Picture
Bebas dan atau berbudi luhur, itulah sebaris kata arti dari mahardika, seperti yang tercantum dalam kamus Sansakerta. Persamaan lain muncul pertama kali dalam sebaris prasasti sima di Kediri, kemudian diberi nama Prasasti Harinjing tertanggal 804 Masehi yang menyebutkan mengenai pembebasan sebuah lahan atau tanah atau daerah tertentu dari kewajiban membayar pajak kepada pemerintah atau kerajaan karena daerah yang bersangkutan memiliki jasa. Tanah/daerah yang kemudian dibebaskan tersebut kemudian biasa disebut sebagai daerah perdikan—daerah yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak.        Entah sejak kapan kemudian istilah “merdeka” yang memiliki makna sama dengan dua kata kuno di atas, sejak kapan tepatnya metamorfosa kata tersebut terjadi, belum ada penelitian yang terpublikasi. Satu hal yang pasti, keberadaan kata tersebut dalam perbendaharaan kata di Nusantara menunjukkan bahwa kawasan Nusantara telah sejak lama mengenal konsep tersebut, mengenal arti merdeka dan memahami makna merdeka.        Merdeka dalam konteks sejarah tidak hanya sebuah proses seremonial dalam mengenang dan menghapal sekumpulan nama orang yang kemudian melalui sebuah surat keputusan diangkat menjadi pahlawan, atau mengingat-ingat tanggal sebuah peristiwa. Merdeka dalam konteks sejarah berarti mengapresiasi,  berarti melakukan sebuah proses pemahaman terhadap laku seorang individu, serta pola sebuah peristiwa.        Kita diajarkan untuk mengenal banyak pahlawan bangsa serta peristiwa pembentukan bangsa, tapi kita tidak banyak mengetahui tokoh serta peristiwa pembentuk karakter bangsa.  Siapakah tokoh pembentuk karakter bangsa ini?, peristiwa apa yang membentuk karakter bangsa ini?, situasi seperti apa yang membentuk karakter bangsa ini?        Beberapa hari yang lalu tim Wacana Nusantara dan Nusantara Online berkesempatan berkunjung dan berdiskusi bersama rekan-rekan dari Yayasan Mitra Netra mengenai pengembangan sebuah aplikasi digital bagi para penyandang tuna netra, Yayasan Mitra Netra adalah lembaga yang memberikan konseling bagi para penyandang tuna netra. Adalah hal yang menarik ketika diskusi tersebut kemudian memasuki topik mengenai penyandang tuna netra sejak lahir, para penyandang tuna netra sejak lahir ternyata sangat kesulitan untuk menerima konsep mengenai warna dan sampai dengan saat ini belum ada metode yang secara gamblang mampu menjelaskan konsep mengenai warna tersebut kepada mereka.        Hal seperti di atas pula yang terjadi ketika kita berbicara mengenai karakter bangsa, terutama untuk kami dan rekan-rekan lain yang masih relatif muda. Akses yang terbatas terhadap sumber-sumber sejarah, terbatasnya sumber-sumber pembelajaran sejarah yang kemudian mumbuat kaburnya fakta dan data. “Harapan” yang kemudian menjadi pemicu, harapan yang muncul dari penggalan-penggalan sejarah yang nyaris menjadi dongeng, harapan yang masih tersimpan di dalam puing-puing candi dan menhir, di dalam cabikan-cabikan lontar yang sudah tidak utuh, serta pada prasasti-prasasti yang mulai aus, bahwa pada suatu masa, di waktu yang lalu, pernah muncul banyak kearifan dan keagungan yang dicapai oleh leluhur bangsa ini.          Mari berbagi, berbagi dalam dimensi pembelajaran, untuk bersama mencari titik terang dalam menggali kembali nilai-nilai luhur dan karakter bangsa ini yang tersimpan di balik sepenggal dongeng tentang kejayaan masa lalu negeri ini dan mengalir dalam tetes darah yang mengalir dalam nadi setiap insan bangsa ini.        Mahardika Bangsaku!!

This is your new blog post. Click here and start typing, or drag in elements from the top bar.



Leave a Reply.