Apa kabar bahasa Indonesia? Bahasa yang dibakukan menjadi “bahasa nasional” sejak para perintis kemerdekaan sepakat seiya-sekata dalam Sumpah Pemuda-nya, kini telah berusia 82 tahun. Kita tak tahu, tua atau masih remajakah bahasa ini? Sebagai sebuah entitas dari sebuah negara bernama Indonesia, ia masih ada, tetap dipergunakan dalam pidato kenegaraan, dalam suratkabar, kampanye parpol, iklan, lagu pop, acara infotainmen, pengajaran di sekolah, hingga arisan ibu-ibu muda di sudut rumah sebuah kota besar.        Laiknya manusia, bahasa senantiasa bergerak, berubah, berdialektika dengan zaman dan alam. Dan ini yang jelas: ia bebas, tak bisa dikontrol dan dibelunggu. Ia makhluk arbitrer, mana suka, tak harus dipahami oleh segenap penduduk—apalagi oleh seluruh masyarakat bangsa. Bahasa merupakan kode verbal yang cukup dimengerti oleh sebuah komunitas kecil yang terdiri atas sejumput orang. Bila simbol yang tersampaikan dapat dipahami oleh si penangkap, sahlah ia disebut sebagai bahasa. Tak perlu ada seorang profesor linguistik untuk menerjemahkan makna dari sebuah SMS antar-anak SMP yang hanya memakai huruf konsonan dengan variasi huruf besar dan kecil yang sembarang—bahkan tak jarang disisipi angka serta tanda baca yang mengungkapkan perasaan tertentu dan takkan bisa dimengerti oleh orangtua mereka.        Bila kita mau melihat ke masa belakang, bahasa Indonesia telah merintis dirinya sejak masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha berkembang di Kepulauan Nusantara. Terutama di pesisir-pesisir sebagai tempat lalu-lalang para pedagang, bahasa yang “tunggal” sangat dibutuhkan. Konon, dengan bahasa Melayu-lah para pelaut-pedagang-penjelajah berkomunikasi, dengan kosa kata yang berkaitan dengan aktivitas niaga tentunya. Sementara, bahasa Sansekerta lebih berkembang di pusat kota, pusat birokrasi, pedalaman yang memproduksi hasil pertanian, yang jauh dari laut. Dan jangan dilupakan peranan para pengelana berkulit kuning, yang dengan itu kosa kata Cina pun ikut meramaikan bahasa pergaulan ini, lingua franca. Dan begitu berduyun-duyun orang-orang Timur Tengah ingin membeli rempah-rempah yang banyak bertebaran di bumi Nusantara dengan harga yang cukup aduhai, kosa kata Arab secara suka rela menyelinap di antara bahasa pergaulan ini. Hampir berbarengan dengan orang-orang Muslim, berbondong-bondong bangsa Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris—termasuk Denmark, Swiss, Belgia dalam jumlah yang lebih sedikit—ingin pula memborong hasil bumi Nusantara dengan harga yang jauh lebih murah daripada membeli dari orang-orang “Atas Angin” itu. Mulai masuklah kosa-kosa kata bangsa-bangsa Eropa tersebut, dengan pelafalan khas orang-orang pribumi. Jadilah orang Malaka dan Maluku menyebut meriam untuk peluru bundar (cannon ball) yang ditembakkan di atas perahu dagang Portugis—sebuah penamaan yang iseng setelah mereka mendengar orang Portugis berdoa dan menyebut nama “Bunda Maria” sesaat sebelum melepaskan peluru bundar tersebut.        Atau, bila kita tarik garis yang lebih panjang ke belakang, menurut para arkeolog dan linguis, bahwa bahasa-bahasa yang tersebar di Nusantara merupakan turunan dari bahasa Austronesia dari Kepulauan Formosa (di Taiwan sekarang) sejak 60-100 abad lalu. Dengan melalui migrasi yang bergiliran, rute yang satu dimulai dari Formosa, Filipina, Borneo, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Papua, hingga Polinesia serta Oceania. Sedangkan rute kedua, dari Borneo bahasa pecahan dari rumpun Austronesia ini bergerak ke Jawa lalu Sumatra, Vietnam, bahkan Madagaskar di sebelah timur Benua Afrika. Tak perlu mengernyikan dahi bila kita menemukan kosa-kosa kata yang bunyi dan maknanya hampir sama atau tak berubah di pulau-pulau Nusantara. Dan inilah yang boleh kita sebut bahasa daerah, di mana belum ada pengaruh Sansekerta—terlepas dari pendapat beberapa ahli yang menyebutkan bahwa bahasa-bahasa Nusantara-lah induk dari bahasa Sansekerta.        Bahasa daerah sebagai bahasa ibu tentu bersifat lokal, merupakan wujud kearifan lokal. Suara alam dan bentuk lingkungan mengilhami pribumi menciptakan bunyi yang dimaknai sendiri dan disetujui oleh kelompoknya yang jumlahnya terbatas. Karena kebutuhan hidup mendesak mereka untuk berinteraksi dengan kelompok lain, terjadilah sistem barter kebutuhan, termasuk barter kosa kata. Dari sini, bunyi kata bergeser. Penutur-peminjam yang membawa kata bersangkutan ke kelompok asalnya membunyikannya dengan sedikit berbeda walau makna sama; lahirnya kata orang, urang, kitorang. Lalu entah lupa atau lidah yang berbeda, penutur di etnis lain memakai kata tersebut dengan makna yang sedikit berbeda, bahkan kemudian berjauh dengan kata asalnya. Amis menurut urang Sunda (manis) berbeda dengan amis menurut wong Jawa (anyir).        Begitu datang bahasa-bahasa di luar Nusantara, maka pribumi pun mulai menggunakan bahasa asing tersebut, mulai meninggalkan bahasa ibu mereka. Mereka memandang bahasa Sansekerta, Cina, Arab, Eropa jauh lebih modern daripada bahasa ibu mereka. Lambat laun, terdesaklah bahasa-bahasa daerah ini, dan sekarat—kecuali kata-kata primer. Dominasi perdagangan, politik, dan industri secara perlahan menindas bahasa-bahasa ibu Nusantara. Apalagi setelah kolonialisasi bercokol, menghilanglah kata-kata ibu tersebut tanpa bekas dan jejak.        Sebuah kata dibawa oleh penjelajah asing itu beserta dengan konsep dan bendanya, yang pastinya baru bagi orang pribumi. Portugis mengenalkan kata almari dan nenek moyang kita sebelum abad ke-16 tidaklah mengenal bagaimana bentuk benda yang disebut itu, dan jadilah lemari; dan ini sah-sah saja. Namun, ketika orang Londo memanggil paman atau uwak mereka Om, kaum priyayi pun latah memanggil paman mereka dengan kata itu, menjadi malas memanggil Mamang, Pamanda, Pakle, Mamak, atau kata yang mengacu kepada arti kata paman. Wong cilik pun tak mau kalah, ikut berkata om kepada ayah temannya.        Benar adanya bila ada orang yang lebih afdol mengucapkan assalamualaikum bila bertemu dengan sesama karena menurutnya rangkaian kata itu merupakan doa kepada Ilahi agar yang diajak bicara dilimpahi keselamatan. Namun sayang, banyak di antara mereka memandang bahwa bila seseorang berucap sampurasun, itu sama saja dengan mempratikkan kembali adat nenek moyang yang animis, dan yang lebih parah: bidah dan haram. Padahal sampurasun merupakan akronim dari sampurna rasane ingsun (sempurna batinku), sebuah pengungkapan jujur bahwa dirinya menerima orang yang diajak berbicara dengan tulus dan dada lapang. Rampes, sebagai jawaban, secara sederhana diartikan kembali atau aku pun demikian.         Sukar rasanya mencari kembali kata-kata yang telah punah di mana para penuturnya telah lama tiada. Kita hanya bisa menggali kata-kata tersebut yang, untungnya, diabadikan melalui prasasti, kitab, dan pantun. Yang harus kita tekuni adalah mempergunakan kata-kata yang masih lestari tersebut dalam percakapan sehari-hari. Hilangkanlah rasa minder terhadap bahasa ibu—ibu dan pilar sejati dari bahasa Indonesia. Jangan tunggu bahasa-bahasa daerah perlaya, mumpung para sepuh kita belum berhadapan dengan sang maut.        Kita tahu bahwa Indonesia terdiri dari orang-orang senang yang meng-copi lalu paste, sampai-sampai tak cukup percaya diri dengan sekadar mengatakan menyalin lalu meletakkan. Padahal dulu para pujangga tak puas bila hanya menyalin kitab Mahabharata; mereka selalu ingin menggubahnya dengan penambahan alur dan tokoh—bahkan menyaring apa saja yang tak berkesesuaian dengan adat setempat. Drupadi pun tak lagi wanita poliandri yang bersuamikan kelima Pandawa, cukup menikah dengan Semiaji—nama lain ciptaan sastrawan Jawa untuk Yudistira—sang kakak tertua.   Salam Nusantara
8/9/2011 06:22:01 pm

Begitulah hebatnya bahasa Nusantara sebelum ia dipengaruhi oleh bangsa-bangsa lain. Semoga ramai lagi cendekiawan Nusantara tampil ke depan untuk menggali bahasa ibunda kita bagi membanyakkan lagi perbendaharaan kita. Rahayu

Reply



Leave a Reply.