Berangkat dari beberapa studi literasi yang dilakukan penulis, ditemukan beberapa fakta logika yang menarik tentang perulangan kata yang disebut sebagai Atlantis. Dengan ditemukannya bukti-bukti keilmuan dan logika baru yang cukup kontroversial dengan sejarah peradaban saat ini, yang telah dikembangkan oleh para peneliti sebelumnya pasca penjelajahan dunia, revolusi industri dan era imprealis, penulis mencoba melihat ini sebagai logika sejarah penyebaran dan peradaban manusia di bumi sejak bumi tercipta hingga saat ini kita berpijak.

     Seorang peneliti Arkeologi dan Antropologi asal Belanda, Koenraad elst, mengatakan bila bumi yang kita tinggali saat ini adalah hasil keseimbangan perubahan iklim global sebelumnya maka bukanlah sebuah kiasan “kaca Freudian yang buram” saja dan seperti illustrasi Plato bahwa pernah ada sebuah bangsa yang tenggelam bersama permukaannya karena naiknya permukaan laut di bumi dan bersamaan dengan letusan gunung berapi secara berturut-turut dan dalam waktu yang berdekatan, bersamaan menghancurkan dan menenggelamkan benua tersebut . Hal ini dapat kita pahami sebagai konsekuensi logis, bila bumi kita sedang mengalami perubahan iklim global, dengan makin tipisnya lapisan ozon dan naiknya suhu udara di kedua kutub bumi maka kita rasakan perubahan iklim ini membawa efek pada lingkungan dimana tempat manusia berada, peradaban manusia sekarang menyebutnya sebagai bencana alam, baik banjir ataupun dampak efek rumah kaca lainnya.

     Tertarik membaca logika sebuah buku yang ditulis oleh Stephen Oppenheimer, yang berjudul Eden in the East yang mengatakan bahwa ada sebuah benua yang tenggelam, yang saat ini disebut Asia Tenggara. Stephen Oppenheimer telah memfokuskan penelitian pada satu pulau Tapobrane dan sebagian landas kontinen lainnya yaitu Sunda: wilayah ini antara Malaysia, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Thailand, Vietnam, China dan Taiwan, yang sebagian besar wilayah tersebut sudah ditempati selama Zaman Es Purba sebelum mencair. Dimungkinkan bahwa disini pusat peradaban paling maju telah ada, ia menyebutnya Eden, nama ini diambil dari alkitab "surga” (dari bangsa Edin Sumeria, dalam naskah tersebut disebut juga "Dataran Aluvial"), sumber Barat-Asia termasuk Alkitab ini melakukan prosesi dengan mencari asal-usul manusia atau setidaknya mencari apa yang namanya peradaban dari Timur. Dalam beberapa kasus, seperti dalam referensi Sumeria "Timur" ini, Koenraad mengatakan: jelas merupakan budaya pra-Harappa dan Harappa, tetapi bahkan lebih banyak negara-negara timur yang saat ini ada tampaknya pun masih merupakan bagian peradaban itu, benua itu, bagi Oppenheimer dan Koenraad menyebutkan sebagai “Bagian benua Asia Tenggara” atau dikatakan sebagai Sundaland.

     Oppenheimer sendiri dalam penelitiannya menggunakan metode ilmiah yaitu dengan metode genetika, Antropologi, Linguistik dan Arkeologi dan ini sangat berbeda dengan Plato yang menggunakan metode tuturan guna melacak jejak peradaban itu, sedangkan Koenraad melakukan penelitian melalui studi kebudayaan masyarakat India kuno. Sebagai ahli Sastra, Antropologi dan Sosiologi ia menemukan adanya “keterkaitan kebudayaan India kuno yang hilang serta ekspansi bangsa Arya di India”, Koenraad bahkan berhasil menunjukkan melalui pendekatan keilmuannya (salah satunya pendekatan sastra India Kuno , melalui karya-karya sastra kuno seperti karya Walmiki) bahwa Ayodia dimungkinkan sebagai peninggalan kebudayaan India pra-modern sebagai hasil agitasi kedua dari bangsa Ayodia setelah masa kedua zaman es mencair. Sejalan dengan Oppenheimer, dengan latar belakangnya sebagai dokter medis yang telah lama tinggal di Asia Tenggara selama beberapa dekade, berhasil menemukan metode secara keilmuan yang dimilikinya dengan metode penelitian DNA manusia-manusia yang berada di wilayah Afrika, Asia Tenggara-Australia hingga Kepulauan Pasifik.

     Dengan alasan dan bukti yang ditawarkan Oppenheimer dan Koenraad di atas, ditemukan peninggalan berupa besaran-besaran pemikiran yang diwarisi oleh penduduk sekarang, tentang “ kecenderungan yang sama, seperti perbandingan mitologi: banyak budaya yang mirip, khususnya mereka yang berada di zona Asia-Pasifik, mereka memiliki mitos yang sangat paralel dari satu atau lebih tentang banjir besar”, ungkap Oppenheimer. Seperti kata Koenraad , ini bukan kiasan “Freudian” semata terhadap peristiwa alam bawah sadar para ahli warisnya, namun jelas referensi historis ketika bencana itu terjadi - dengan ditarik keluar dari konteks tahayul, Oppenheimer menyatakan bahwa permukaan laut memang naik secara ekstrim setelah zaman es mencair, perlu 3 proses banjir besar untuk menggelamkan 2/3 permukaan bumi seperti keadaan sekarang. Karena setiap fase kenaikan ini bukan proses yang berkesinambungan namun bertahap dan melanda di beda tempat; seperti patahnya gunung es di Eropa Tengah dan Asia Utara disebabkan suhu yang menghangat maka terjadilah banjir besar yang melanda Asia dan sebagian Eropa, kesemuanya ini terjadi dengan tiba-tiba; untuk tiap fase banjir, baik yang pertama hingga banjir ketiga, bahkan ketinggiannya pun hingga mencapai 130 -150 meter, cukup memusnahkan hampir semua kawasan yang ditempati seluruh penduduk suku - suku bangsa yang tinggal di dekat pantai dan perairan, kenaikan air laut ini kira-kira terjadi hingga tahun 55000 SM, setelah itu permukaan laut mundur beberapa meter menjadi surut secara perlahan hingga ratusan dan ribuan tahun ke posisi serta kondisi yang sekarang di tempati sebagai wilayah Asia Tenggara dan Asia Tengah. Bagi penduduk yang kini ada di wilayah Asia Tenggara, perubahan klimatologi ini diantaranya pun terjadi saat Gunung Toba meletus kira-kira sekitar pertengahan 74.000 SM (bukti-bukti Vulkanik di P.Samosir, DNA di wilayah kota Tampan - Perak dan sebagian Serawak-Malaysa) lalu Krakatoa purba meletus (kitab pustaka radya Pararaton-jauh sebelum letusan tahun 1883), di lain tempat dan di rentang waktu lebih awal - Gunung Sunda Purba pun meletus membagi pegunungan pulau Jawa bagian barat menjadi 2 lempeng pegunungan; yaitu pegunungan yang ada di Utara kota Bandung dan deret pegunungan yang ada di Selatan kota Bandung (Stratigrafi gunung api daerah Bandung Selatan, Jawa Barat; Sutikno Bronto, Achnan Koswara, dan Kaspar Lumbanbatu; Jurnal 1 volume 2 - Pusat Survei Geologi, 2006), ini dibuktikan dengan ditemukan melalui penelitian Geologi yang menunjukkan bahwa endapan danau tertua usianya dari hasil radiometri karbon adalah kira-kira setua 125 ribu tahun, sedangkan kedua erupsi Plinian yang terjadi itu telah ditentukan umurnya kira-kira mencapai 105 dan 55-50 ribu tahun yang lalu. Asal-usul danau Bandung ternyata bukan disebabkan oleh letusan Plinian belaka walaupun aliran debu yang pertama dapat saja memantapkan danau purba itu secara pasti. Danau purba ini berakhir kira-kira pada 16 ribu tahun yang lalu(Prof.Dr.R.P Koeseoemadinata ). Di lain tempat, dari rangkaian gunung di bukit barisan - Sumatera yang ikut mengambil bagian letusan dari rangkaian gunung berapi Mediterania (ring of fire in the East).

     Dalam teori yang dikemukakan kedua peneliti di atas (Oppenheimer- Koenraad), bahwa Asia Tenggara yang kita ketahui dulunya merupakan bagian paparan daratan yang luas, kini disebut sebagai bagian paparan Sundaland, maka Asia Tenggara mempunyai kriteria yang ideal untuk dikatakan sebagai sisa paparan benua yang tenggelam yang disebabkan naiknya permukaan air laut. Bila merunut tuturan Plato , ada kemungkinan bahwa paparan yang tenggelam ini adalah reruntuhan benua Atlantis, ungkap Prof. Arysios Santos. Oppenheimer sendiri mengillustrasikan dalam bukunya bahwa bumi ini mengalami banjir yang besar sebanyak tiga kali, yang pertama: yaitu jaman pra Jurassic, kedua: masa es mencair yang melanda benua Amerika Utara – yang kini membentuk danau-danau besar di kawasan perbatasan antara Kanada dan Amerika, serta fase ketiga yaitu masa mencairnya es di kawasan Asia dan Eropa Tengah - dalam konsep Agama sebagai  “Banjir Nuh”. Bagi Koenraad dan Oppenheimer, bangsa yang menempati wilayah Paparan Sunda pasca banjir kedua ini memimpin dunia dalam Revolusi Neolitikum ( mulai dari pertanian), dengan menggunakan  batu untuk  menggiling biji-bijian liar pada 24.000 tahun lalu, lebih tua 10.000 tahun dari kebudayaan Pyramid Kuno di Mesir atau Summeria di Palestina.
Kode Genetika dan Artifisial
     Dari penelitian kode genetika yang dilakukan oleh Richard Cordeux dan Mark Stoneking dalam jurnal American Human Genetika tahun 2003 yang berjudul “South Asia, the Andamanese, and the genetic evidence for an “early” human dispersal out of Africa” membuktikan bahwa penduduk yang tinggal di kepulauan Andaman adalah penduduk yang penyebarannya melalui rute jalur Selatan baik sebelum banjir itu tejadi dan atau selama banjir, dimana para penduduk itu yang berusaha berhasil selamat ini bertahap pindah dari dataran  rendah ke dataran yang lebih tinggi, yang aman dan stabil, Sundalanders (sebutan bagi para penduduk yang tinggal di kawasan Paparan Sunda) menyebar ke negeri-negeri tetangga: daratan Asia termasuk China, India dan Mesopotamia, dan kemudian menyebar ke seluruh dunia, tidak juga pulau dari Madagaskar ke Filipina dan Papua New Guinea, dari sini mereka kemudian memasuki dan menjajah Polinesia sejauh mungkin hingga Pulau Paskah, Hawaii dan Selandia Baru. Bagi penulis, pemikiran Oppenheimer dan Koenraad ini sejalan dengan para Arkeolog pra-sejarah tentang tanah air dari rumpun bahasa Austronesia (Melayu, Tagalog, Maori, Malagasy, dll) ini: asal usul bangsa Austronesia berada di Paparan Sunda dan berada di daerah-daerah yang wilayahnya kini mencapai pantai dari bagian Tenggara dari negara-negara Asia. Namun fakta lain dari kebanyakan ahli bahasa berpendapat bahwa Cina bagian selatan adalah tanah asal-usul bangsa yang kini tinggal di kawasan Asia Tenggara (Van dyke,1939). Pemikiran ini bagi Oppenheimer adalah bagian dari argumen kronologi yang memprihatinkan bagi teori penyebaran manusia: kronologi pemikiran Oppenheimer mengusulkan bahwa haruslah lebih sempurna dari sekedar logika Peter Bellwood (P. Bellwood - ANTIQUITY-OXFORD-,1996-antiquity.cc... of correlation between large-scale linguistic and genetic entities)

     Koenraad Elst mengatakan “Pengalaman saya dengan studi IE (Indo-Eropa) ini membuat saya mencari bantuan untuk mengetahui bagaimana kronologi sejarah IE dari setiap instrumen data yang lebih tua dan akurat , untuk setiap temuan baru (misalnya bahwa "pra-IE" orang seperti Pelasgians dan Etruscans, tidak berbicara tentang Harappans, ternyata telah lebih awal tinggal daripada para pemukim bangsa "Aryan") yang konsisten telah mendorong tanggal fragmentasi itu terjadi ke masa lalu. Alasan lain untuk tidak bergantung pada teori yang terlalu banyak dari para ahli bahasa; bahwa linguistik Austronesia adalah bidang yang harus diteliti lebih jauh, terdiri dari studi ratusan bahasa kecil yang kebanyakan bahasanya bukanlah bahasa sastra, sedangkan jumlah ahli bahasa asli jauh lebih kecil daripada di kasus yang ditemukan, karena sebagian memang sudah musnah dilanda Tragedi Banjir Besar bahkan dalam kasus linguis terakhir membuktikan pada sebuah tempat, pendekatan ini membuat konsensus tentang masalah asal-usul tanah air dan leluhur bangsa Austronesia. Bukti-bukti linguistik sangat sedikit, dan biasanya data tersebut diakui lebih dari satu dari bentuk rekonstruksi sejarah saja, jadi saya pikir tidak ada bukti kuat terhadap hipotesis tanah air Sundaland hanya dengan satu metode linguistik saja. Sebaliknya, bukti Arkeologi dan Genetika yang banyak mendukung tentang penyebaran populasi berbahasa Austronesia dari Sundaland akan cukup bisa membuktikan dokumen Oppenheimer dan bukti-bukti adanya peradaban AIT ( Aryan Invasion Theory) di India sebagai bagian dari penyebaran manusia di dunia. Seperti dikatakannya bahwa bangsa Arya adalah bangsa yang berhasil menjajah India secara peradaban yaitu pasca banjir besar melanda dunia pada umumnya khususnya di India, kemudian kronolgis dari rangkaian letusan gunung berapi yang berupa endapan sedimen telah mengubur bukti peradaban tersebut seperti India kuno, bisa dimungkinkan ekspansi ini telah dilalui melalui beberapa proses migrasi – infiltrasi – dan kooptasi lainya bersama arus pengembaraan kedua pasca abu vulkanik dari Erupsi yang melanda India selama 5 tahun, kemudian diulangi untuk penjelajahan ke tanah baru dan penelusuran kembali jejak tanah leluhur.
     Tentang Daratan Cina sebagai 'tanah asal' bangsa Austronesia, bila disusun berdasarkan Kronologi pemikiran linguistik, Cina sebagai asal-usul Austronesia itu hanya dari aspek-aspek tertentu saja dan dokumen sejarah serta bukti-bukti arkeologinya membuktikan lebih muda usianya dari sejarah penemuan peradaban lainnya di Asia, dan ini tidak membuktikan sebagai alasan linguistik sebagai dasar migrasi tersebut, perlu kelengkapan data yang utuh. Bagi Oppenheimer dan Koenraad , pendapat Peter Bellwood merupakan pembahasan yang cukup kontroversional dan gegabah.

     Namun bagi keduanya, ini semua bisa terjadi ketika iklim mulai merubah permukaan Es di utara yang mulai mencair, sebagai contoh: seiiring perubahan klimatologi bumi, seperti Gunung Toba meletus sekitar pertengahan antara 80.000 – 70.000 SM, suhu bumi pun meningkat, dari dokumen Oppenheimer tentang Kode Genetik Mitokondria dalam “Journey of Mindkind-The real Eve” yang membahas penyebaran manusia di belahan bumi, menguatkan bahwa teori letusan ini disebut juga sebagai letusan gunung maha dahsyat (Super Eruptions) setara 200 kali lipat ledakan Atom Hiroshima hingga menciptakan musim panas yang berkabut selama 6 tahun dan merubah perwajahan 1/3 daratan Asia hingga India, Pakistan dan daerah sekitarnya sendiri terkubur debu letusan itu setinggi 5 meter dan sebagian daratan terkubur karena abu serta gelombang pasang. Hal lain yang terjadi yaitu menyebabkan penduduk yang sanggup bertahan akibat letusan ini hanya 10.000 orang dari total seluruhnya yang mencapai 5 kali lipatnya. Sebagian merupakan penduduk yang berada jauh dari India dan sebagian lagi berada di daerah tenggara Asia yaitu yang sekarang disebut wilayah kepulauan Nusantara. Koenraad mengatakan pada peristiwa di atas menyebabkan sebagian penduduk tiap wilayah bencana melakukan migrasi besar-besaran dengan menggunakan perahu ke wilayah lain, yang lebih aman dan stabil, kemudian setelah 6 tahun pasca letusan ini datanglah gelombang kedua para penduduk dari wilayah timur ( Afrika-Jazirah Arab) dan wilayah barat (Semanjung Malaysia dan sebagian Nusantara) memasuki wilayah India yang baru, yang selanjutnya Koenraad menyebut manusia India modern.

Mungkinkah Bencana di Indonesia seperti kejadian-kejadian Atlantis dahulu?
     Berdasarkan bukti yang ditawarkan Oppenheimer-Koenraad, dan dikuatkan oleh Arysios Santos, dan dengan tuturan cerita Plato sangatlah mungkin bahwa Atlantis yang hilang kini telah berubah menjadi lautan – dan sebagian peninggalannya ada di Asia selatan dan Asia Tenggara, ataukah Nusantara ini yang dikatakan Plato sebagai Atlantis seperti logika Santos, persis dengan peninggalan Republik yang berada dalam Zona Erupsi dari sabuk Pegunungan Berapi?

     Bila kita melihat dari proses penyebaran penduduk ketika migrasi itu berlangsung (Oppenheimer), mereka lakukan perjalanan melalui rute Selatan sekitar daratan pantai dan dari kaki pegunungan bergerak hingga mencapai dan terus memasuki wilayah Asia Tenggara . Di Nusantara pun banyak ditemukan bukti yang menguatkan teori di atas, dari mulai pembuktian teori DNA hingga pemetaan Geologi, membuktikan bahwa masuknya penyebaran manusia di Nusantara ini mengikuti garis paparan daratan, yaitu paparan Sunda, mereka melakukan perjalanan lalu masuk melalui semenanjung Thailand - Malaysa masuk ke Aceh Utara (masih berupa daratan kering) kemudian masuk ke Sumatera (Summa-Terra) dan Selat Sunda sebagai pintu gerbang pun saat itu belum terbentuk masih ada gunung berapi Krakatau, maka  ini ke P. Jawa – Bali (Madura dan Bali masih bersatu sebagai kawasan yang kering bagian dari ujung Sundaland), kemudian menyeberang ke Kalimantan lalu ke Utara memasuki kawasan Philipina dan Cina Selatan lalu bergerak ke Utara dan ke Timur ke Sulawesi. Ini semua terjadi kala Zaman Es belum mencair pada fase ketiga bahkan Sumatera dan Malaysia pun masih bersatu sebagai daratan yang subur menjadi bagian dari paparan Sunda yang masih kering. Namun hal lain yang perlu diketahui bahwa di wilayah-wilayah ini merupakan kawasan yang subur (tanah aluvial) yang dipagari oleh deretan pegunungan berapi, Prof.Santos pun berfikir bahwa Indonesia menjadi contoh yang Ideal dari cerita Plato.

     Di sisi lain, dengan ditemukannya garis Wallace dan Webber membuktikan bahwa banyak ciri-ciri yang mengkuatkan teori di atas. Berdasarkan kronologis Koenraad dan Oppenheimer dengan bukti-bukti yang diketemukan bahwa Nusantara telah lebih awal mengalami kemajuan sebagai bagian bangsa yang pertama memimpin revolusi kebudayaan dari masa Neolitikum, menyepakati bahwa banyak bukti yang tertinggal itu hilang akibat bencana Vulkanik dan Tektonik. Jejak-jejak itu kini hanya terdiri dari kepingan-kepingan yang masih menyimpan misteri, bagai puzzle-puzzle yang masih harus disusun ulang sebagai rekontruksi kebudayaan neolitikum, para peneliti ini memulai dengan penemuan jejak vulkanologi di P.Samosir kemudian jejak peninggalan kerajaan Kandish lalu Kota Tampa dan seterusnya. Namun yang semestinya itu bisa ditemukan artefak maka banyak hilang ditelan bumi karena bencana alam baik yang berupa vulkanik maupun tektonik karena wilayah ini ada dalam lintasan pegunungan dan pergerakan lempeng tektonik dunia

     Seperti logika Koenraad dalam review buku Eden in the East bahwa bangsa yang tinggal di wilayah Paparan Sunda ini dahulunya adalah bangsa yang memimpin revolusi kebudayaan Neolitikum, sejak masa zaman es mulai mencair dan peristiwa rentetan gunung berapi yang meletus kini wilayah paparan ini telah berubah menjadi wilayah yang terbagi menjadi kepulauan di daerah Selatan dan Tenggara dan daratan di Timur Laut yang berupa wilayah yang luas membentang hingga ke Cina dan Utara Mongolia (Asia Tengah), dan sebelah barat Sumatera kini menjadi semenjung yang kini disebut India, Srilangka dan Bangladesh. Lalu di Utara yaitu Pakistan. Wilayah-wilayah inilah yang dipetakan oleh Oppenheimer sebagai wilayah reruntuhan benua yang hilang, yang disebutnya sebagai bagian Eden in the East. Logika Santos mengatakan, letak Atlantis berada dalam lintasan gunung berapi dan tanahnya adalah tanah aluvial yang subur, Indonesia menjadi pilihan idealnya, ini wilayah-wilayah pemetaan dari peninggalan Benua Atlantis yang hilang, seperti kata Plato dan perlu dibuktikan kebenarannya.

     Kini Indonesia tengah mengalami siklus berikutnya dari jam Pemetaan Geologi Dunia, sejak longsornya patahan bumi yang berada di Ujung Aceh, diiringi kemudian ke arah Tenggara dan Selatan hingga berupa gempa-gempa tektonik yang terjadi di sepanjang wilayah Sumatera dan Jawa yang mencapai di kepulauan Nusa Tenggara dan Sulawesi. Serta rentetan gunung berapi di Indonesia yang sudah aktif dan kini sebagian telah mengalami erupsi. Semua ini bagi penulis  merupakan Tarikh Geologi Bumi, kenyataannya Indonesia berada di dalamnya dan mau tidak mau telah memasuki Indonesia masuk di siklus Geologi dunia. Dengan kenyataan peta geografi ini, semestinya kita sebagai bangsa yang tinggal di “wilayah rawan” ini mempersiapkan segala bentuk kemungkinan tentang keberadaan pentingnya sistem kewaspadaan nasional (National Early Warning System) terhadap bencana yang akan terjadi, serta memberikan penyadaran dan membangun kesiapan penduduk di tiap wilayahnya guna menghadapi pemetaan ini.

     Dengan kejadian bencana Tektonik dan Vulkanik di Indonesia yang terjadi pada akhir-akhir ini, kini wilayah bumi Nusantara telah memasuki Era Siklus Geologi. Tanpa harus mengurangi rasa hormat dan bukan semata-mata pembahasan masalah yang sifatnya mitologi tradisonal, ideologi, tentang keberadaan Atlantis di Indonesia bahkan cerita-cerita legenda lainnya kini bangsa Indonesia dituntut untuk menjelma sebagai bangsa yang dinamis dan menghendaki kemajuan dalam tehnologi dalam mempersiapkannya kelak bagi anak cucu bangsa di masa depan, karena kelak mereka ini harus lebih siap dan waspada terhadap apa yang disadarinya sebagai mahluk yang hidup berdampingan dengan alam sekitarnya. Ini bukan sebagai bencana karena kemarahan Yang Maha Kuasa, namun perlu disadari bahwa alam tetap akan memegang janji “Prinsip Keseimbangan Alam”, walau saat ini keseimbangannya dipahami sebagai bencana, bahkan mungkin sebelumnya dianggap sebagai mitos karena informasi yang terbatas, kini berhadapan dengan ketidakperdulian kita pada lingkungan dan menjelma sebagai bencana perilaku, pun bencana kini tidak seutuhnya karena “Siklus”, namun campur tangan manusia pun ikut berperan mempercepat peristiwa itu terjadi (Global  Causes) seperti Global Warming, banjir, longsor, dll; dan “Judgement Day” tidak bisa dikatakan lagi kemarahan Tuhan tapi memang hasil perilaku bumi serta seisinya termasuk manusia sebagai subjek pelaku yang dominan dan bumi sebagai objek yang hendak mencapai keseimbangan berikutnya ataupun ini akan musnah seperti yang dikatakan sebagai kiamat.
 
     Saat ini kita sebagai anak bangsa yang selamat dari keseimbangan alam sebelumnya (masa Jurassic, Banjir Besar dan pergerakan lempeng tektonik dunia) sudah semestinya melakukan persiapan untuk menghadapi keseimbangan alam berikutnya, walau dengan berbagai resiko dan tantangan yang akan dihadapi,  bangsa Indonesia ini tengah terus dihadapkan pada kenyataan-kenyataan tentang fenomena gejala alam, baik kategori bencana alam ataupun bukan, ataukah Indonesia sebagai mutiara dari khatulistiwa akan tenggelam dan hilang seperti keberadaan Atlantis dalam cerita Plato? atau bahkan musnah dan tenggelam seperti Eden in the East,ungkap Oppenheimer. Tentulah ini bukan jawaban namun pekerjaan rumah yang harus kita pikirkan dan kerjakan bersama-sama, tidak esok hari,  tapi segera.
8/9/2011 07:43:19 pm

Kerajaan-kerajaan Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunai, Filipina, Thailand, Vietnam, Laos dan Kampuchea hendaklah mengadakan "Tabung Kajian Asal Usul" bangsa Malai/Malay sebelum berpecah menjadi suku-suku bangsa Jawa, Sunda, Bugis, Melayu, Batak, Iban, Filipino, dll untuk menjalankan kajian mendalam sejarah Nusantara ini. Kajian mendalam perlu dilakukan di Laut China Selatan, Laut Jawa, Laut Sulu, Teluk Siam dan Selat Melaka untuk mengesan artifaks di dalam laut peninggalan leluhur bangsa Nusantara. Bila kajian ini berjaya menemukan artifaks warisan leluhur kita, ia menjadi peringatan kepada generasi sekarang bahawa leluhur kita sudah maju dengan peradaban sendiri. Ini dapat mengembalikan identiti bangsa Nusantara yang diwarisi turun temurun. Dengan itu, bangsa ini tidak lagi mengambil identiti orang lain dari India, Timur Tengah/Arab dan Eropah. Kesepakatan warga Nusantara dalam kepelbagaiannya mampu menjadikan kita sebagai bangsa yang disegani dunia.

Reply



Leave a Reply.