihara pertapaan dan prasada, juga memperbaiki bangunan pancuran di Pawitra (umahayua sang hyang tirtha pancuran pawitra).         Dikabarkan pula ada sawah pakarungan (?) di Pamuatan seluas 2 suku (jung), dan di Kasungkan seluas 2 suku, serta katik sebanyak … orang, sebagai augrah raja kepada permaisurinya, yang ikut dijadikan sima sebagai sumber pembiayaan pemujaan arwah mertua (Rakryan Bawang) di Prasada, dan biaya pemujaan di pertapaan di Tirtha pada tanggal 3 setiap bulannya, dan biaya persembahan caru setiap harinya. Dengan ditetapkannya Desa Cunggrang sebagai sima punpunan, ia tidak lagi diperintah oleh Rakryan Bawang Watu (atau Rakryan Jasun Wungkal). Dengan menganggap Dyah Kebi sebagai permaisuri Pu Sindok, besar kemungkinan bahwa Rakryan Bawang, ayah sang permaisuri, adalah Rakryan Bawang Dyah Srawana yang dijumpai pada prasasti-prasasti Raja Rakai Watukura Dyah Balitung.        Ada pula penetapan sima yang bukan atas perintah raja, melainkan oleh Rakryan Kanuruhan Dyah Mungpah. Ia menganugerahkan sebidang sawah di (?) yang termasuk wilayah Kanuruhan kepada Sang Bulul agar digunakan untuk menanam bunga-bungaan, sebagai tambahan kepada alamnya (?). tampaknya Sang Buhul telah bernazar demikian, maka pada waktu ia memohon kepada Rakryan Kanuruhan untuk melaksanakan nazarnya itu, permohonannya dikabulkan, malah Rakryan Kanuruhan menambahinya. Peristiwa ini diperingati dengan Prasasti Kanuruhan bertahun 856 Saka (935 M) yang dipahatkan di belakang sandaran sebuah arca Ganesha, dan keadaannya terputus di bagian atas sebelah kiri.        Prasasti-prasasti peninggalan Pu Sindok tak ada yang memuat peristiwa politik pada masa pemerintahannya. Bila pun ada, itu samar-samar dan terdapat dalam prasasti tembaga yang tinulad, yakni yang diturunkan pada tahun-tahun kemudian. Prasasti yang menyentil masalah politik di antaranya Prasasti Waharu IV tahun 853 Saka (931 M), yang menyatakan bahwa penduduk Desa Waharu telah mendapatkan anugerah raja karena penduduk desa tersebut di bawah pimpinan Buyut Manggali senantiasa berbakti kepada raja, ikut berusaha agar raja memang dalam peperangan, dengan mengerahkan senjata, tanpa ingai siang-malam dalam mengikuti balatentara kerajaan, sambil membawa panji dan segala macam bunyi-bunyian, pada waktu raja hendak membinasakan musuh-musuhnnya yang dianggap sebagai perwujudan kegelapan.        Prasati Sumbut bertahun 855 Saka (933 M), yang tak kumplit, hanya dua lempeng pertama saja, memberikan informasi bahwa Pu Sindok telah menganugerahkan Desa Sumbut sebagai sima kepada Sang Mapanji Jatu Ireng, yang tekah berjasa ikut menghalau musuh bersama penduduk desa tersebut dengan tujuan agar kedudukan raja di atas singgasana dapat langgeng.   Kehidupan Beragama       Pu Sindok merupakan penganut penganut Siwa. Meski begitu, Pu Sindok bertoleransi terdapat agama lain. Ia menganugerahkan Desa Wanjang sebagai sima swatantra kepada pujangga Sri Sambhara Suryawarana, yang berhasil menulis kitab Buddha-Tantrayana berjudul Sang Hyang Kamahayanikan.         Mengenai lokasi bangunan suci yang dibuat pada masa Pu Sindok, hingga sekarang belum dapat dipastikan lokasinya. Prasasti Anjukladang menyebutkan adanya Candi Lor, dan kini di dekat Berbek, Kab. Nganjuk ada reruntuhan candi. Namun begitu, masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai kepastiannya, walau pun reruntuhan candi ini menunjukkan cirri-ciri candi periode Jawa Tengah. Ada pun di dekat penyimpanan Prasasti Cunggrang di lereng timur Gunung Penanggungan (dulu gunung ini bernawa Pawitra) ditemukan beberapa peninggalan tempat pemandian, antara lain di Belahan, yang tak jauh dari lokasi prasasti tersebut. Belum dapat dipastikan apakah Sang Hyang Tirtha Pancuran di Pawitra itu kini adalah tempat pemandian tersebut. Namun, bukankah nama Penanggungan masa dulu adalah Pawitra? Juga, ada yang menafsirkan bahwa nama tempat Betra kini kemungkinan berasal dari Pawitra. Resink pernah mengemukakan pendapat bahwa pemandian Belahan berasal dari zaman Pu Sindok.        Belum ada satu candi pun di Jawa Timur yang berhasil diidentifikasi sebagai peninggalan Mataram zaman Pu Sindok. Nama bangunan suci sang hyang dharma ring isanabhawana, yang dianggap sebagai pengganti Borobudur masa Wangsa Sailendra, sampai sekarang belum berhasil ditemukan. Juga bangunan sang hyang swayambhuwa i walandit yang dapat dianggap sebagai bangunan suci untuk Dewa Brahma, hingga kini belum dapat diidentifikasi letaknya.   Wafat      Pu Sindok wafat pada 947 M dan didharmakan atau candikan di sang hyang dharma ring isanabhawana atau Isanabajra, yang hingga kini belum berhasil ditemukan. Prasasti Pucangan memberitakan, Pu Sindok digantikan oleh putrinya, Sri Isana Tunggawijaya. Sri Isana Tunggawijaya ini memerintah bersama suaminya, Sri Lokapala. Pasangan sumai-istri ini kelak memiliki putra bernama Sri Makutawangsawarddhana.        Ada satu hal yang menarik bahwa nama Mataram hingga zaman Singhasari dan Majapahit dan sesudahnya masih dipakai sebagai nama kerajaan-bawahan, bahkan dijadikan nama kerajaan Islam oleh Panembahan Senopati pada abad ke-17. Sedangkan nama Medang sebagai nama daerah menjadi kurang popular.
 
Kata Kunci: Kearifan lokal, budaya Nusantara, pengembangan        Eksplorasi terhadap kekayaan luhur budaya bangsa tersebut sangat perlu untuk dilakukan, sekaligus juga berupaya untuk mengkritisi eksistensinya terkait dengan keniscayaan adanya perubahan budaya. Ruang eksplorasi dan pengkajian kearifan lokal menjadi tuntutan tersendiri bagi pengembangan institusional filsafat dan bagi eksplorasi khazanah budaya bangsa pada umumnya. 

Pengertian Kearifan Lokal (Local Wisdom)      Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris-Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.   Local Genius sebagai Local Wisdom     
Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini (Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:  
1.       mampu bertahan terhadap budaya luar,
2.       memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,
3.       memunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli,
4.       memunyai kemampuan mengendalikan,
5.       mampu memberi arah pada perkembangan budaya. 

“Berpijak pada Kearifan Lokal”, bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meski pun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.         S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam Iun, mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.        Dalam penjelasan tentang ‘urf, Pikiran Rakyat terbitan 6 Maret 2003 menjelaskan bahwa tentang kearifan berarti ada yang memiliki kearifan , yang dilawankan dengan. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan.   Contoh dan Fungsi Kearifan Lokal     .Dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam , bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat, maka fungsinya menjadi bermacam-macam. Balipos terbitan 4 September 2003 memuat tulisan “Pola Perilaku Orang Bali Merujuk Unsur Tradisi”, antara lain memberikan informasi tentang beberapa fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu: 
  1. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.
  2. Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate.
  3. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji.
  4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
  5. Bermakna sosial, misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.
  6. Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.
  7. Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur.
  8. Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron client.
     Dari penjelasan fungsi-fungsi tersebut tampak betapa luas ranah keraifan lokal, mulai dari yang sifatnya sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan teknis. Elly Burhainy Faizal dalam SP Daily tanggal 31 Oktober 2003 dalam mencontohkan beberapa kekayaan budaya, kearifan lokal di Nusantara yang terkait dengan pemanfaatan alam yang pantas digali lebih lanjut makna dan fungsinya serta kondisinya sekarang dan yang akan datang. Kearifan lokal terdapat di beberapa daerah:
  1. Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku). Gunung Erstberg dan Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai bagian dari hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya alam secara hati-hati.
  2. Serawai, Bengkulu, terdapat keyakinan celako kumali. Kelestarian lingkungan terwujud dari kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam tanjak.
  3. Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana‘ ulen. Kawasan hutan dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi oleh aturan adat.
  4. Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat. Masyarakat ini mengembangkan kearifan lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan  memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa bera, dan mereka mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan.  
  5. Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat. Mereka mengenal upacara tradisional, mitos, tabu, sehingga pemanfaatan hutan hati-hati, tidak diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat.
  6. Bali dan Lombok, masyarakat memunyai awig-awig.
Kerifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan.
 
Menurut UU Nomor 4 Tahun 1982 yang disebut lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup yang termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang memengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. 1. Mencermati Undang-undang di atas, mengisyaratkan bahwa posisi manusia menjadi sangat penting dan strategis. Manusia menjadi kunci perubahan dalam lingkungannya karena manusia dan tingkah-lakunya mampu memengaruhi kelangsungan hidup seluruh makhluk yang ada. Akan tetapi, melalui lingkungannya ini pula tingkah-laku manusia ditentukan sehingga sebenarnya ada hubungan timbal-balik yang seimbang antara manusia dengan lingkungannya.
 
      Hubungan yang seimbang antara keduanya akan mampu menyajikan kehidupan harmonis yang mempersyaratkan semua yang menjadi bagian lingkungan untuk tidak saling merusak. Sesungguhnya manusia dan lingkungannya adalah gambaran hidup sistematis sempurna yang pada dasarnya untuk kepentingan manusia itu sendiri. 2. Manusia membutuhkan tumbuhan untuk kelangsungan pernafasan karena tumbuhan menjadi produsen oksigen tetap sepanjang masa. Dengan tumbuhan-tumbuhan manusia makan dan minum karena pada tumbuhan ini air tersimpan sempurna dalam tanah dan manusia dapat menggunakan tumbuhan itu secara langsung. Oleh karena itu, agar harmonisasi kehidupan ini tercipta dan tetap terjaga, kita harus bersikap dan berperilaku arif terhadap lingkungan.
 
      Kearifan terhadap lingkungan dapat dilihat dari bagaimana perlakuan kita terhadap benda-benda, tumbuhan, hewan, dan apapun yang ada di sekitar kita. Perlakuan ini melibatkan penggunaan akal budi kita sehingga dari perlakuan-perlakuan tersebut dapat tergambar hasil dari aktivitas budi kita. Akumulasi dari hasil aktivitas budi dalam menyikapi dan memperlakukan lingkungan disebut pengetahuan lokal atau biasa disebut kearifan lokal. Kearifan lokal ini menggambarkan cara bersikap dan bertindak kita untuk merespon perubahan-perubahan yang khas dalam lingkup lingkungan fisik maupun kultural.
 
      Pada masa kini kearifan lokal menjadi kecenderungan umum masyarakat Indonesia yang telah menerima otonomi daerah sebagai pilihan politik terbaik. Membangkitkan nilai-nilai daerah untuk kepentingan pembangunan menjadi sangat bermakna bagi perjuangan daerah untuk mencapai prestasi terbaik. Selama ini, kearifan lokal tiarap bersama kepentingan pembangunan yang bersifat sentralistik dan top down. 3. Oleh karena itu, sudah saatnya untuk menggali lebih banyak kearifan-kearifan lokal sebagai alat atau cara mendorong pembangunan daerah sesuai daya dukung daerah dalam menyelesaikan masalah-masalah daerahnya secara bermartabat.
 
      Namun demikian, tidak sedikit kalangan yang mempertanyakan relevansi kearifan lokal di tengah-tengah perjuangan umat manusia menatap globalisasi. Apakah kearifan lokal sebagai sistem pengetahuan manusia itu logis atau sekadar mitos? Apakah kearifan lokal itu benar-benar berpijak pada realitas empiris atau sekadar spekulasi orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu? Tulisan ini mencoba untuk menjawab keraguan di atas dengan pendekatan yang relevan.
 
Kearifan Lokal: Fungsi dan Wujudnya
      Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai "kearifan/kebijaksanaan".
 
      Local secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut setting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah-laku mereka.
 
Kearifan Lokal Tidak Sekadar sebagai Acuan Tingkah Laku
      Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. 4. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.
 
      Secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika Geertz mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. 5. Tato, hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.
 
Wujud Kearifan Lokal
      Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. 6. Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.
 
      Proses sedimentasi ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, dari satu generasi ke generasi berikut. Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun non-empiris atau yang estetik maupun intuitif. 7. Kearifan lokal lebih menggambarkan satu fenomena spesifik yang biasanya akan menjadi ciri khas komunitas kelompok tersebut, misalnya alon-alon asal klakon (masyarakat Jawa Tengah), rawe-rawe rantas malang-malang putung (masyarakat Jawa Timur), ikhlas kiai-ne manfaat ilmu-ne, patuh guru-ne barokah urip-e (masyarakat pesantren), dan sebagainya.
Kearifan Lokal sebagai Fenomena Keilmuan

Analisis Metodologis: Analogi dengan Indigenous Psychology
      Kearifan lokal merupakan usaha untuk menemukan kebenaran yang didasarkan pada fakta-fakta atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam sebuah budaya masyarakat tertentu. Definisi ini bisa jadi setara dengan definisi mengenai indigenous psychology yang didefinisikan sebagai usaha ilmiah mengenai tingkah-laku atau pikiran manusia yang asli (native) yang tidak ditransformasikan dari luar dan didesain untuk orang dalam budaya tersebut. Hasil akhir dari indigenous psychology adalah pengetahuan yang menggambarkan tentang kearifan lokal, yaitu gambaran mengenai sikap atau tingkah-laku yang mencerminkan budaya asli.
 
      Secara metodologis, pembentukan indigenous psychology masih meminjam metode-metode ilmiah yang lazim dipakai sampai saat ini dengan mengontekstualisasikan teori-teori yang ada dengan kecenderungan-kecenderungan lokal yang berkembang. Pada tahap ini, operasionalisasi teori-teori yang ada dikembangkan atau dimodifikasi menurut karakter-karakter masyarakat dan kepentingan lokal. Hal ini penting dipahami karena ketika berbicara tentang keilmuan kita tidak bisa lepas dari teori-teori Barat yang secara faktual telah mengembangkan tradisi ilmiah lebih awal. Dengan demikian, sebagai usaha awal masih perlu untuk menggunakan teori-teori Barat sebagai pendekatan.
 
      Selanjutnya, titik berat metodologis penelitian tidak lagi kuantitatif murni, tetapi lebih mengarah pada penelitian kualitatif atau kombinasi kuantitatif dan kualitatif. Oleh karena basis teori belum dimiliki dalam khazanah kearifan lokal, maka melalui teori-teori Barat kemudian dilakukan pendalaman-pendalaman. Pendalaman ini mengacu dan mengikuti gerak dan kepentingan masyarakat setempat. Ciri pendalaman ini menjadi karakteristik utama dalam penelitian kualitatif. Melalui pendalaman-pendalaman dapat diangkat khazanah keilmuan dari kearifan-kearifan lokal yang berkembang dan bersifat ilmiah.
 
Analisis Aras Individual: Sistem Kognisi Kita
      Untuk memahami bagaimana kearifan lokal berkembang dan tetap bertahan, maka perlu pemahaman dasar mengenai proses-proses kejiwaan yang membangun dan mempertahankannya. Proses-proses itu meliputi pemilihan perhatian (selective attention), penilaian (appraisal), pembentukan dan kategorisasi konsep (concept formation and categorization), atribusi-atribusi (attributions), emotion, dan memory. Ada pun penjelasan lebih lanjut mengenai proses-proses di atas sebagai berikut.
 
a. Selective Attention
      Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang pasti selalu berhadapan dengan banyak stimulus sehingga para ahli jiwa sepakat bahwa semua stimulus tidak mungkin untuk diproses. Oleh karena itu, individu dalam menghadapi banyaknya stimulus tersebut akan melakukan apa yang disebut sebagai selective attention. Selective attention merupakan proses tempat seseorang melakukan penyaringan terhadap stimulus yang dianggap sesuai atau yang mampu menyentuh perasaan.10. Oleh karena kapasitas sistem sensasi dan perseptual kita terbatas, maka harus belajar bagaimana caranya membatasi jumlah informasi yang kita terima dan diproses.
 
      Terkait dengan proses pembentukan kearifan lokal, maka proses pemilihan perhatian menyediakan mekanisme kejiwaan untuk membatasi informasi-informasi yang diterima dan diproses. Dalam kehidupan pesantren, terdapat banyak informasi-informasi ajaran-ajaran mengenai tata cara berperilaku santri yang berasal dari kitab-kitab kuning. Oleh karena kapasitas sistem sensasi dan perseptual kita terbatas, maka kita perlu membatasi informasi-informasi yang masuk dengan menetapkan beberapa informasi untuk kita terima, misalnya santri hanya memilih sikap tawadlu’, sederhana, ikhlas, patuh, dan sebagainya.
 
b. Appraisal
      Beberapa stimulasi yang telah dipilih secara konstan akan dinilai. Penilaian merupakan proses evaluasi terhadap stimulus yang dianggap memiliki arti bagi kehidupan seseorang dan yang mampu menimbulkan reaksi-reaksi emosional. Hasil penilaian ini adalah keputusan yang berupa respon-respon individu, yang oleh Lazarus disebut coping (penyesuaian). 11. Proses ini relevan dengan terbentuk nya pengetahuan atau kearifan lokal karena pemilihan terhadap informasi yang masuk lebih menekankan pada pertimbangan berguna bagi kehidupan mereka.
 
      Terkait dengan pembentukan dan berkembangnya kearifan lokal ini, maka proses appraisal ini menyediakan sebuah mekanisme kejiwaan di mana kita secara aktif menilai informasi yang masuk dan kita proses hanya yang bermakna bagi kita. Misalnya dalam kehidupan pesantren, seorang santri menilai dari sekian ajaran tentang tingkah-laku, maka yang dianggap bermakna hanya kepatuhan dan kebersamaan.
 
c. Concept Formation and Categorization
      Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang menghadapi stimulus yang banyak dan tidak mungkin diikuti semuanya. Semua orang, benda-benda, tempat-tempat, kejadian-kejadian, dan aktivitas yang kita alami tidak mungkin dapat diterima dan disajikan oleh pikiran kita dalam sebuah unit informasi yang bebas. 12. Oleh karena itu, melalui mekanisme kejiwaan dibuat gambaran mental yang digunakan untuk menjelaskan benda-benda, tempat-tempat, kejidian-kejadian, dan aktivitas yang kita alami yang kemudian disebut konsep. Melalui konsep-konsep seseorang dapat mengevaluasi informasi-informasi, membuat keputusan-keputusan, dan bertindak berdasarkan konsep tersebut.
 
      Kategorisasi adalah proses tempat konsep-konsep psikologis dikelompokkan. Studi mengenai pembentukan kategori melibatkan pengujian bagaimana seseorang mengklasifikasikan peristiwa-peristiwa, benda-benda, aktivitas-aktivitas ke dalam konsep-konsep. Pembentukan konsep dan kategorisasi memberikan cara untuk mengatur perbedaan dunia sekeliling kita menjadi sejumlah kategori-kategori tertentu. Kategori-kategori tersebut didasarkan pada sifat-sifat tertentu dan objek yang kita rasa atau serupa secara kejiwaan.
 
      Terkait dengan pembentukan dan berkembangan kearifan lokal, maka pada bagian pembentukan konsep dan kategorisasi ini menyediakan kepada kita cara-cara untuk mengorganisasikan perbedaan ajaran-ajaran tingkah-laku yang ada di sekitar kita ke dalam sejumlah kategori berdasarkan kepentingan tertentu. Misalnya kepatuhan adalah cara bertingkah-laku santri sebagai orang yang akan menuntut ilmu dengan seorang kiai dan kebersamaaan adalah cara bertingkah-laku santri sebagai orang yang hidup jauh dari orangtua dan merasa senasib seperjuangan.
 
d. Attributions
      Satu karakteristik umum dari manusia adalah perasaan butuh untuk menerangkan sebab-sebab peristiwa dan perilaku yang terjadi. Attributions yang menjadi satu karakter diri yang menggambarkan proses mental untuk menghubungkan (membuat pertalaian) antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya atau satu perilaku dengan perilaku atau peristiwa lainnya. 13. Attribution ini membantu kita untuk menyesuaikan informasi baru mengenai dunianya dan membantu mengatasi ketidaksesuaian antara cara baru dengan cara lama dalam memahami sesuatu.
 
      Terkait dengan pembentukan dan berkembangannya kearifan lokal, maka pada bagian attribution ini menyediakan fungsi-fungsi penting dalam kehidupan kita untuk mengorganisasikan informasi-informasi yang bermakna bagi kita secara kejiwaan dengan mengontrol antara intention (niat) dengan perilaku. Misalnya, pilihan perilaku patuh santri itu penting bagi seorang yang sedang menuntut ilmu karena kepatuhan santri terhadap kiai akan berimplikasi pada kepatuhan santri terhadap ajaran-ajaran yang disampaikan kiai sehingga muncul kecenderungan (niat) untuk melaksanakan apapun yang diajarkan kiai.
 
e. Emotion
      Emosi adalah motivator yang paling penting dari perilaku kita yang dapat mendorong seseorang untuk lari jika takut dan memukul jika sedang marah. Emosi adalah perangkat penting yang terbaca untuk memberitahu kepada kita cara untuk menginterpretasikan peristiwa dan situasi di sekeliling kita pada saat kita melihatnya.
 
      Terkait dengan pembentukan dan berkembangannya kearifan lokal, maka pada bagian emotion ini menyediakan kepada kita dorongan-dorongan untuk melakukan sesuatu sesuai kebutuhan kita. Misalnya, apa pun yang diajarkan kiai itu pasti baik dan membawa barokah (kebaikan) sehingga dapat mendorong santri selalu mengamalkan ajaran-ajaran kiai. Kebutuhan mendapatkan barokah dari kiai seolah menjadi motivator bagi santri untuk selalu patuh kepada kiai.
 
      Semua proses kejiwaan di atas, merupakan proses yang saling berinteraksi satu sama lain sehingga dapat digambarkan rangkaian kejiwaan pembentukan dan berkembanganya kepatuhan. Kepatuhan sebagai informasi umum menjadi informasi khusus, yaitu kepatuhan sebagai sistem motivator nilai dalam diri santri untuk melakukan aktivitas-aktivitas selama di pesantren. Kepatuhan sebagai bantuk kearifan lokal yang berlaku di pesantren dapat menjadi energi potensial untuk proses transfer dan internalisasi nilai-nilai keislaman melalui kiai sebagai model yang dipatuhi.
 
Analisis Aras Kelompok: Human Ecology Theory
      Sebagaimana telah dikemukan di atas bahwa kearifan lokal mewujud dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang memiliki pemahaman yang sama mengenai sesuatu. Pemahaman bersama mengenai sesuatu itu terbentuk dari proses yang sama pula di mana mereka berinteraksi dalam lingkungan yang sama. Pemahaman yang sama mengenai sesuatu ini dapat terjadi karena pada dasarnya setiap lingkungan pasti memiliki setting tertentu mengenai hubungan-hubungan ideal kelompok mereka. 15. Setting inilah sebenarnya yang menjadi roh dari tingkah-laku masyarakat.
 
      Menurut teori human ecology terdapat hubungan timbal-balik antara lingkungan dengan tingkah-laku. Lingkungan dapat memengaruhi tingkah-laku atau sebaliknya, tingkah-laku juga dapat memengaruhi lingkungan. Penekanan teori ini adalah adanya setting dalam lingkungan. Lingkungan tersusun atas struktur-struktur yang saling memengaruhi di mana dalam struktur-struktur tersebut terdapat setting-setting tertentu pula.
 
      Satu hal yang menarik dari teori ini adalah pengakuan adanya set tingkah-laku (behavioral setting) yang dipandang sebagai faktor tersendiri dalam sebuah interaksi sosial. Set tingkah-laku yang dimaksud di sini adalah set tingkah-laku kelompok (bukan tingkah-laku individu) yang terjadi sebagai akibat kondisi lingkungan tertentu (physical milleu). Set tingkah-laku ini muncul sebagai respon dari kondisi lingkungan yang ada, misalnya dalam lingkungan pesantren telah disusun pola interaksi kiai/guru dan santri, kiai adalah model bagi santrinya dan santri harus mengikuti modelnya.
 
      Susunan pola interaksi di atas mampu memunculkan set tingkah-laku santri yang menjadikan kiai sebagai suri teladannya sehingga segenap ucapannya harus dipatuhi. Jika ada salah seorang dalam kelompok itu tidak mengikuti set tingkah-laku yang ada, maka terganggulah lingkungan itu. Setiap orang akan membicarakan atau memarahi anak yang tidak mengikuti set tingkah-laku kelompok tersebut, bahkan anak itu bisa dikeluarkan dari pesantren. Dengan demikian, dengan menggunakan pendekatan teori human ecology dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal muncul sebagai reaksi kelompok terhadap lingkungannya sehingga terjadi keseimbangan hidup dalam kelompok tersebut.
 
Penutup
      Kearifan lokal merupakan hasil proses dialektika antara individu dengan lingkungannya. Kearifan lokal merupakan respon individu terhadap kondisi lingkungannya. Pada aras individual, kearifan lokal muncul sebagai hasil dari proses kerja kognitif individu sebagai upaya menetapkan pilihan nilai-nilai yang dianggap paling tepat bagi mereka. Pada aras kelompok, kearifan lokal merupakan upaya menemukan nilai-nilai bersama sebagai akibat dari pola-pola hubungan (setting) yang telah tersusun dalam sebuah lingkungan.